Oleh : Abdullah Al Jirani
Ikut miris dan sedih, saat sebagian ustadz komunitas salafy mentahdzir sebagian yang lain. Karena yang satu sebelumnya mentahdzir komunitas salafy tertentu, akhirnya yang ditahdzir gantian membalas mentahdzir. Tabligh akbar yang ini ditahdzir, tabglihg akbar yang itu gantian ditahdzir. Akhirnya, terjadilah saling tahdzir-mentahdzir, saling menyesatkan, dan saling mengharamkan untuk mengambil ilmu dari masing-masing. Padahal, sama-sama dari komunitas salafy, kitab-kitab rujukannya sama, para ulama’nya sama, dan jargon-jargonnya pun juga sama.
Kalau diteliti, berbagai alasan yang dijadikan untuk menjustifikasi tahdzir dari masing-masing mereka, secara umum tidak ada yang ilmiyyah. Dalam arti tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan tahdzir dan penyesatan yang mereka lakukan atas sebagian yang lain. Mungkin karena masuk masalah khilafiyyah ijtihadiyyah, atau karena salah paham, atau karena ada sentimen pribadi, atau alasan-alasan lain. Walaupun secara lisan, mereka saling mengatasnamakan apa yang mereka perbuat sebagai upaya untuk membela agama Allah (menurut prasangka mereka masing-masing).
Salah itu sebuah keniscayaan. Saling kritik dan melusurkan pun termasuk perkara yang dianjurkan. Tapi, tidak setiap kesalahan pelakunya harus ditahdzir, dan tidak setiap kritikan atau pelurusan harus dimaknai sebagai tahdzir. Orang yang salah itu tidak mesti sesat, tapi orang yang sesat pasti salah. Sebuah kesahalan yang ada pada diri seseorang atau jama’ah (kelompok), tidak serta merta menjadikannya sesat dari jalan yang lurus (dalam arti keluar dari lingkup Ahlus Sunnah wal Jama’ah). Sepanjang kebaikan dan kelurusan yang pada padanya lebih dominan dari kesalahan yang dilakukan, maka dia dihukumi sebagai seorang yang salah (memiliki kesalahan), bukan orang yang sesat. Jika kita menghukumi setiap orang yang salah sebagai orang yang sesat, itu sebuah kedzaliman.
Ibarat sebuah pohon, ada batang dan ada ranting. Saat kita menghukumi seorang sesat, maka kita menghukumi batangnya yang secara otomatis rantingnya ikut masuk di situ. Tapi saat kita menghukumi salah, maka itu khusus untuk rantingnya. Adapun batangnya, tidak masuk. Kalau batangnya mati, otomatis rantingnya ikut mati. Tapi kalau rantingnya yang mati, belum tentu batangnya ikut mati. (semoga permisalan ini bisa dipahami).
Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- berkata :
لا غرابة في أن يخطئ من كان إماما في دعوة الحق ، فإذا أخطأ في مسألة أو أخرى في مسألتين أو ثلاث أو أكثر فذلك لا يخرجه عن دعوة الحق إذا تبناها
Tidak ada keanehan seorang pemuka dalam dakwah yang mengajak kepada kebenaran terjatuh dalam sebuah kesalahan. Apabila seorang salah di dalam satu masalah, atau yang lain dalam dua masalah, atau tiga masalah, atau lebih, maka hal itu tidak mengeluarkannya dari (barisan) orang-orang yang menyeru kepada kebenaran apabila dakwah di bangun di atasnya.
لأن العبرة بما يغلب على الإنسان من فكر صحيح أو عمل صالح، متى يكون المسلم صالحا ؟ هل يشترط كي يكون صالحا أن لا يقع منه أي ذنب أو معصية؟ الجواب لا، بل من طبيعة الإنسان أن يقع منه الذنب والمعصية مرارا وتكرارا ، فمتى يكون العبد صالحا؟ إذا غلب خيره شره وصلاحه ضلاله، وهكذا كذلك تماما يقال في المسائل العلمية، سواء كانت هذه المسائل العلمية مسائل عقدية أو فقهية
Karena sesungguhnya yang teranggap (sebagai ukuran) adalah apa yang dominan pada diri seorang insan, berupa pemikiran yang shahih (baik) atau amal shalih. Kapan seorang muslim menjadi seorang yang shalih (baik) ? Apakah untuk menjadi seorang yang shalih disyaratkan tidak pernah terjatuh dalam dosa dan maksiat apapun ? Jawab : Tidak ! bahkan terjatuh dalam suatu dosa atau maksiat berulang-ulang, termasuk tabi’at seorang insan. Lantas kapan seorang hamba menjadi shalih ? Apabila kebaikannya lebih dominan (lebih banyak) dari kejelekannya, dan keshalihannya lebih dominan dari kesesatannya. Demikianlah pula berlaku secara sempurna di dalam masalah ilmiyyah, baik dalam masalah aqidah atau fiqhiyyah.
فإذا كان هذا العالم يغلب عليه العلم الصحيح فهو الناجي، وأما أنه له زلة أو زلات في الفقه أو في العقيدة فهذا لا يخرجه عما غلب عليه من العقيدة الصحيحة ..
“Maka, apabila seorang alim ini ilmunya yang shahih (benar/baik) lebih dominan, maka dia seorang yang an-naaji (seorang yang selamat). Adapun dia memiliki satu kesalahan atau beberapa kesalahan di dalam masalah fiqh atau di dalam masalah aqidah, maka ini tidak mengeluarkannya dari aqidah yang shahihah yang lebih dominan pada dirinya....” [Silsilatul Huda wa An-Nur : 727 side A].
Jika kita mendapati saudara kita melakukan suatu kesalahan, maka kritiklah secara ilmiyyah dengan cara yang baik, sopan, dan penuh dengan sifat rahmah (kasih sayang). Sembari diiringi dengan menjaga kewibawaan dan kehormatannya serta tetap menganjurkan umat untuk mengambil ilmu darinya dalam perkara yang dia tidak tersalah di dalamnya. Jika harus mengkritik, usahakan dengan ‘empat mata’ (jalur pribadi). Karena yang seperti ini biasanya lebih mudah diterima oleh orang yang dikritik dan lebih memudahkan keikhlasan bagi yang mengkritik. Usahakan tidak mengkritik di depan umum dengan menyebutkan namanya.
Kita tidak anti tahdzir. Karena tahdzir merupakan bagian dari syari’at Islam. Tapi, hendaknya yang ditadhzir benar-benar layak untuk mendapatkan itu, seperti sekte Ahmadiyyah, Syi’ah, Liberal, kemusyrikan dan para pembawa dan pendukungnya, komunis, dan yang sejenis dengan ini. wallahu muwaffiq ila aqwamith thariq. Alhamdulillah rabbil ‘alamin.
Karanganyar, 27 Rabi’ul Awwal 1440 H/5 Desember 2018
-----
*Tahdzir : memperingatkan.
Abdullah Al Jirani
2 jam ·
Sumber : https://web.facebook.com/abdullah.aljirani.37/posts/373438063427499
#Abdullah Al Jirani