Jika ada seorang yang mewakafkan tanahnya untuk masjid, bukanlah berarti tanah tersebut harus dibangun masjid saja dan penggunaannya harus untuk ibadah 100% tanpa mentolelir penggunaan-penggunaan ringan di luar itu. Karena kalau kita lihat ‘urf (kebiasaan/adat) yang berjalan, makna seorang mewakafkan tanahnya untuk masjid, artirnya pewakaf menghendaki untuk dibangun masjid di atasnya dengan segala fasilitas yang mendukung kesempurnaannya, seperti WC, kamar mandi, tempat parkir, kantor masjid, dan yang lainnya.
Pewakaf juga memberikan toleransi terhadap penggunaan-penggunaan ringan di luar ibadah atau segala sesuatu yang tidak berhubungan secara langsung dengan fungsi masjid, seperti duduk-duduk, atau tiduran sebentar, atau untuk ngobrol setelah shalat, atau orang berteduh di emperan masjid karena hujan, atau halamannya digunakan untuk jualan pada moment-moment tertentu, atau untuk menyiarkan berita kematian, atau untuk menyiarkan kerja bakti, untuk akad nikah, dan yang lainnya.
Dalam hal ini berlaku kaidah :
الشَرْطُ العُرْفِيْ كَالشَرْطِ اللَفْظِيْ
“Syarat ‘urfi (kebiasan/adat yang berjalan), kedudukannya seperti syarat lafdzi (yang dilafadzkan).”
Walaupun tidak diucapkan, perincian di atas secara ‘urf telah berjalan dan dimengerti. Oleh karena itu, jika pewakaf mengetahui masjidnya digunakan untuk menyiarkan berita kematian, dia tidak marah atau protes kenapa masjid yang dibangun di atas tanahnya digunakan untuk selain ibadah shalat. Pewakaf juga tidak protes jika ada orang tiduran sebentar setelah shalat, juga tidak protes kalau ada orang yang jualan di halaman masjid saat ada tablig akbar, dan seterusnya. Kenapa ? karena penggunaan-penggunaan ini bersifat ringan dan tidak mengeluarkan fungsi asal masjid sebagai tempat ibadah.
Terkecuali jika penggunaan masjid atau halamannya dalam perkara yang mengeluarkan fungsi asal masjid sebagai tempat ibadah, maka ini terlarang dan melanggar daripada niat pewakaf. Misalkan halaman masjid diubah menjadi pasar atau tempat futsal secara fungsi dan penggunaan, sehingga orang-orang yang datang ke situ tahunya itu pasar atau lapangan futsal, bukan lagi halaman masjid. Sehingga kaidah yang berbunyi :
الْحَرِيمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيمٌ لَهُ
“Sesuatu yang mengitari perkara yang diharamkan, memiliki hukum sama dengan perkara yang diharamkan”
Jika kaidah ini digunakan untuk masjid, artinya bagunan yang mengitari dan bersambung dengan masjid yang memiliki fungsi yang sama, seperti serambi/emper masjid. Dimana tempat ini, memiliki fungsi dan penggunaan yang sama dengan masjid. Oleh karena itu, serambi masjid memiliki hukum yang sama dengan masjid itu sendiri, seperti disyari’atkan shalat tahiyatul masjid, boleh untuk i’tikaf, tidak boleh untuk jual beli, dan yang lainnya.
Adapun bangunan atau lahan disekitar masjid yang tidak punya fungsi sebagai masjid (bukan bagian dari dzat masjid itu sendiri), maka tidak memiliki hukum-hukum masjid, seperti kantor masjid, wc, kamar mandi, halaman parkir dan yang lainnya. Maka tidak disyari’atkan bagi kita untuk shalat tahiyatul masjid ketika masuk kantor atau halaman masjid. Demikian juga tidak dilarang untuk melakukan akad jual beli di kantor, atau halaman, atau wc, atau kamar mandi masjid. Syaikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- juga memperbolehkan jual beli di halaman masjid. Adapun kalau di serambi masjid, maka terlarang. Wallahu a’lam bish shawab. Alhamdulillah rabbbil ‘alamin.
Abdullah Al Jirani
Pembina dan pengajar di Lembaga Dakwah dan Bimbingan Islam (LDBI) Darul Hikmah, Karanganyar - Indonesia
Abdullah Al Jirani
1 jam ·
#Abdullah Al Jirani