Oleh ; Abdullah Al Jirani
Memang benar, ada beberapa hadits yang melarang untuk menggambar makhluk bernyawa. Termasuk makna “menggambar” yang dilarang di sini, adalah fotografi yang ada di zaman ini. Namun, kita tidak bisa menyimpulkan sebuah hukum hanya sebatas “tekstual” (memahami teks hadits tersebut) tanpa memperhatikan sisi-sisi yang lainnya. Dalam hal ini, perlu ada dua hal yang perlu kita lihat :
1). Jenis larangan. Larangan menggambar makhluk bernyawa termasuk jenis “tahrim wasilah”, yaitu sebuah perkara yang dilarang karena berpotensi akan menjadi sebab terjadinya perkara lain yang dilarang. Perkara lain tersebut adalah peribadahan kepada selain Allah. Larangan seperti ini, dibolehkan ketika ada “hajat” (kebutuhan) untuk melakukannya. Salah satu buktinya, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengijinkan Aisyah untuk bermain dengan boneka.Dimana boneka termasuk jenis “gambar”, bahkan lebih dahsyat dari sekedar gambar. Hal ini dilakukan karena ada hajat untuk tarbiyah (pendidikan). Jika memang haram secara mutlak, tentu beliau tidak akan mengijinkannya. Adapun jenis larangan “tahrim maqashid”, adalah sebuah larangan yang secara asal dzat perkaranya sudah terlarang. Jenis ini hanya boleh dilakukan dalam kondisi darurat. Demikian dijelaskan oleh Imam Al-Qarafi –rahimahullah-.
2). ‘Illat (sebab) larangan. ‘Illat (sebab) larangan menggambar makhluk bernyawa ada dua : (1). Menyerupai dan menandingi ciptaan Allah. (2). Merupakan wasilah (perantara) untuk terjatuh dalam perbuatan ghuluw (melampaui batas) kepada selain Allah dengan mengagungkannya sehingga akan membawa kepada penyembahan selain Allah. Ada sebuah kaidah yang berbunyi :
الحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْداً وَ عَدَمًا
“Hukum berputar bersama ada tidaknya sebuah ‘illat (sebab).”
Jika sebab ada, maka hukum juga ada. Jika sebab tidak ada, maka otomatis hukum juga tidak ada. Perlu juga untuk kita ketahui, bahwa terkadang sebuah sebab yang melatarbelakangi sebuah hukum, terbatas di zaman/waktu tertentu saja, kemudian setelah itu sebab tersebut telah hilang yang secara otomatis akan menghilangkan hukum juga.
Hukum larangan menggambar makhluk bernyawa akan berlaku saat dua illat ini ada. Seorang yang yang ingin melakukan ‘illat kedua, yaitu menggambar makhluk bernyawa untuk diagungkan dan disembah selain Allah, sudah berang tentu dia akan melalui illat yang pertama. Pada saat itulah, maka hukum larangan ini berlaku. Tapi jika sekedar menggambar (termasuk di dalamnya fotografi), tanpa ada tujuan untuk pengagungan yang melampaui batas, maka menurut hemat kami tidak termasuk dalam larangan. Imam Ibnul Arabi –rahimahullah- (wafat : 543 H) berkata :
وَاَلَّذِي أُوجِبَ النَّهْيَ عَنْهُ فِي شَرْعِنَا وَاَللَّهُ أَعْلَمُ مَا كَانَتْ الْعَرَبُ عَلَيْهِ مِنْ عِبَادَةِ الْأَوْثَانِ وَالْأَصْنَامِ، فَكَانُوا يُصَوِّرُونَ وَيَعْبُدُونَ، فَقَطَعَ اللَّهُ الذَّرِيعَةَ وَحَمَى الْبَابَ
“Dan yang dia (Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam) haruskan larangan darinya di dalam syari’at kita –wallahu a’lam- apa yang dilakukan oleh orang-orang Arab kala itu berupa peribadahan kepada berhala dan patung-patung. Maka mereka menggambar dan menyembahnya. Maka Allah memutus dan menjaga pintu (yang akan mengarah ke sana).”[Ahkamul Qur’an : 4/9]
Imam Ibnu Bathal –rahimahullah- berkata :
قال المهلب: وإنما نهى عن ذلك، والله أعلم، قطعًا للذريعة ولقرب عبادتهم الأصنام واتخاذ القبور والصورة آلهة
“Al-Muhallab –rahimahullah- berkata : Beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang hal itu (menggambar makhluk bernyawa), -wallahu a’lam- dalam rangka untuk memutus kepada celah dan dijadikannya kuburan dan gambar sebagai sesembahan selain Allah karena mereka baru saja lepas dari peribadahan kepada berhala.” [Syarhu Shahih Al-Bukhari : 2/82 ].
Hal ini berdasarkan hadits Aisyah –radhiallahu ‘anha- beliau berkata :
أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ، وَأُمَّ سَلَمَةَ ذَكَرَتَا كَنِيسَةً رَأَيْنَهَا بِالحَبَشَةِ فِيهَا تَصَاوِيرُ، فَذَكَرَتَا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «إِنَّ أُولَئِكَ إِذَا كَانَ فِيهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ، بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، فَأُولَئِكَ شِرَارُ الخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ القِيَامَةِ»
“Sesungguhnya Ummu Habibah dan Ummu Salamah menceritakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa mereka melihat gereja di Habasyah yang didalamnya terdapat gambar. Maka beliau pun bersabda: "Sesungguhnya jika orang shalih dari mereka meninggal, maka mereka mendirikan masjid di atas kuburannya dan membuat gambarya di sana. Maka mereka itulah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah pada hari kiyamat." [ HR. Al-Bukhari : 427 dan Muslim : 528 ].
Oleh karena itu, larangan menggambar makhluk bernyawa adalah sebuah larangan diawal-awal Islam, dikarenakan waktu itu kaum muslimin baru saja lepas dari penyembahan kepada berhala. Sehingga dikhawatirkan akan terjatuh kembali kepada peribadahan selain Allah. Adapun setelah itu, dimana Islam sudah tersebar dan kaidah-kaidahnya telah merata, maka hal ini tidak berlaku lagi, kecuali kondisi-kondisi yang memang mengarah kepada terwujudnya ‘illat (sebab) yang melatarbelakangi larangan tersebut. Seperti orang-orang Syi’ah yang menggambar imam-imam mereka, lalu mereka sujud dan beribadah kepadanya. Ini jelas haram. Kalaulah kita memakai ‘illat adanya “penyerupaan” kepada ciptaan Allah, itupun tetap dibolehkan ketika ada hajat dalam hal tersebut. Karena termasuk “tahrim wasilah”.
Sehingga pernyataan yang menyatakan bahwa “foto selfi akan masuk Neraka”, merupakan pernyataan yang tidak benar dan jauh dari timbangan ilmiyyah. Kok yang divonis cuma selfi, yang difotokan orang lain seharusnya juga masuk Neraka, dong. Kan hanya beda yang melakukan. Konsekwensinya, berapa banyak orang yang harus divonis masuk Neraka. Para ulama’ dan para ustadz yang masuk TV/divideo, berarti mereka masuk Neraka (padahal tidak sedikit yang dari kelompok salafy). Karena TV/Video, hakikatnya terdapat proses menggambar di dalamnya. Belum lagi para ustadz dan ikhwah yang gemar berfoto dalam berbagai kesempatan untuk mengabadikan moment-moment penting dalam hidup mereka, berarti juga masuk Neraka. Wallahu a’lam bish shawab.
Solo, 21 Maret 2019
------------------
Note : Menggambar makhluk bernyawa termasuk di dalamnya fotografi, dulu menjadi sesuatu yang sangat “horor”. Pokoknya haram mutlak ! Sampai-sampai, masalah ini dijadikan standar untuk melihat kemurnian tidaknya “ke-salafyyah-an” seseorang. Yang mau difoto, dianggap bukan salafy atau salafy KW, atau hizbi. Bahkan juga dijadikan ukuran dalam membangun masalah wala’ (loyalitas) dan bara’ (kebencian). Tapi itu DULU, adapun sekarang, NO ! Bahkan sekarang sudah jadi hobi yang perlu dilestarikan. Pelajarannya, ilmu itu berkembang. Apa yang kita ingkari waktu itu, mungkin akan menjadi sesuatu yang kita akui bahkan kita jalani untuk saat ini. Maka, mari terus belajar !
Kalau boleh tanya, kira-kria pembuat meme di bawah ini dari kelompok mana dan asuhan siapa, ya ?
Abdullah Al Jirani
23 jam ·
#Abdullah Al Jirani