Oleh : Abdullah Al Jirani
Ada sebagian teman bertanya tentang hukum mengambil upah dari bekam. Karena beliau pernah mendengar ada seorang yang menyatakah haram. Benarkah hal ini ? Pada kesempatan kali ini ,Insya Allah kami akan mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Menurut kami, fatwa di atas tidak tepat. Memang benar, bahwa Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- pernah mensifati upah bekam itu sebagai sesuatu yang khabits. Sebagaimana telah diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij –radhiallohu ‘anhu- beliau berkata, Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
كَسْبُ الْحَجَّامِ خَبِيثٌ، وَثَمَنُ الْكَلْبِ خَبِيثٌ، وَمَهْرُ الْبَغِيِّ خَبِيثٌ
“Pekerjaan tukang bekam itu menjijikkan, hasil penjualan anjing itu menjijikkan, dan hasil upah zina itu menjijikkan.” [ HR. Abu Dawud : 3421, At-Tirmidzi : 1275, Ad-Darimi : 2663 dan sanadnya shohih].
Jika kita melihat kepada ungkapan yang dipakai Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- yang berbunyi “Pekerjaan tukang bekam itu menjijikkan”, memang kalimat ini (menjijikkan) mengandung isyarat tahrim (pengharaman. Sebagaimana dalam sebuah ayat Alloh Ta’ala berfirman :
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبائِثَ
“Dan Alloh telah mengharamkan al-khabaits (segala sesuatu yang menjijikkan).” [QS. Al-A’rof : 157].
Oleh karena itu, sebagian ahli hadits berpendapat bahwa upah bekam haram, berdasarkan hadits di atas. Hal ini disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani –rahimahullah- dalam “Nailul Author”.
Adapun jumhur ulama’ (Mayoritas ulama’) berpendapat, bahwa upah bekam hukumnya makruh. Dan makruh, masih termasuk katagori halal. Dan ini merupakan pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini. Bahkan telah terjadi ijma’ (kesepakatanulama’) dalam masalah ini sebagaimana yang akan kami sebutkan.
Mereka menyatakan, bahwa hadits di atas yang secara asal memberikan makna haram (karena disebut dengan khabits/menjijikkan), telah dipalingkan oleh dalil-dalil yang lain kepada makna mubah (boleh).
Diantaranya, hadits dari sahabat Ibnu Abbas –radhiallohu ‘anhu- beliau berkata :
احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَعْطَى الْحَجَّامَ أَجْرَهُ وَلَوْ عَلِمَهُ خَبِيثًا لَمْ يُعْطِهِ
“Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wa sallam- berbekam, lalu memberikan upah kepada tukang bekam(nya). Seandainya beliau –shollallahu ‘alaihi wa sallam- mengetahui hal itu (upah bekam) merupakan sesuatu yang khabits (menjijikkan), beliau tidak akan memberikannya.” [ HR. Abu Dawud : 3432 ].
Diriwayatkan pula dari hadits Anas bin Malik –radhiallohu ‘anhu- beliau berkata :
حَجَمَ أَبُو طَيْبَةَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَأَمَرَ لَهُ بِصَاعٍ مِنْ تَمْرٍ، وَأَمَرَ أَهْلَهُ أَنْ يُخَفِّفُوا عَنْهُ مِنْ خَرَاجِهِ»
“Abu Thaibah membekam Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wa sallam-. Maka beliau –shollallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan agar dia diberi satu sho’ (ukuran waktu itu) buah kurma, dan memerintahkan keluarganya(maksudnya : tuan-tuannya. Karena dia aktu itu sebagai budak) agar meringankan upeti darinya.”[ HR. Abu Dawud : 3424 ].
Dua hadits di atas menunjukkan, bahwa nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- memberi upah kepada orang yang membekamnya. Seandainya haram, sudah barang tentu beliau tidak melakukannya. Ada suatu kaidah berbunyi :
ما حَرُمَ كَسْبُهُ عَلَى آخِذِهِ حَرُمَ دَفْعُهُ عَلَى مُعْطِيهِ
“Pekerjaan apa saja yang haram dilakukan bagi orang yang mengambil upahnya, maka juga haram untuk menyerahkan upah kepada orang yang memberikan pekerjaan itu.”[ Al-Hawi Al-Kabir : 15/154].
Pengarang ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud berkata :
وَذَهَبَ الجمهور إلى أنه حلال واستدلوا بحديث بن عَبَّاسٍ وَحَدِيثِ أَنَسٍ الْآتِيَيْنِ فِي الْبَابِ وَقَالُوا إِنَّ الْمُرَادَ بِالْخَبِيثِ فِي قَوْلِهِ كَسْبُ الْحَجَّامِ خَبِيثٌ الْمَكْرُوهُ تَنْزِيهًا لِدَنَاءَتِهِ وَخِسَّتِهِ لَا الْمُحَرَّمُ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ منه تنفقون فَسَمَّى رَاذِلَ الْمَالِ خَبِيثًا
“Mayoritas ulama’ berpendapat, sesungguhnya (hasil dari profesi tukang bekam) adalah halal. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Abbas dan hadits Anas bin Malik yang akan kami sebutkan berikut di dalam Bab ini. Mereka menyatakan : Sesungguhnya yang dimaksud dengan “khabits” di dalam ucapan beliau-shollallahu ‘alaihi wa sallam- :”PEKERJAAN TUKANG BEKAM ITU KHABITS”, adalah makruh tanzih, karena pekerjaan itu rendah dan hina., bukan haram. Hal ini sebagaimana dalam firman Alloh Ta’ala : “JANGANLAH KAMU MEMILIH YANG JELEK-JELEK/RENDAH LALU KAMU INFAKKAN DARIPADANYA”. Alloh menamakan harta yang bernilai rendah dengan khabits.”[ ‘Aunul Ma’bud : 9/209 ].
Bolehnya menerima upah bekam, telah terjadi sejak zaman nabi dan terus berlangsung dari masa ke masa sampai zaman kita saat ini. Tanpa ada pengingkaran sama sekali. Maka ini dinamakan ijma’ amali (kesepakatan ulama’ dalam bentuk amaliah).
Al-Imam Utsman bin Ali Az-Zaila’i –rahimahullah- (wafat : 743 H) berkata :
(وَالْحَجَّامِ) أَيْ جَازَ أَخْذُ أَجْرِ الْحِجَامَةِ لِمَا رُوِيَ «أَنَّهُ - عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ - احْتَجَمَ وَأَعْطَى أُجْرَتَهُ» وَلِأَنَّهُ جَرَى التَّعَارُفُ بَيْنَ النَّاسِ مِنْ لَدُنْ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إلَى يَوْمِنَا هَذَا فَانْعَقَدَ إجْمَاعًا عَمَلِيًّا
“(Dan tukang bekam), artinya boleh untuk mengambil upah dari bekam berdasarkan apa yang diriwayatkan sesungguhnya beliau –shollallahu ‘alaihi wa sallam- berbekam dan memberi upah kepadanya (orang yang membekam beliau). Karena manusia telah saling mengetahui (bolehnya hal ini) dari sejak zaman nabi sampai zaman kita sekarang ini. Maka telah terjadi ijma’ secara amaliah.”[ Tabyinul Haqoiq Syarhu Kanzil Daqoiq : 5/124].
Dalam Hasyiyah-nya (catatan ringannya) terhadap kita “Tabyinul Haqoiq”, Al-ImamAsy-Syibli –rahimahullah- (wafat : 1021 H) menambahkan penjelasan tentang hal ini dengan membawakan suatu kaidah. Beliau berkata :
وَلِأَنَّهُ عَمَلٌ مَعْلُومٌ أُبِيحَ اسْتِيفَاؤُهُ فَجَازَ أَخْذُ الْأُجْرَةِ عَلَيْهِ كَسَائِرِ الْأَعْمَالِ
“(dibolehkannya menerima upah bekam) karena hal itu merupakan pekerjaan yang telah dimaklumi, bawha diperbolehkan untuk mengambil haknya (dari pekerjaan itu). Maka boleh untuk menbambil upah atasnya, sebagaimana seluruh jenis pekerjaan.” [ Hasyiyah Asy-Syibli : 5/124 ].
Dan bisa ditambahkan di sini, bahwa terdapat suatu kaidah di kalangan ulama’, bahwa : “Suatu yang makruh, boleh dilakukan ketika ada hajat terhadapnya”. Kaidah ini pernah disebutkan oleh Al-‘Allamah Ibnu Utsaimin –rahimahullah- dalam “Asy-Syahrul Mumti’”. Seorang yang minta dibekam punya hajat untuk berobat, sedangkan yang membekam butuh untuk mendapatkan hasil. Karena sering kali sulit didapatkan seorang yang mau free(gratis) dalam membekam.
Kesimpulan :
1]. Pekerjaan bekam paling tinggi hukumnya makruh, tidak sampai haram. Ini merupakan pendapat Syafi'iyyah dan Hanabilah. Dan makruh, masih masuk katagori mubah (boleh). Jika seorang mampu untuk mencari pekerjaan selainnya, maka itu lebih utama. Jika belum, maka tidak masalah untuk melakukannya dan menerima upah darinya. Ini merupakan ijma’ (kesepakatan ulama’) secara amaliah.Adapun imam Abu Hanifah dan Malik secara tegas menyatakan akan kebolehannya.
2]. Pendapat yang menyatakan haram, adalah pendapat yang tidak tepat, bahkan bisa dikatakan syadz (ganjil). Karena hanya melihat dari satu dalil saja, tanpa melihat kepada dalil lain dalam masalah tersebut. Apalagi telah menyelisihi ijma’. Wallohu a’lam.
Abdullah Al Jirani
29 September pukul 06.49 ·
Sumber : https://web.facebook.com/abdullah.aljirani.37/posts/333999024038070
#Abdullah Al Jirani