Saya secara prinsip tak pernah mempermasalahkan pilihan amal dan pendapat orang lain, selama ada salafnya (istilah lainnya: selama ada alim mu'tabar yang dirujuk). Meski pendapat tersebut dianggap lemah oleh banyak ulama. Selama tidak menabrak nash yang shahih dan sharih (tidak menyisakan kemungkinan dipahami berbeda) atau ijma' yang qath'i.
Karena itu, saya tak pernah mengkritik apalagi mengejek orang yang tak qunut shubuh, atau yang meletakkan tangan di atas dada saat shalat, atau yang sangat dempet dalam shaf shalat jamaah, shalat tarawih + witir hanya boleh 11 rakaat, yang menganggap pakai ushalli bid'ah, termasuk soal perbedaan penetapan idul fitri dan idul adha.
Tak ada kritik apalagi ejekan pada pelaku. Kalaupun ada kritik, itu dari sisi kajian ilmiahnya, dan ini hal biasa di kalangan pelajar ilmu syar'i.
Yang sering dan hampir selalu saya permasalahkan, adalah sikap merasa "syar'i sendiri" atau "sesuai sunnah sendiri", seakan pihak lain telah melakukan kemungkaran atau melepaskan diri dari ikatan Syariat. Sikap seperti ini, pada persoalan ijtihadiyyah, adalah sikap yang keliru. Dan jika landasannya adalah karena "pendapat tersebut menyimpang menurut kelompok saya", atau "pendapat tersebut menyelisihi pendapat yang dipegang kelompok saya", maka inilah sikap ta'ashshub (fanatisme buta) yang sebenarnya. Dan ini sangat tercela.
~ Muhammad Abduh Negara ~
Muhammad Abduh Negara II
4 Juni pukul 13.33 ·
Ada orang, kalau merasa lemah pendapatnya, minta ditoleransi.
Sebaliknya, kalau merasa kuat pendapatnya (meski hanya klaim), begitu mudah menyatakan yang mengikuti pendapat lain, telah menyelisihi syariat.
Ini bukan sikap tasamuh dalam perbedaan pendapat, tapi sikap ta'ashshub.
Muhammad Abduh Negara II
4 Juni pukul 10.56 ·
#Muhammad Abduh Negara II