Berhari Raya Dengan 'Rasa' Indonesia

Berhari Raya Dengan 'Rasa' Indonesia - Kajian Medina
Mari kita rayakan hari raya tahun ini, namun jangan sampai kita lupa bahwa kita orang Indonesia. Barakallahu fiikum...jami'an...

Abdullah Al Jirani
6 Juni pukul 17.22 ·

BERHARI RAYA DENGAN 'RASA' INDONESIA 
(mulai dari "uang fitrah" sampai ketupat sayur)

Oleh : Abdullah Al Jirani

Di Indonesia, apalagi pulau Jawa, hari raya Idul Fithri identik dengan berbagai tradisi/adat yang hampir tidak bisa dilepaskan darinya. Jika tradisi-tradisi ini tidak ada, serasa belum ‘sah’ hari raya-nya. Sebut saja tradisi mudik (pulang kampung bagi perantau), baju baru, uang fitrah, saling berkunjung (sungkeman), saling memaafkan dengan berjabat tangan (bahasa kita “halal bi halal”), takbiran di masjid atau keliling, ketupat sayur, yang muda memberi bingkisan ke yang lebih tua (bahasa jawa-nya : munjung), ucapan “minal aidin wal faizin”, bunyi petasan (dalam batas kewajaran dan tidak memudharatkan), dan yang lainnya.

Semua yang tersebutkan, merupakan tradisi yang sudah turun menurun di negeri kita ini. Secara umum, tradisi-tradisi di atas bersifat baik dan tidak ada pelanggaran agama. Pada intinya, adat itu hukum asalnya boleh. Akan berubah menjadi makruh atau bahkan haram, jika terdapat hal yang memudharatkan atau pelanggaran dalam agama. Kalau hukum asalnya boleh, maka tidak butuh kepada dalil atau contoh dari nabi. Dalil dan contoh dari nabi hanyalah berlaku pada ranah ibadah.

Alangkah bagusnya jika kita bisa “nguri-uri” (menjaga dan melestarikan) tradisi-tradisi luhur dan mulia bangsa kita. Hijrah itu tidak harus kehilangan ‘rasa Indonesia’ secara total. Yang wajib kita tinggalkan hanyalah tradisi yang bertentangan dengan agama kita. Adapun yang tidak bertentangan, sudah selayaknya untuk kita lestarikan.

Mengkhususkan berbagai kebaikan di saat hari raya, juga merupakan perkara yang diperbolehkan. Contohnya saling memaafkan di hari raya. Ini hal yang baik. Memang benar, minta maaf tidak harus pas hari raya. Akan tetapi minta maaf di hari raya juga bukan hal buruk. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah mengkhususkan hari Sabtu untuk pergi ke masjid Quba’ dalam rangka shalat dua rekaat di sana.

Telah diriwayatkan dari Abdullah bin Umar –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata :

«كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ، مَاشِيًا وَرَاكِبًا» وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا «يَفْعَلُهُ»

“Adalah Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- datang ke masjid Quba’ setiap hari Sabtu dalam keadaan berjalan kaki dan naik kendaraan. Dan Ibnu Umar –rodhiallohu ‘anhuma- melakukannya.” [ HR. Al-Bukhari : 1193 dan Muslim : 520. Dan lafadz di atas lafadz Al-Bukhari].

Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- datang ke masjid Quba’ setiap hari Sabtu, untuk melakukan sholat dua rekaat di sana. Sebagaimana dijelaskan dalam riwayat lain masih dari sahabat Abdullah bin Umar –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata :

فَيُصَلِّي فِيهِ رَكْعَتَيْنِ

“Maka beliau (Rosulullah) sholat dua rekaat di dalamnya (masjid Quba’). [ HR. Al-Bukhari : 1194 ].

Al-Hafidz Ibnu Hajar –rohimahullah- berkata :

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ عَلَى اخْتِلَافِ طُرُقِهِ دَلَالَةٌ عَلَى جَوَازِ تَخْصِيصِ بَعْضِ الْأَيَّامِ بِبَعْضِ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَالْمُدَاوَمَةِ عَلَى ذَلِكَ

“Di dalam hadits ini beserta berbagai jalan-jalan periwayatannya menunjukkan, bolehnya untuk mengkhususkan sebagian hari dengan sebagian amalan sholih dan terus-menerus di atas hal itu.” [ Fathul Bari : 3/69 ].

Al-Imam An-Nawawi –rohimahullah- berkata :

وَقَوْلُهُ كُلَّ سَبْتٍ فِيهِ جَوَازُ تَخْصِيصِ بَعْضِ الْأَيَّامِ بِالزِّيَارَةِ وَهَذَا هو الصواب وقول الجمهور وكره بن مَسْلَمَةَ الْمَالِكِيُّ ذَلِكَ قَالُوا لَعَلَّهُ لَمْ تَبْلُغْهُ هَذِهِ الْأَحَادِيثُ

“Ucapannya : “setiap Sabtu”, di dalamnya terdapat dalil bolehnya untuk mengkhususkan sebagian hari untuk ziarah. Dan ini yang benar dan merupakan pendapat Jumhur (mayoritas ulama’). Ibnu Maslamah Al-Maliki memakruhkan hal itu. Para ulama’ berkata : mungkin hadits-hadits ini belum sampai kepadanya.” [ Syarh Shohih Muslim : 9/171 ].

Imam Ibnu Aqil Al-Hambali berkata : “Tidak seyogyanya seorang keluar dari adat/tradisi manusia (di tempat dia tinggal)”.

Marilah kita berhari raya tanpa kehilangan “jati diri” sebagai “orang Indonesia".

27 Ramadhan 1439 H

Note : Gambar ketupatnya dulu. Ucapan selamatnya menyusul -insya Allah-.

Abdullah Al Jirani
12 Juni 2018

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.