Munculnya istilah Reuni 212 membuat kaum hasad pemakan bangkai menyinyir bahwa tidak ada reuni dalam Islâm – link bantahan: http://bit.ly/2E2Eh6n – di mana seperti biasa, kaum pemakan bangkai itu kembali menggadang-gadang perkataan "tiada persatuan kecuali di atas manhaj". Tak perlu dibahas tentang manhaj apa yang dimaksud oleh kaum pemakan bangkai itu, karena jelas-jelas itu adalah manhaj versi mereka sendiri, BUKAN Manhaj Salaf yang sesungguhnya.
Kenyinyiran kaum pemakan bangkai itu bertambah-tambah sumbang karena pada Reuni 212 kemarin banyak di antara yang turun person-person yang bertatto, merokok, atau kurang menutup aurot dengan benar, terjadi ikhtilath, bahkan ada non-muslim segala.
Maka perlu ditinjau apakah memang ada dipersyaratkan bahwa untuk membela agama itu haruslah orang yang "suci" dan "lurus manhajnya" …?
Ternyata Rosûlullôh ﷺ tidak berpendapat begitu, bahkan sebaliknya!
📌 Kata Baginda Nabî ﷺ:
إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلاَّ نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ ، وَإِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ
(arti) _“Sungguh takkan masuk Syurga melainkan jiwa yang berserah diri (muslim), dan Allôh bisa jadi mengukuhkan agama ini melalui seseorang yang fâjir.”_ [HR al-Bukhôrî no 3062, 4204, 6606; Muslim no 111].
❗ Jelas tak pernah dipersyaratkan untuk membela agama itu harus orang yang suci ataupun semanhaj.
Cobalah buka kitâb siroh, temukan kisah Ushoirim Bani ‘Abdul-Asyhal ‘Amr ibn Tsabit ibn Waqsy yang keningnya belum pernah sekalipun dibuat untuk bersujud kepada الله, tetapi ia ada di Syurga.
Bagaimana bisa?
Ushoirim رضي الله عنه yang awalnya enggan memeluk Islâm sebagaimana kaumnya, namun kemudian ia masuk Islâm persis menjelang terjadinya Perang Uhud. Setelah itu, ia mengambil pedangnya dan berangkat menuju medan tempur dan bertempur dengan gagah berani sehingga ia terluka parah, dan akhirnya gugur… dan Baginda Nabî ﷺ jelas-jelas mengatakan bahwa Ushoirim adalah termasuk penghuni Syurga. [lihat: Ibnu Hisyam, as-Sîroh an-Nabawiyah III/40].
Bayangkan, seorang mantan kâfir yang belum belajar apapun tentang ‘‘ibâdah di dalam Islâm, langsung turun berjihâd dan gugur sebagai syuhada dan ia termasuk penghuni Syurga!
Juga bacalah kisah tentang Shohâbat Abû Mihjan ats-Tsaqofî رضي الله عنه bertempur dengan gagah berani dan menjadi pahlawan pada perang Qôdisiyyah, padahal ketika itu beliau adalah seorang tahanan yang dipenjara sebagai hukuman karena mabuk. [lihat: al-Mushonnaf Abû Bakr ibn Abû Syaibah XI/520 no 34309; Târîkh ath-Thobarî III/575; al-Bidâyah wa an-Nihâyah VII/45; Futûh al-Buldân II/316; Thobaqôt asy-Syu‘arô’ hal 268; al-Ishôbah fî Tamyîz ash-Shohâbah IV/173-174].
Sungguh tak pernah ada ‘ulamâ’ yang mewajibkan seseorang itu harus jadi baik dulu akhlâqnya ataupun keseluruhan cabang ‘aqidahnya, baru ia boleh berjihâd untuk membela Islâm dan kebenaran. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah رحمه الله jelas mengajak bersatu dengan kalangan Asya‘iroh dan Shufiyyah untuk melawan Tatar maupun pasukan Salib.
Bahkan dari sejarah pun tampak bahwa kemenangan itu tak selalu diberikan kepada orang-orang yang dianggap lurus ‘aqidahnya. Simaklah kisah Kholîfah al-Mu‘tashim Billâh (Muḥammad ibn Hârûn al-Rasyîd), yang merupakan penyeru ‘aqidah sesat Mu‘tazilah (‘aqidah yang dikâfirkan oleh sebagian besar ‘ulamâ’!). Al-Mu‘tashim berhasil mengalahkan Kaisar Theophilos dan menaklukkan kota Amorium (Ammuriyyah) dan memukul mundur tentara Rûm (Byzantium) dari wilayah Phrygia, Asia Kecil.
Bisa disimak juga kisah Sholâhuddîn Yûsuf ibn Ayyubi yang mewajibkan disyi‘arkannya ‘aqidah Asy‘ari di Masjid-Masjid. Sholâhuddîn berhasil menghancurkan tentara Salib yang dipimpin Guy Lusignan di Hittin dan kemudian membebaskan al-Quds.
Atau simak juga kisah Muhammad al-Fatih (Mehmed II) yang dituduh Quburiyyun oleh sebagian ‘ulamâ’, ternyata berhasil menaklukkan Konstantinopel dan sekaligus menghancurkan Kekaisaran Byzantium (Romawi Timur).
📌 Uniknya, kata Baginda Nabî ﷺ:
لَتُفتَحنَّ القُسطنطينيةُ ولنِعمَ الأميرُ أميرُها ولنعم الجيشُ ذلك الجيشُ
(arti) _“Sungguh akan dibuka kota Konstantinopel, sebaik-baik pemimpin adalah yang memimpin (pasukan) saat itu, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan perang pada saat itu.”_ [HR Ahmad no 18189; al-Bukhôrî, Tarikh Shoghîr 139; ath-Thobrônî, al-Kabir I/119/2; al-Hakim IV/4/422; Ibnu Asakir XVI/223].
Itu semua membuktikan bahwa الله Subhânahu wa Ta‘âlâ bisa saja memberi kemenangan kepada orang-orang yang cacat atau ada catatan dalam hal ‘aqidahnya. Hal yang terpenting adalah berjuangnya untuk meninggikan Islâm dan membela kaum Muslimîn melawan Thôghût dan orang kuffâr, atau memberantas kezhôliman.
Mengenai memberantas kezhôliman ini, bahkan Baginda Nabî ﷺ pun mau ikut kembali dalam kesepakatan Hilf al-Fudhul (yang Beliau ikuti saat sebelum diangkat jadi Nabî) meski bersama orang-orang kâfir untuk satu kepentingan bersama, yaitu melawan kezhôliman yang terjadi di Makkah.
📌 Kata Nabî ﷺ mengenai perjanjian tersebut:
لَقَدْ شَهِدْتُ فِي دَارِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جُدْعَانَ حِلْفًا مَا أُحِبُّ أَنَّ لِيَ بِهِ حُمْرَ النَّعَمِ ، وَلَوْ أُدْعَى بِهِ فِي الإِسْلامِ لأَجَبْتُ
(arti) _“Aku menghadiri sebuah perjanjian di rumah ‘Abdullôh bin Jud‘ân. Tiada yang melebihi kecintaanku kepada unta merah kecuali perjanjian itu. Andai aku diajak untuk menyepakati perjanjian itu di masa Islâm, maka aku pun akan mendatanginya!”_ [HR al-Baihaqî, as-Sunan al-Kubro no 12110 ~ dihasankan oleh Syaikh Nashîruddîn al-Albânî, as-Silsilah Ahadîts ash-Shohîhah no 1900].
Kaum Muslimîn wajib ikut berperang meski bersama pemimpin yang zhôlim sekalipun, tanpa harus terlebih dahulu membenahi akhlaq dan ‘aqidah si pemimpin, selama si pemimpin itu mengajak berperang melawan orang kuffâr dan demi meninggikan Islâm. Itu sudah ijma’ dari para ‘ulamâ’ Ahlus-Sunnah.
Namun… kaum hasad pemakan bangkai mana tahu kisah-kisah beginian? Kajian mereka jarang sekali membahas tentang siroh, apalagi fiqih jihâd di dalam siroh itu. Mereka selalu berisik mengadang-gadang semboyan "memurnikan Tauhîd dan menebarkan cahaya Sunnah", mengaku sebagai Ahlus-Sunnah wal-Jamâ‘âh, tetapi mereka hampir selalu menolak duduk bersama -jangankan turun Aksi Bela Islâm / Tauhîd- dengan saudara sesama muslim-nya dengan alasan larangan duduk dengan ahlu bid‘ah…!
Padahal yang dibicarakan adalah:
✓ bagaimana kemaslahatan ummat,
✓ bagaimana menyingkirkan kezhôliman,
✓ bagaimana merapatkan kesatuan ummat, dan
✓ lain-lain hal kebaikan dalam rangka ta‘âwun ‘alâl birri wat-taqwa…?
❗ Perbaikan ‘aqidah itu wajib, akan tetapi prosesnya tak boleh menghalangi kerja-sama dalam kebaikan dan persatuan dalam hal-hal yang disepakati. Apalagi itu dalam rangka membela kemuliaan Islâm atau menghilangkan kezhôliman.
Last but not the least, janganlah menafikan bahwa dengan bangkitnya ghîroh di dada untuk membela agama ini, maka itu bisa menjadi sebab datangnya hidayah untuk menetapi kebenaran di dalam perjalanan hidup seseorang. Bukankah telah mahsyur, diriwayatkan oleh Imâm Muslim ibn al-Hajjâj رحمه الله di dalam kitâb Shohih-nya, hadîts no 2245, tentang kisah tentang seorang perempuan pelacur yang memberi minum anjing yang kehausan?
Berjuang untuk agama الله itu adalah sebab datangnya hidayah.
📌 Kata الله Subhânahu wa Ta‘âla:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
(arti) _“Dan orang-orang yang berjihâd untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”_ [QS al-‘Ankabût (29) ayat 69].
❤ Kita berdo'a:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
{allôhumma innî as-alukal-hudâ wat-tuqô wal-‘afâfa wal-ghinâ}
(arti) "Wahai Allôh, saya memohon kepada-Mu petunjuk, ketaqwaan, keterjagaan, dan kekayaan."
Arsyad Syahrial
3 jam ·
#Arsyad Syahrial