Robbi dan Murobbi

Robbi dan Murobbi - Kajian Medina
Seri Tafsir Quran ala Koran (12) : Al-Fatihah (2)

ROBBI DAN MUROBBI

Adakah otodidak yang dinista? Ada, mungkin banyak, dan salah satunya adalah Dzul Khuwaisirah; lelaki Bani Tamim asal Nejd yang, oleh Imam Ibn Al-Jauzi, disebut sebagai awwalul khawarij wa aqbahuhum haalah, sosok Khawarij pertama dan yang paling buruk tingkah lakunya.

Kenapa al-Tamimi yang itu sampai terkategori sebagai Khawarij, padahal bahkan gerakan tersebut belum sama sekali muncul? Kenapa bahkan kisah tentang Dzul Khuwaisirah ini dimasukkan dalam fasal tentang “Khawarij” oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahih-nya?

Sebab ia adalah pemula dari sikap sok tahu yang keras kepala. Kita ingat, waktu itu Nabi sedang membagi rampasan perang. Kelompok tertentu mendapat bagian banyak, sementara yang lain memperoleh lebih sedikit. Untuk orang yang memahami makna ‘adil sebagai sama rasa atau sama rata, Dzul Khuwaisirah pun memprotes, “Wahai Rasul, berlakulah adil!”

“Kalau menurutmu ini belum adil,” Rasul menimpali, “maka siapakah lagi yang lebih adil ketimbang seorang utusan Tuhan?!!” Jawaban tersebut berhasil membungkam mulut lancang Dzul Khuwaisirah.

Apa yang keliru!? Apakah mempersepsi bahwa keadilan adalah sebanding dengan kesetaraan merupakan sebuah kekeliruan!?

Bisa iya, tetapi bisa juga tidak. Hanya masalahnya, Dzul Khuwaisirah ini melulu mengedepankan “pengetahuan” di dalam kepalanya, dan malah mengesampingkan manusia mulia di hadapannya; sang sumber pengetahuan. Ia barangkali sudah merasa sangat benar saat menuduh Nabi telah berlaku tidak adil, sementara sang Nabi adalah parameter kebenaran.

Sebagai murid, tata krama dan atau keadaban Dzul Khuwaisirah telah jatuh, sebab mestinya al-murid baina yadais syeikh kal mayyit baina yadail ghasil, seorang murid di hadapan guru adalah selayaknya jenazah di hadapan orang yang memandikan. Diapa-apakan saja, diperlakukan bagaimana saja, jenazah tak pernah membantah. Dus, apalagi sang guru adalah Nabi itu sendiri; guru agung umat ini (murabbi hadzihil ummah).

Diskursus ihwal murobbi menjadi penting bukan saja karena Nabi adalah murobbi, tetapi bahkan Allah juga Murobbi, atau tepatnya Robb. Diksi Robb, seperti dalam frasa Robbil ‘alamin, berakar pada kata Tarbiyah, yang bermakna mengurus, merawat, atau mengelola. Imam Al-Kirmani, dalam Gharaibut Tafsir wa ‘Ajaibut Ta’wil, secara ringkas mendeskripsikan tarbiyah sebagai tablighus syai’ ila kamalihi ‘alat tadrij (mengantar sesuatu pada potensi idealnya secara perlahan).

Allah disebut Robb bagi alam karena Dia-lah, lebih dari sekedar menciptakan belaka (Khaliq), yang mengatur dan memelihara (jawa: ngeramut) semesta, menjaga kelangsungan hidupnya. Itu berarti Allah adalah pemilik (Malik) sekaligus pemelihara (Robb) bagi alam.

Dengan pola pemaknaan yang sama, seorang asisten rumah tangga dapat disebut Robbul bait karena telah merawat rumah, atau anak perempuan dari istri disebut Rabibah yang berarti bahwa ia berada di bawah protektorat suami. Orang tua diketahui telah melakukan tugas perawatan (robba) terhadap anak, seperti dalam doa allohummaghfir lii dzunuubii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaani shoghiro. Dan seorang guru pun disebut murobbi.

Inilah mengapa dalam tafsirnya atas ayat wa jaa’a robbuka wal malaku shoffan shoffa (QS Al-Fajr: 22), Imam Al-Razi menakwil diksi Robb dalam ayat tersebut dengan Pemimpin para Malaikat (Jibril), dan bukan Tuhan.

Kenapa?

Sebab Tuhan mustahil melakukan pekerjaan “mendatangi” atau “datang”, yang mengimplikasikan bahwa Dia berada dalam ruang dan waktu tertentu. Sebab yang dapat bergerak seperti itu pastilah makhluk, bukan Tuhan. Dengan demikian, Robbuka dalam ayat tersebut berarti Murobbika. Dan kita tahu, Jibril merupakan pembimbing utama bagi Nabi Saw.

Dalam syarah atas Ihya’ ‘Ulumiddin-nya Imam Al-Ghazali, Syeikh Murtadha Az-Zabidi mengutip percakapan yang ditujukan kepada Syaikh Dzin Nun Al-Misri. Kepadanya ditanyakan, “Engkau mengenal Tuhan melalui apa?”

Beliau menjawab, “‘Aroftu Robbii bi Robbii, Laula Robbii lamaa ‘Araftu Robbii” (Aku mengenal Tuhan melalui Tuhan, kalau saja tidak melalui Tuhan, maka aku tak akan mampu mengenal Tuhan).

Entah sejak kapan, kalimat tersebut kemudian meleset. Yang belakangan jadi masyhur justru ungkapan “Laula al-Murobbi lamaa ‘aroftu Robbii” (Kalau saja tanpa kehadiran guru pembimbing, aku tak akan mengenal Tuhan). Barangkali dari sinilah kemudian lahir syair yang populer hari-hari ini; man ana man ana laulakum, kaifama hubbukum kaifama ahwakum.

Perhatikan ketidakserupaan dua ungkapan ini!

Dalam bahasa aslinya (bahasa arab), perbedaan di atas tidak terlalu relevan sebetulnya. Sebab secara generik, diksi Robbi dapat dipakai bergantian dengan Murobbi. Seperti telah dijelaskan, keduanya sama-sama terhubung dalam satu kerangka makna tarbiyah.

Tetapi, pada taraf konteks penggunaan kedua ungkapan, Robbi dan Murobbi jelas merujuk pada hal yang berlainan. Saat dimutlakkan, diksi Robbi berarti Tuhan, dan Murobbi di sini bermakna Guru (Syeikh).

Jadi, mana sebetulnya ungkapan yang tepat untuk dipakai? Maqolah Syeikh Dzin Nun yang asli atau yang sudah dipelesetkan?

Dalam Ittihafu Sadatil Muttaqin itu, Az-Zabidi sebenarnya sedang menjelaskan dua metode pengenalan (ma’rifat) kepada Allah. Kedua cara ini berkait lekat dengan maqom (kedudukan) masing-masing orang.

Beberapa memang sedemikian rupa diberi keistimewaan untuk dapat mengenal khaliq tanpa melalui perantara makhluq apapun. Artinya, orang itu tiba-tiba saja mendapat kemampuan ma'rifat. Warga pesantren menyebut pengetahuan jenis ini dengan sebutan ilmu laduni.

Jenis yang seperti inilah kira-kira yang diperoleh Syeikh Dzin Nun Al-Misri, sehingga ia pun sanggup berkata bahwa ia mengenal Allah melalui Allah. Atau Syeikh Ibn Athaillah As-Sakandari yang, dalam kitab Al-Hikam, menulis sebuah munajat, "Ilahi, kaifa yastadillu ilaika bi maa huwa fii wujudihi muftaqirrun ilaika; Tuhanku, bagaimana mungkin (orang-orang yang ingin) membuktikan keberadaan-Mu menggunakan sesuatu yang keberadaannya masih bergantung pada-Mu?"

Itu adalah metode pengenalan yang pertama, dan orang dengan kapabilitas seperti Dzin Nun jelas tak banyak. Lazimnya, orang dapat mengenal Tuhan melalui perantara makhluq. Az-Zabidi memberi contoh, salah satunya, melalui perenungan (filosofis) terhadap keberadaan alam semesta.

Tetapi, alih-alih terlebih dulu menjadi filsuf, yang bukan tak mungkin membuat orang tergelincir dalam fatamorgana pikirannya sendiri belaka, jalan paling mudah untuk mengenal Tuhan adalah dengan belajar dan atau mengikuti arahan orang-orang yang telah mengenal-Nya; memasrahkan diri kepada sosok murobbi. Di sinilah arti penting para Nabi sebagai pribadi-pribadi murobbi, yang pada saat pintu kenabian sudah tertutup seperti saat ini, estafetnya diteruskan oleh para ulama (ulama warotsatul anbiya').

Maka, kehidupan spiritual keagamaan amat musykil dilakoni secara otodidak. Memang sih, Anda bisa-bisa saja menolak sembarang orang sebagai penunjuk jalan (mursyid), dan mendaku diri sebagai hanya memilih Allah (Robb) langsung sebagai Murobbi. Tetapi, mbok ya berkaca sebentar. Jangan-jangan Anda sedang dikerumuni halimun yang sama dengan yang pernah mengerubuti Dzul Khuwaisirah?

Masih belum lama ini, barangkali hanya terpaut beberapa abad saja dari masa sekarang, seorang al-Tamimi yang lain, meski sama-sama berasal dari Nejd, memiliki gairah keagamaan yang seperti ini. "Orang ini enggan belajar fiqh pada ulama-ulama pada masanya. Ayahnya bahkan telah memperingatkan bahwa kelak akan lahir keburukan dari dirinya," tulis Syeikh Muhammad bin Humaid dalam As-Suhub Al-Wabilah ‘ala Dharaih Al-Hanabilah.

Belakangan, kakak dari orang ini (yang sudah lebih dulu dikenal sebagai 'alim) bahkan menulis risalah yang menentang gagasan-gagasan sang adik dengan judul as-Showaiq al-Ilahiyyah fi Raddi ‘ala al-Wahabiyyah. Terbukti, setelah ia menemukan momentum untuk berdekatan dengan kekuasaan, para pengikutnya dengan lancang mencederai nama ulama-ulama terdahulu; menyebar dan menebar tuduhan bid'ah kemana-mana. Mirip Dzul Khuwaisirah yang menuduh tidak adil kepada Nabi.

Wallahu a'lam bis shawab.

Rumah Cahaya,
Lukman Hakim Husnan

Lukman Hakim Husnan bersama Bem Stiq Al-Lathifiyyah dan 3 lainnya.
18 Agustus pukul 22.29 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.