Seruan Untuk Bangsa Indonesia

Seruan Untuk Bangsa Indonesia - Kajian Medina
SERUAN UNTUK BANGSA INDONESIA

dari Ketua Ikatan Ulama Suriah Dr Muhammad Taufiq Said Ramadhan al-Buthi

(cunducted and translated by Faris Khoirul Anam, Aswaja NU Center PWNU Jatim)

Syaikh Dr Muhammad Taufiq adalah putra dari Syaikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, seorang ulama besar yang meninggal karena bom di Suriah. Beberapa kali beliau mengunjungi Indonesia.

Dalam sebuah kunjungan dan sepulang ke Suriah, Dr Taufiq yang menjadi Ketua Ikatan Ulama Suriah ini mengirim surat via email kepada salah satu muridnya di Indonesia, Gus Mohammad Nailur Rochman bin Idris Hamid, Pasuruan. Surat berisi seruan dan ajakan kepada bangsa Indonesia itu menyikapi berbagai dinamika dan perselisihan umat Islam dewasa ini.

Faris Khoirul Anam yang berkesempatan menjadi penerjemah beberapa ceramah beliau di Indonesia, yaitu di Masjid Agung Jami Kota Malang dan pada acara ICIS sendiri, diminta oleh Gus Mamak – demikian putra KH Idris Hamid itu biasa dipanggil – untuk menerjemahkan surat tersebut. Atas izin dari beliau pula, melihat pentingnya surat seruan tersebut, beberapa media menampilkannya secara utuh untuk pembaca, dengan dilengkapi sub-sub judul untuk memperjelas bagian pembahasannya.

Umat Islam Indonesia Miliki Kemurnian Fitrah dan Akhlak Karimah

Segala puji bagi Allah Pencipta semesta alam. Shalawat dan salam terhaturkan kepada Sayyidina Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikut mereka dengan kebaikan hingga hari akhir.

Wahai saudaraku yang mulia di Indonesia, negeri yang penuh dengan keberkahan, yang penduduknya mencintai Islam, lalu memeluk Islam juga karena cinta terhadap agama ini. Mereka merasa kagum dengan akhlak mulia yang mereka temukan dalam Islam, serta sifat-sifat terpuji kaum muslimin yang bersosialisasi dengan mereka. Suatu fakta yang meniscayakan Indonesia menjadi negeri muslim terbesar, dengan penduduk dan luas teritorialnya.

Saya temukan pada diri kalian kemurnian fitrah dan akhlak baik, sesuatu yang menjadikan saya sangat cinta pada negeri ini dan penduduknya. Saya merasakan, penduduk Indonesia berhasil merepresentasikan kejernihan bersikap yang dibutuhkan oleh banyak bangsa-bangsa muslim.

Umat Islam saat ini membutuhkan keteguhan dalam berpegang diri pada Islam yang benar, yang jauh dari propaganda yang mereduksi kebenaran ajarannya. Umat Islam perlu mempraktikkan semua petuah yang sementara ini hilang dari benak kita. Padahal itu adalah inti syariat dan dasar agama kita. Jika tidak, maka bahaya mengancam umat dan akan menghancurkannya.

Perselisihan yang Melanda Umat

Saya tidak mengerti, mengapa perpecahan dan perselisihan menimpa umat ini, padahal kita adalah umat yang disebut oleh Allah dalam firman (yang artinya): “Sungguh agama tauhid inilah agama kamu, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya: 92)

Allah memerintahkan, sekaligus menguji kita dalam perintah-Nya (yang artinya), “Dan berpegang teguhlah kamu semua pada tali (agama) Allahdan janganlah kamu bercerai berai. Ingatlah nikmat Allah kepadamu, ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu kalian agar kamu mendapatkan petunjuk.” (QS. Ali Imran: 103)

Allah juga berfirman kepada kita (yang artinya): “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, karena itu damaikanlah di antara kedua saudaramu (yang berselisih). Bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapatkan rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)

Sesungguhnya kaum yang tamak terhadap sumber daya bangsa kita, begitu benci terhadap persatuan kita, tidak suka kita menjadi umat yang satu. Mereka tidak suka kita seiya sekata sehingga menjadi kuat dalam ekonomi, kuat dalam lembaga pendidikan dan perusahaan kita, kuat dalam independensi keputusan dan kedaulatan bangsa. Sungguh banyak kekuatan zhalim yang menginginkan bangsa kita bekerja untuk kepentingannya, sehingga bangsa ini menjadi miskin, tidak memiliki keputusan dan kekuatan, lemah, tidak mampu membela kepentingan dan tidak mampu bangkit.

Pentingnya Persatuan Umat

Saat ini kita butuh pada persatuan umat dan merapatkan barisan, melaksanakan perintah Allah agar kita berpegang taguh pada tali-Nya, demi menjaga masa depan umat. Agama kita mempersatukan, bukan memecah belah. Lalu mengapa kita terpecah tidak mau bersatu? Agama Islam menyeru kita untuk saling mencintai dan bekerjasama. Lalu mengapa kita saling membenci dan menjauh? Bukankah Nabi Muhammad SAW dalam hadits shahih mengingatkan (yang artinya), “Janganlah saling hasud, berseteru, saling membenci, saling menjauh. Sebagian kalian tidak boleh menjual atas jualan sebagian yang lain. Jadiah hamba Allah yang bersaudara. Muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Ia tidak boleh menganiaya, merendahkan, dan menghinanya. Ketakwaan itu ada di sini (Nabi menunjuk dada beliau sebanyak tiga kali). Cukuplah kejelekan seseorang, dengan dia merendahkan saudaranya yang muslim. Setiap muslim bagi muslim yang lain, haram darah, harta, dan kehormatannya.”

Sesungguhnya faktor yang dapat menyatukan kita, meski dengan beragamnya pendapat dan perbedaan ijtihad, lebih besar daripada faktor yang dapat memisahkan kita. Tidak selayaknya kita memberi kesempatan pada setan untuk merusak hubungan persaudaraan yang telah diamanahkan Allah di antara kita. Bukankah Allah berfirman kepada kita (yang artinya): “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, karena itu damaikanlah di antara kedua saudaramu (yang berselisih). Bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapatkan rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10).

Bukankah Allah mengingatkan kita, terhadap siapapun yang merusak hubungan di antara kita, dan Allah menjelaskan kepada kita bahwa dia adalah setan. Allah berfirman: “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik. Sungguh, setan itu selalu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sungguh setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Al-Isra: 53). Setan pada ayat ini, terkadang berbentuk jin, terkadang pula berbentuk manusia. Siapapun yang berkeinginan menyebarkan perpecahan dan kebencian di antara kita, dia telah memerankan pekerjaan setan.

Banyak Hal yang Dapat Menyatukan Kita

Saudaraku yang mulia. Marilah kita mengadakan perjanjian berdasarkan prinsip-prinsip agama kita, berpondasikan hal-hal yang telah disepakati oleh nash-nash syari’at yang tidak ada perbedaan di dalamnya. Berdasarkan hal itu semua persatuan kita terjaga dan barisan kita menjadi kokoh. Berdasarkan hal itu kita bersatu, menebarkan cinta di antara kita, bukan kebencian.

Semua kita beriman kepada al-Qur’an dan Sunnah yang suci, sebagai sumber syariat, dalam rangka mengamalkan firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, dan janganlah kamu merusakkan segala amalmu.” (QS. Muhammad: 33)

Kita semua cinta kepada keluarga Nabi, di mana kecintaan kepada mereka merupakan bagian dari ajaran agama kita. Keturunan Nabi Muhammad SAW adalah panutan kita. Cinta kepada semua sahabat, sesuai prinsip persatuan umat, seperti yang dimaksud oleh kebanyakan sahabat, adalah perkara yang tidak dapat dipungkiri. Bukankah Allah berfirman: “Katakanlah (Muhammad), ‘Aku tidak meminta kepadamu sesuatu impalan pun atas seruanku, kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan, dan barang siapa mengerjakan kebaikan akan kami tambahkan kebaikan baginya. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Mensyukuri.” (QS . al-Syura: 23).

Kita tidak lupa terhadap hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan al-Nasai, dengan redaksi yang mirip, dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, Rasulullah SAW dalam hajinya pada hari Arafah berkhutbah - sedang beliau berada di atas unta beliau “Qashwa”. Aku mendengar beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku meninggalkan untuk kalian sesuatu yang bila kalian berpegang teguh padanya, kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Itrah, keluargaku.” Pastinya kalian tahu, keturunan Nabi Muhammad SAW adalah penyebab masuknya Islam di negara kalian Indonesia ini.

Kita semua sepakat bahwa di antara tugas kita adalah mempelajari hal pokok dalam akidah kita, hal pokok dari hukum-hukum syariat. Hal itu dapat menjadikan sah ibadah dan muamalah kita. Jalan menuju ke sana adalah dengan cara kembali kepada ulama yang disebut sebagai “orang yang berilmu” oleh Allah dalam kitabsuci-Nya: “Dan Kami tidak mengutus (Rasul-Rasul) sebelum Engkau (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya: 7)

Harus Kembali pada Ulama dalam Penafsiran Hukum

Tidak semua orang mampu mengambil hukum dari al-Qur’an dan Sunnah. Maka menjadi suatu keniscayaan orang awam kembali kepada ulama kompeten. Tidak semua orang mampu mempraktikkan syarat ijtihad, maka mereka harus kembali kepada hasil ijtihad para ulama mujtahid. Umat Islam selalu konsisten dan terbukti selalu mengikuti imam-imam mujtahid madzhab. Mengikuti mereka bukan karena mereka atau hasil ijtihad mereka belaka, namun capaian madzhab mereka dalam dinamika perjalanan madzhab, mulai generasi ulama murid para imam madzhab (ashhab), kemudian ulama mujtahid madzhab, lalu pen-tarjih, dan mufti. Hal itu terjadi berabad-abad, melalui proses penelitian mendalam (tahqiq) dan diskusi (munaqasyah) hingga madzhab mereka teruji, di mana salah seorang di antara kita tidak dapat melakukannya.

Bukanlah sesuatu kebijaksanaan, kita memulai sesuatu yang telah dilakukan oleh para imam yang jeda masa mereka dengan Nabi Muhammad SAW hanya dua abad. Kita tidak dapat acuh terhadap usaha mereka, perpustakaan besar yang mengoleksi karya fikih, dan segala apapun yang menjelaskan tentang syariat. Sedangkan kita di masa ini dipisahkan oleh 14 abad. Bahasa kita lebih lemah untuk memahami nash atau dalil.

Penguasaan kita terhadap syarat ijtihad dan pirantinya sangat lemah. Tidak mengindahkan madzhab-madzhab fikih berarti memusnahkan khazanah keilmuan klasik, sesuatu yang telah dihasilkan oleh ribuan ulama. Mereka mengerahkan segenap usaha untuk meneliti produk-produk ijtihad para imam fikih dan para pengikut mereka pada era berikutnya.

Mereka juga menyempurnakan amal usaha dalam membangun keilmuan fikih ini untuk menyelesaikan berbagai kasus yang terjadi saat sudah tersedia dalil, atau hal-hal yang telah terjadi atau dipotensikan akan terjadi. Hasil diskusi antar ulama merupakan simpanan kekayaan besar, dalam pola diskusi yang baik, sisi pengambilan hukum dari dalil (idtidlal), dalam kekuatan dan keelokannya.

Bagaimana Kita Menyikapi Perbedaan

Umat Islam meskipun berbeda, namun mereka bertemu dalam pokok dan prinsip agama yang sama. Prinsip itu berupa hakikat keimanan, sumber hukum, dan lainnya. Umat Islam sebenarnya sejak dulu telah berbeda pendapat. Namun mereka menyudahi perbedaan mereka dengan diskusi ilmiah, dilakukan di masjid-masjid, atau di depan pemerintah. Mereka tidak menyelesaikan perselisihan itu dengan kekerasan, kecuali pihak yang memang hujjahnya lemah.

Umat Islam dari kalangan Ahlussunnah Wal-Jama’ah tidak berinteraksi dengan kelompok yang berbeda dengan cara keras dan lalim. Hal itu memang tidak sepatutnya terjadi. Jika diperintahkan untuk bedebat dengan ahli kitab atau kelompok yang berbeda lainnya, pun kita harus melakukannya dengan cara yang baik. Lalu, mengapa kita lebih memilih cara ekstrim, mudah mengkafirkan (takfiri), dan keras terhadap saudara-saudara kita sendiri. Padahal perbedaan itu umumnya dalam masalah ijtihadiyah, atau yang kebenarannya relatif (tidak absolut).

Allah telah memerintahkan kita untuk mengatakan kepada Ahli Kitab: “Katakanlah:"Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu.” (QS. Ali Imran: 64). Jika Allah memerintahkan kita sedemikian rupa dalam menyikapi non Muslim, maka lebih utama lagi bagi kita untuk mencari pola yang dapat menyatukan kita. Bukan dengan cara mencari dan memanfaatkan perselisihan, atau mencari-cari hal-hal yang kita anggap salah pada saudara kita. Penyematan kata kufur dan syirik terhadap kelompok berbeda tidak menguntungkan persatuan umat yang telah diperintahkan Allah. Hal itu bertentangan dengan firman Allah (yang artinya):

“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, karena itu damaikanlah di antara kedua saudaramu (yang berselisih). Bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapatkan rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10). “Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.” (QS. Al-Anfal: 46)

Semua perselisihan itu telah menjadikan umat Islam berkeping, tercerai-berai, lemah dalam menghadapi musuhnya, tidak mampu mewujudkan berbagai kemaslahatannya. Allah telah menyebut umat Islam bahwa mereka adalah “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”

Penutup dan Doa untuk Bangsa ini

Sebagai penutup, wahai saudara yang saya cintai, sesungguhnya negeri kalian adalah amanah di pundak. Karena itu jangan kalian rusak dengan keteledoran dan perselisihan. Umat kalian adalah amanah di pundak, jangan diceraiberaikan dengan polemik dan perseteruan. Kalian adalah bangsa beriman, yang baik, yang tetap menjaga persatuan umat meski pernah digampur oleh banyak serangan, selama lebih dari 3 abad. Persaudaraan Islam adalah amanah Allah, karena itu jangan dirusak. Allah akan menanyai kalian tentang hal ini.

Semoga Allah menjaga Indonesia, bangsa, agama, pemuda, pemudi, pesantren, dan universitas negeri ini. Semoga Allah menjadikannya senantiasa berada dalam bimbingan-Nya. Semoga Allah memberi petunjuk terhadap hal yang Dia ridhai. Semoga kalian dan negeri kalian mendapatkan kebaikan, kebahagiaan, dan kemakmuran.

Seruan Untuk Bangsa Indonesia - Kajian Medina

Faris Khoirul Anam
28 Oktober ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.