Oleh : Abdullah Al Jirani
Ada sebuah pertanyaan masuk kepada kami tentang hukum puasa sunah setelah pertengahan bulan Sya’ban. Apakah dilarang mutlak, atau ada perincian di dalamnya. Kami jawab : Perlu untuk diketahui, bahwa dalam masalah ini telah diriwayatkan sebuah hadis dari sahabat Abu Hurairah –radhiallahu ‘anhu- beliau berkata, nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ، فَلَا تَصُومُوا
“Apabila telah masuk pertengahan bulan Sya’ban, maka janganlah kalian puasa (sampai masuk bulan Ramadan).” [HR. Abu Dawud : 2337]
Larangan dalam hadis di atas tidak bersifat mutlak, akan tetapi hanya berlalu bagi mereka yang tidak punya kebiasaan puasa sebelumnya. Adapun seorang yang telah memiliki adat/kebiasaan puasa sebelumnya, seperti puasa Dawud, atau puasa “ayamul bidh” (hari-hari putih, yaitu tanggal 13,14,15 di tiap bulan), atau puasa Senin-Kamis, atau dia menyambungnya dengan puasa yang sebelumnya, maka dibolehkan. Demikian dijelaskan oleh Imam Ibnu Khuzaimah –rahimahullah- (wafat : 311 H) dalam “Shahih Ibnu Khuzaimah” : (3/282).
Imam An-Nawawi –rahimahullah- (wafat : 676 H) berkata :
فَلَا صِيَامَ حَتَّى يَكُونَ رَمَضَانُ فَإِنْ وَصَلَهُ بِمَا قَبْلَهُ أَوْ صَادَفَ عَادَةً لَهُ... فَصَامَهُ تَطَوُّعًا بِنِيَّةِ ذَلِكَ جَازَ
“(Artinya), tidak ada puasa (setelah masuk pertengahan bulan Sya’ban) sampai masuk Ramadan. Jika seorang menyambungnya (dengan puasa) dia sebelumnya, atau bertepatan dengan kebiasaan (puasa) dia (sebelumnya),...lalu dia puasa sunah dengan niat tersebut, maka boleh.” [Syarah Shahih Muslim : 7/194].
Dalam kitab "Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab” : (6/400) beliau -rahimahullah- menyatakan :
أَمَّا إذَا صَامَ بَعْدَ نِصْفِ شَعْبَانَ...(أَصَحُّهُمَا) وَبِهِ قَطَعَ الْمُصَنِّفُ وغيره من الْمُحَقِّقِينَ لَا يَجُوزُ لِلْحَدِيثِ السَّابِقِ
“Adapun apabila seorang puasa setelah masuk pertengahan bulan Sya’ban (tanpa punya kebiasaan puasa sebelumnya atau tanpa disambung dengan puasa sebelumnya),....(maka ada dua pendapat dalam madzhab Syafi’i), tapi yang paling shahih (benar) tidak boleh dengan dasar hadis yang telah lalu. Dan pendapat ini telah dipastikan oleh pengarang (maksudnya Imam Asy-Syirazi) dan selain beliau dari para ulama’ ahli tahqiq.”
Demikian penjelasan singkat dalam masalah ini. Semoga bermanfaat bagi kita sekalian. Wallahu a’lam bi ash-shawab. Walhamdulillah Rabbil ‘alamin.
Abdullah Al Jirani
29 April pukul 08.08 ·
#Abdullah Al Jirani