Hukum Membuat Papan Sutrah

Hukum Membuat Papan Sutrah - Kajian Medina
HUKUM MEMBUAT PAPAN SUTRAH

Oleh : Abdullah Al Jirani

Sewaktu di Ibu kota Jakarta beberapa bulan yang lalu, setiap kali singgah di masjid ‘sunnah’ (?) untuk menunaikan shalat, saya mendapatkan ada beberapa papan di dalam masjid dengan tinggi kira-kira 30 cm. Awalnya saya tidak mengerti digunakan untuk apa papan tersebut. Selang beberapa saat, ketika jama’ah berdatangan, setiap jama’ah mengambil satu papan kemudian diletakkan di hadapannya. Saya baru tahu ternyata itu papan sutrah (pembatas shalat).

Saya merasa aneh, karena memang di daerah saya (Solo dan sekitarnya) tidak lazim hal seperti ini. Bahkan saya pribadi telah banyak mengunjungi berbagai masjid, tapi tidak ada yang menyediakan papan sutrah di dalamnya, walaupun itu tergolong masjid ‘sunnah’(?). karena mereka telah mencukupkan dengan berbagai benda di dalam masjid yang bisa digunakan untuk sutrah, seperti tembok, tiang, mimbar, sesama jama’ah, kipas angin duduk, bahkan garis shaff atau sajadah, dan yang lainnya.

Dan menurut saya, ini lebih PAS dan tidak takalluf (membebani diri). Kalau kita lihat, sejak zaman Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan kurun-kurun setelahnya juga tidak melakukan hal seperti ini. Lain halnya jika berada di suatu tempat yang memang tidak ada yang bisa digunakan untuk sutrah, seperti di padang sahara dan yang semisalnya. Itupun nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- biasanya hanya memanfaatkan apa yang beliau bawa sebagai sutrah, seperti pedang, tongkat, perisai dan yang lainnya. Beliau tidak bawa papan sutrah secara khusus.

Lajnah Daimah lil Buhuts Ilmiyyah wal Ifta’ (Lembaga tetap untuk pembahasan ilmiyyah dan fatwa) pernah ditanya tentang fenomena pembuatan papan sutrah yang diletakkan di masjid. Maka mereka menjawab :

ويسن له دنوه من سترته لما في الحديث المذكور، وقد كان الصحابة رضي الله عنهم يبتدرون سواري المسجد ليصلوا إليهاالنافلة، وذلك في الحضر في المسجد، لكن لم يعرف عنهم أنهم كانوا ينصبون أمامهم ألواحا من الخشب لتكون سترة في الصلاة بالمسجد، بل كانوا يصلون إلى جدار المسجد وسواريه، فينبغي عدم التكلف في ذلك، فالشريعة سمحة، ولن يشاد الدين أحد إلا غلبه، ولأن الأمر بالسترة للاستحباب لا للوجوب،

“Dan disunnahkan untuk mendekat kepada sutroh tersebut berdasarkan hadits yang telah disebutkan di atas. Dan sungguh para sahabat dahulu berlomba-lomba mencari tiang-tiang masjid untuk melakukan sholat sunnah dengan menghadap kepadanya, hal itu mereka lakukan di masjid ketika mukim bukan ketika safar. Akan tetapi tidak diketahui dari para sahabat bahwa mereka meletakkan di depan mereka; papan-papan yang terbuat dari kayu sebagai sutroh dalam sholat di masjid, tetapi mereka melakukan sholat dengan menghadap dinding masjid dan tiang-tiangnya. Maka hendaklah tidak takalluf (berlebih-lebihan) dalam hal ini, sebab syari’at itu mudah, tidak ada yang mempersulit agama ini kecuali dia akan dikalahkan. Dan juga karena perintah sholat dengan menggunakan sutroh hukumnya istihbab (anjuran), dan bukan wajib”. -selesai penukilan-

[Fatawa Lajnah Daimah : 7/76-77 . Ketua: Asy-Syaikh Abdulm Aziz bin Abdullah bin Baz. Wakil Ketua: Asy-Syaikh Abdur Rozzaq ‘Afifi. Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayan. Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud]

Perhatikan pada kalimat “Akan tetapi tidak diketahui dari para sahabat bahwa mereka meletakkan di depan mereka; papan-papan yang terbuat dari kayu sebagai sutroh dalam sholat di masjid, tetapi mereka melakukan sholat dengan menghadap dinding masjid dan tiang-tiangnya. Maka hendaklah tidak takalluf (membebani diri) dalam hal ini, sebab syari’at itu mudah, tidak ada yang mempersulit agama ini kecuali dia akan dikalahkan. Dan juga karena perintah sholat dengan menggunakan sutroh hukumnya istihbab (anjuran), dan bukan wajib”.

Dalam fatwa ini, Lajnah memang tidak menyebutkan dalil yang mendasarinya. Akan tetapi saya berhusnudzon ada dalilnya, hanya saja tidak disebutkan. Lalu saya berusaha mencari sendiri dalil yang menjadi landasan hal ini, dan akhirnya ketemu. Dalil ini disebutkan oleh sebagai ulama’ yang lain dalam menjawab pertanyaan serupa. Telah diriwayatkan oleh Anas bin Malik –radhiallahu ‘anhu- beliau berkata :

دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِذَا حَبْلٌ مَمْدُودٌ بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ، فَقَالَ: مَا هَذَا الْحَبْلُ؟ قَالُوا: هَذَا حَبْلٌ لِزَيْنَبَ، فَإِذَا فَتَرَتْ تَعَلَّقَتْ - يعني استندت إليه في صلاتها - فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا، حُلُّوهُ، لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ، فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَقْعُدْ

“Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- masuk masjid. Maka tiba-tiba (beliau melihat) tali membentang antara dua tiang masjid. Beliau bertanya : “Tali apa ini ?” Mereka menjawab : “Ini tali milik Zainab. Apabila dia lelah, beliau bersandar kepadanya di shalatnya. Maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab : “Tidak boleh ! lepaskan tali tersebut ! hendaknya salah satu dari kalian shalat (sesuai) dengan semangat kalian. Jika lelah, hendaknya dia duduk.” [HR. Muttafaqun ‘alaihi].

Di dalam hadits ini, nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang untuk membuat tali untuk bersandar ketika lelah dalam shalatnya. Berdiri dalam shalat diwajibkan, akan tetapi jika lelah (dalam shalat sunnah) hendaknya duduk. Tidak perlu takallauf (membebani diri) dengan membuat tali. Demikian juga sutrah -secara qiyas-, merupakan perkara yang disunnahkan. Jika di masjid telah ada sesuatu yang bisa dijadikan sutrah semisal dinding, tiang masjid dan yang lainnya, maka gunakan itu saja. Tidak perlu membuat papan khusus untuk sutrah. Jika memang tidak ada, maka bisa menggunakan garis atau sajadah. Jika memang tidak ada sama sekali, maka Allah tidak membebani seorang hamba kecuali sesuai dengan kemampuannya.

Saya hanya membayangkan, kalau jama’ahnya cuma sedikit, mungkin tidak terlalu masalah. Bagaimana jika jama’ahnya mencapai lima ratus – seribu orang misalnya. Apakah juga akan buat papan sebanyak itu ? masjid bisa penuh dengan papan. Terus kalau kita safar (bepergian jauh) juga bawa papan kemana-mana. Apa tidak repot seperti ini ? padahal apa yang kita bawa sudah bisa jadi sutrah, seperti tas rangsel, atau yang lainnya. Al-hasil, Wasathiyyah (pertengahan) dalam beragama adalah sebuah tuntutan. Kemudian diiringi dengan mengambil bimbingan dari para ulama’.

Apakah di masjid anda juga disediakan papan sutrah ?!

Demikian artikel kali ini. Semoga bermanfaat dan memberikan tambahan wawasan kita sekalian. Al-hamdulillah rabbil ‘alamin.

Hukum Membuat Papan Sutrah - Kajian Medina


Abdullah Al Jirani
15 jam ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.