Menunda Buka Puasa, Haram atau Makruh?

Menunda Buka Puasa, Haram atau Makruh? - Kajian Medina
MENUNDA BUKA PUASA, HARAM ATAU MAKRUH ?

Tidak dipungkiri, bahwa menyegerakan berbuka puasa merupakan perkara yang dianjurkan. Namun, menundanya bukan perkara yang diharamkan. Larangan menunda atau mengakhirkan buka puasa hanya bersifat makruh. Itupun berlaku bagi seorang yang menyakini adanya keutamaan di dalamnya. Adapun seorang yang menundanya tanpa adanya keyakinan bahwa hal itu lebih utama, maka tidak mengapa (boleh), meski tidak dianjurkan. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :

لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ وَلَمْ يُؤَخِّرُوهُ

“Manusia senantiasa dalam kondisi baik selama mereka menyegerakan buka puasa dan tidak mengakhirkannya.”

Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- (wafat : 204) :

وَأُحِبُّ تَعْجِيلَ الْفِطْرِ وَتَرْكِ تَأْخِيرِهِ وَإِنَّمَا أَكْرَهُ تَأْخِيرَهُ إذَا عَمَدَ ذَلِكَ كَأَنَّهُ يَرَى الْفَضْلَ فِيهِ

“Aku menyukai untuk disegerakan berbuka dan meninggalkan untuk mengakhirkannya. Aku memakruhkan mengakhirkan berbuka, hanyalah apabila seorang sengaja melakukan hal itu seakan dia berpendapat adanya keutamaan di dalamnya.” [ Al-Umm : 2/106 ]

Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah menunda berbuka puasa sampai waktu malam. Demikian juga sahabat Umar dan Utsman –radhiallahu ‘anhuma-. Keduanya pernah salat Maghrib agak malam, lalu setelah salat baru berbuka. Simak : Al-Umm : (2/106). Jika mengakhirkan berbuka hukumnya haram, tidak mungkin nabi dan para sahabat melakukannya.

Dalam kitab “Kifayatul Akhyar” hlm. 200 karya Imam Abu Bakar Al-Hishni Asy-Syafi’i (wafat : 829 H) dinyatakan :

وَيكرهُ لَهُ التَّأْخِير إِن قصد ذَلِك وَرَأى أَن فِيهِ فَضِيلَة قَالَه الشَّافِعِي فِي الْأُم وَإِلَّا فَلَا بَأْس بِهِ وَلَا يسْتَحبّ

“Dimakruhkan untuk mengakhirkan buka puasa jika seorang memaksudkan hal itu dan berpendapat bahwa di dalamnya terdapat keutamaan. Demikian dinyatakan oleh Asy-Syafi’i dalam Al-Umm. Jika tidak (menyakini hal itu lebih utama), maka tidak mengapa (boleh) namun tidak dianjurkan.”

Kami memandang perlu untuk menjelaskan masalah ini agar bisa dipahami secara proporsional. Tidak berlebihan, tapi juga tidak meremehkan. Perintah itu tidak melulu bersifat harus/wajib, dan larangan itu tidak melulu bersifat haram. Tidak dianjurkan itu tidak mesti bid'ah, atau haram, atau maksiat. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

✒Abdullah Al-Jirani

Abdullah Al Jirani
26 April pukul 07.04 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.