مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ
Siapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Di masa lalu kita masih menemukan banyak tanah kosong tak bertuan, yang dinamakan ardhan mayyitan. Dan urf-nya di masa itu, siapa yang menghidupkan tanah kosong tak bertuan, maka dia boleh menjadi pemiliknya.
Namun di masa sekarang ini, sudah tidak ada lagi tanah kosong tak bertuan. Kalau pun ada, tanah itu dikuasai oleh negara, sebagaimana diatur undang-undang yang berlaku di negara kita.
Maka hadits ini tidak bisa lagi digunakan secara harfiyah sebagaimana di masa kenabian dulu. Sebab konteksnya sudah berbeda. Demikian juga dengan hadits berikut ini :
مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَه
Siapa yang membangun pagar pada sebidang tanah, maka tanah itu menjadi miliknya. (HR. Ahmad, Abu Dawud)
Kalau makna harfiyah hadits ini digunakan di masa sekarang di negeri kita, insyaallah pelakunya ditangkap polisi dan masuk penjara bertahun-tahun. Sebab pelakunya telah menyerobot tanah milik orang lain yang bukan haknya.
Dia tidak boleh berdalil dengan menggunakan hadits di atas, karena yang dimaksud membangun pagar di atas tanah itu bukan tanah milik orang, melainkan tanah kosong tak bertuan di masa lalu. Misalnya di padang pasir yang luas tak bertepi dan tak bertuan, silahkan saja kalau mau memiliki tanah itu.
Tetapi setelah terbangun negara yang punya wewenang atas tanah milik negara, kita sudah tidak bisa lagi melakukannya, meski dengan dasar hadits nabawi.
Meski suatu hadits itu shahih, tetapi belum tentu bisa langsung diamalkan. Apalagi kalau haditsnya sudah tidak shahih.
Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Ahmad Sarwat
15 Juni pukul 15.08 ·
#Ahmad Sarwat