Oleh : Abdullah Al Jirani
Ada sebuah pertanyaan yang masuk kepada kami tentang hukum kado silang. Apakah haram, ataukah halal ? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita lihat terlebih dahulu apa pengertian kado silang. Karena gambaran sesuatu secara benar, akan menentukan kebenaran hukum yang layak baginya. Sebaliknya penggambaran yang keliru, juga akan menyebabkan hukum atasnya keliru. Sebagaimana yang dinyatakan para ulama’ :
الحكم على الشيئ فرع عن تصوره
“Hukum terhadap sesuatu, merupakan cabang/bagian dari gambarannya.”
Kado silang, merupakan sebuah ‘urf (adat/tradisi) yang ada dan telah berjalan di masyarakat kita. Biasanya dilakukan di sekolah-sekolah bertepatan dengan moment-moment kebahagian tertentu, seperti kenaikan kelas, atau kelulusan dan yang semisalnya. Nilai dan jenis kado silang biasanya telah ditetapkan oleh pihak sekolah (misalnya : nilainya 10 ribu berupa snakc). Kemudian para siswa membeli dan membungkusnya di dalam kotak/wadah tertutup. Setelah tiba pada acara yang ditentukan, mereka akan saling mencari patner, laku menukar kado mereka dengan patnernya, atau dengan metode diputar kemudian pada hitungan tertentu diberhentikan. Pemberian di sini dimaksudkan untuk saling memberi hadiah sebagai ungkapan rasa cinta kepada saudaranya.
Dengan gambaran di atas, maka kado silang secara garis besar hukumnya mubah (boleh) atau bahkan bisa menjadi mustahab. Karena termasuk dalam makna hadiah. Saling memberi hadiah, merupakan perkara yang dianjurkan dalam Islam. Ada banyak dalil yang menunjukkan akan hal ini, diantaranya sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
تَهَادُوا تَحَابُّوا
“Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai.” [HR. Al-Bukhari dalam “Al-Adabul Mufrad” : 208 dan sanadnya dihasankan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam “At-Talkhish” : 3/163].
Para ulama’ telah sepakat akan dianjurkannya saling memberi hadiah, kecuali ada suatu perkara yang mengeluarkannya dari hukum asal ini.
Bagaimana dengan adanya gharar (ketidak jelaskan) yang ada pada kado silang ? dua orang yang saling menukar kado, tidak mengetahui –secara persis- apa yang akan dia dapat. Karena sesuatu yang akan diberikan terbungkus dengan rapat. Yang diketahui hanya nilai dan jenisnya saja.
Jawab : Dalam bab hadiah, tidak ada persyaratan harus bersih dari gharar sebagaimana hal ini juga berlaku dalam bab hibah (ini jika kita tetapkan bahwa di dalam kado silang ada gharar yang dilarang syari’at). Karena hadiah, merupakan salah satu bentuk dari hibah (pemberian). Adapun hibah itu sendiri adalah pemberian kepada orang lain tanpa ‘iwadh (pengganti/timbal balik). Bedanya dengan hadiah dari sisi tujuannya. Kalau hadiah dilakukan untuk memuliakan orang yang diberi. Oleh karena itu, para fuqaha’ menyatakan bahwa syarat dan rukun hadiah sama dengan syarat dan rukun dalam hibah.
Yang ada persyaratan harus terbebas dari gharar adalah akad jual beli. Sebagaimana Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang dari jual beli gharar (yang tidak jelas).”[HR. Muslim : 1513 dari sahabat Abu Hurairah –radhiallahu ‘anhu-].
Menurut hemat kami, kado silang merupakan akad hadiah, bukan akad jual beli dengan beberapa indikasi sebagai berikut :
(1). Menurut ‘urf (adat/tradisi) di masyarakat, kado silang merupakan kegiatan saling memberi hadiah sebagai perwujudan rasa saling mencintai dalam moment-moment tertentu sebagaimana telah dijelaskan di atas. Masyarakat kita, bahkan kita sendiri, tidak memahami sedikitpun bahwa hal ini sebagai akad jual beli. Jika demikian, maka berlaku kaidah :
الْعَادة محكمَة
“Adat itu menjadi hukum (yang diamalkan).”
Imam As-Suyuthi –rahimahullah- (wafat : 911 H) berkata :
اعْلَمْ أَنَّ اعْتِبَارَ الْعَادَةِ وَالْعُرْفِ رُجِعَ إلَيْهِ فِي الْفِقْهِ، فِي مَسَائِلَ لَا تُعَدُّ كَثْرَةً.
“Ketahuilah ! Sesungguhnya banyak masalah fiqh yang (hukumnya) dikembalikan kepada pertimbangan/perhitungan adat dan ‘urf.” [Al-Asybah wan Nadzair : 90, Darul Kutub Ilmiyyah, th 1411 H].
(2). Tidak ada tujuan komersil (mencari keuntungan) di dalamnya. Terbukti, mereka semua ridha dengan apa yang mereka dapatkan walaupun mungkin ada sedikit selisih dalam hal kwalitas dan kuantitas barang yang mereka dapatkan.
Jual beli, dalam pengertian syara’ bermakna :
مبادلة المال بالمال تمليكا له
“Pertukaran harta dengan harta sebagai bentuk untuk memberikan kepemilikan kepada orang lain.
Jika kita amati, tukar kado sepintas bentuknya jual beli. Karena di dalamnya terdapat bentuk tukar-menukar (barter) harta dengan harta untuk dimiliki.Namun, hal ini belum cukup untuk menjatuhkan hukum kepadanya. Karena walaupun bentuknya jual beli, akan tetapi maksud atau tujuannya untuk saling memberi (hadiah). Dalam kaidah disebutkan bahwa :
العبرة في العقود للمقاصد والمعاني، لا للألفاظ والمباني
“ Yang diperhitungkan dalam akad karena maksud dan maknanya, bukan karena lafadz dan bentuknya.”
Ini bisa dianalogikan dengan jual beli sistem kredit memakai dua harga. Harga dengan kredit (diangsur) jatuhnya lebih mahal dari Jika dibayar kontan. Kalau niatnya untuk jual beli, maka boleh. Ini dinamakan bai’ taqshid (jual beli secara diangsur). Tidak ada seorangpun dari ulama’ salaf yang mengharamkannya. Maka di dealer-dealer sepeda motor, biasanya tertulis “Melayani jual beli sepeda motor dengan cara cash dan kredit”.
Namun jika niatnya qardh (hutang-piutang) maka hukumnya haram. Karena ada kaidah “Hutang piutang yang menyeret adanya manfaat/tambahan harga, maka termasuk riba”. Letak perbedaan hukum di sini hanya pada masalah “niat” dalam melakukannya. Demikian faidah yang pernah kami dapatkan dari syaikhuna al-‘allamah Abdurrahman Al-‘Adni Al-Yamani –rahimahullah-. Demikian dalam masalah kado silang. Niat dalam hal ini bukan jual beli, tapi saling memberi hadiah. Maka hukumnya boleh walaupun ada gharar di dalamnya.
Kalaupun dalam sado silang – yang sudah terbukti sebagai akad hadiah/hibah- terdapat syarat ‘iwadh (timbal balik), maka menurut Jumhur ulama’ hal ini diperbolehkan juga selama sesuatu yang ditukar bersifat ma’lum (jelas) alias tidak ada gharar di dalamnya.
الْهِبَةُ بِشَرْطِ الْعِوَضِ يَصِحُّ هَذَا الشَّرْطُ وَهُوَ قَوْل جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ فِي الْمَذْهَبِ وَالشَّافِعِيَّةِ فِي الأَظْهَرِ ... وَعَلَى مَذْهَبِ الْجُمْهُورِ يُشْتَرَطُ أَنْ يَكُونَ الْعِوَضُ مَعْلُومًا مُعَيَّنًا
“Hibah dengan syarat adanya pengganti/timbal balik, maka syarat ini sah menurut pendapat mayoritas ahli fiqh dari Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabilah, dan yang tampak dari madzhab Syafi’iyyah....menurut madzhab Jumhur, maka pengganti disyaratkan harus sesuatu yang jelas dan spesifik.”
Memang benar, di dalam kado silang terdapat gharar, namun ke-ghararannya bersifat ringan. Kenapa ? karena nominal dan jenisnya telah ditentukan. Misalnya : nominal 10 ribu jenisnya snack.ang namanya snack dengan nominal sepuluh ribu, ya paling itu-itu saja. Semua sudah memaklumi. Paling nanti bedanya hanya pada macam snakcnya. Karena snack macamnya banyak. Gharar yang bersifat ringan, menjadi sesuatu yang dimaafkan dalam syara’. Jual beli yang kita lakukan-pun banyak yang tidak bisa lepas dari gharar 100%. Tapi toh faktanya dianggap sah. Misal dalam hal jual beli rumah. Kalau kita amati, sebenarnya ada gharar di dalamnya, karena fondasi rumah tidak kelihatan oleh calon pembeli. Tapi gharar ini termasuk ringan sehingga dimaafkan. Kaidahnya “Adanya seperti dianggap tidak ada”.
Lain hal-nya jika kado silang sifat ghararnya bersifat penuh karena tidak ada ketentuan sama sekali dari pihak sekolah. Para siswa hanya diperintah untuk membuat kado silang tanpa ada batasan nilai minimal dan jenisnya. Maka jika kita lihat dari sisi hibah bisyarthil ‘iwadh (pemberian dengan syarat adanya timbal balik), hukumnya terlarang menurut jumhur ulama’.
Kesimpulan : Kado silang hukumnya mubah (boleh), atau bahkan mustahab (dianjurkan). Wallahu ta’ala a’lamu bish shawab.
Solo, 30 Jumadil Awal 1440 H
Abdullah Al Jirani
Kemarin pukul 10.26 ·
#Abdullah Al Jirani