Ketika nabi Ibrahim gagal mengajak ayahnya masuk Islam, maka upaya terakhir adalah memohonkan semacam syafa'at di akhirat agar diampuni.
Namun fasilitas syafa'at pengampunan macam itu meski datang dari level seorang nabi, tidak berlaku. Sebabnya si ayah sama sekali tidak mengakui kenabian sang anak.
Seandainya dia mau mengakui kenabian Ibrahim saja, walaupun mungkin ada dosa ini itu, mungkin masih bisa tertolong. Tapi urusan pengakuan atas kenabian ternyata bukan urusan sepele.
Saat itulah kita jadi paham firman Allah SWT berikut ini :
Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kaum kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka Jahanam. (QS. At-Taubah : 113)
Mati dalam keadaan kafir, lalu dimintakan ampunan, ternyata tidak bisa dibenarkan, bahkan meski yang memintakannya selevel nabi sekalipun.
Pada point ini kita bilang : haram mendo'akan non muslim. Sedangkan bila kita bertemu non muslim dalam even keagamaannya, lalu kita sekedar memberi penghormatan, lantaran kita mengakui eksistensinya, sebanarnya tidak ada pelanggaran apapun.
Adapun mendoakan non mualim di dunia ini, khususnya biar dapat hidayah, justru sangat utama.
Dan mendoakan kebaikan duniawi spt doa kesembuhan, dapat rejeki, selamat di lalu lintas dst, cenderung tidak ada larangan secara nash syariah.
Ahmad Sarwat,Lc. MA
Ahmad Sarwat
24 Desember pukul 09.47 ·
#Ahmad Sarwat
