Keharusan Memilih Pemimpin Yang Baik

Keharusan Memilih Pemimpin Yang Baik - Kajian Medina
KEHARUSAN MEMILIH PEMIMPIN YANG BAIK

Luthfi Bashori

Sy. Abu Hurairah RA menginformasikan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sultan adalah (wakil) naungan Allah yang ada di bumi. Ia menjadi tempat berlindung bagi orang yang lemah dan kepadanya orang yang teraniaya meminta pertolongan. Barang siapa memuliakan sultan (yang baik, yang menjadi wakil naungan) Allah di dunia ini, maka Allah akan memuliakannya kelak pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Najjar).

Hadits ini menerangkan bahwa di dunia ini ada di antara para penguasa atau pemimpin negara itu yang baik, yaitu para pemimpin yang menjalankan roda pemerintahannya disesuaikan dengan syariat Allah dan tidak mendhalimi rakyatnya. Sedangkan pemimpin yang tidak menerapkan syariat Allah dan berbuat dhalim kepada rakyatnya, maka termasuk pemimpin yang tercela dunia akhirat.

St. Aisyah RA menuturkan, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Apabila Allah menghendaki pemimpin menjadi baik, maka Allah akan memberikan kepadanya pembantu yang jujur. Jika pemimpin itu lupa, pembantu itu yang mengingatkannya. Apabila pemimpin itu tetap ingat, pembantunya itu selalu menolong. Namun, jika Allah menginginkan pemimpin itu tidak baik, maka akan memberinya pembantu yang jahat. Jika pemimpinn itu lupa, pembantu tersebut tidak mau mengingatkannya, dan apabila tetap ingat, pembantu itu tidak mau menolongnya.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban).

Menjadi pemimpin itu sungguh perkara yang pelik, karena itu banyak syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, jika dirinya ingin menjadi wakil Allah yang baik di muka bumi. Minimal ada 4 syarat yang harus dimilikinya adalah harus bersifat atau bersikap:

1. Shiddiq (jujur atau berkata benar tidak pernah berkata dusta. Apa yang diucapkannya selalu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, bukan senang mengklaim pekerjaaan orang lain seakan-akan sebagai usahanya).

2. Amanah (dapat dipercaya, tidak suka berkhianat dan dapat memegang janji dengan baik. Apa yang telah dipercayakan orang lain kepadanya akan ditunaikan dengan penuh tanggung jawab. Tidak pernah berkhianat dan mengingkari janji dengan melontarkan iming-iming pepesan kosong).

3. Tabligh (menyampaikan kebenaran syariat agama, tidak boleh menyembunyikan hal-hal yang telah diperintahkan oleh syariat, serta menerapkan aturan hukum dalam pemerintahannya sesuai dengan ajaran syariat).

4. Fathanah (cerdas tidak plonga-plongo atau dungu. Kecerdasan seorang pemimpin itu akan membawa kemashlahatan bagi kehidupan rakyat, sebaliknya kedunguannya yang ditampilkan dengan sikap plonga-plongo adalah musibah besar bagi kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara).

Karena itu, masyarakat harus cerdas dan melek politik saat waktunya mencari pemimpin, demi kebaikan dan kemashlahatan hidup bagi mereka sendiri. Bukan memilih pemimpin itu atas dasar fanatisme golongan, atau asal suka akibat termakan propaganda pihak lain yang mempunyai kepentingan busuk.

Sy. Ibnu Umar RA menceritakan bahwa ia mendampingi ayahnya (Sy. Umar bin Khaththab) ketika terkena musibah ditikam orang. Para shahabat beliau yang turut hadir pada waktu itu mendoakan. “Semoga Allah memberi balasan kepada engkau dengan balasan yang baik.”
“Aku penuh harap dan juga merasa cemas,” jawab Sy. Umar.

Di antara para shahabatnya, ada yang meminta, “Tunjukanlah penggantimu (untuk menjadi khalifah).

“Apakah aku harus memikul urusan pemerintahan kalian sewaktu hidup dan matiku ?” tanya Sy. Umar. “Aku ingin tugasku sudah selesai, tidak kurang dan tidak lebih. Memang, ada orang yang lebih baik daripadaku, yaitu Abu Bakar pernah menunjuk penggantinya. Orang yang paling baik dibandingkan aku, yaitu Rasulullah SAW pernah membiarkan kalian memilih sendiri penggantinya menjadi khalifah.”

Sy. Ibnu Umar menerangkan, “Dengan ucapannya itu, tahulah aku bahwa beliau (Sy. Umar bin Khaththab) tidak akan menunjuk penggantinya untuk menjadi khlaifah.” Maksudnya Sy. Umar bin Khatthab menyerahkan forum musyarawah di antar para tokoh dan pembesar umat Islam di masa itu untuk menentukan Khalifah penggantinya dari orang yang terbaik di antara mereka.

Sy. Abu Hurairah RA menceritakan, suatu kali Nabi Muhammad SAW bertanya kepada para shahabat, “Apabila aku sudah wafat, apakah permukaan bumi ataukah perut bumi yang lebih baik bagi kalian ?”

“Hanya Allah dan rasul-Nya yang mengetahui,” jawab para shahabat
.
Rasulullah SAW bersabda, “Apabila para umara’ (pemimpin pemerintahan) adalah orang-orang terbaik di antra kalian, orang-orang kaya di antara kalian adalah orang yang dermawan, dan semua urusan senantiasa kalian musyawarahkan, maka permukaan bumi (maksudnya: hidup) itu lebih baik dari pada perut bumi (maksudnya: mati). Sebaliknya, jika para umara’ adalah orang-orang buruk di antara kalian, orang-orang kaya adalah orang-orang yang kikir, dan semua urusan diserahkan kepada istri-istri kalian (kaum wanita), maka perut bumi (mati) itu lebih baik daripada permukaan bumi ini (hidup).” (HR. At-Tirmidzi).

Luthfi Bashori
28 Oktober pukul 13.08 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.