Demokrasi Fiqh?

Demokrasi Fiqh ?
Demokrasi Fiqh ?
Sudah menjadi rahasia umum jika dalam tubuh umat Islam terjadi perbedaan pendapat dan pandangan. Berbeda yg dimaksud di dalam tulisan ini adalah berbeda dalam hal fiqh, bukan dalam hal syariat Islam. Menyalahi syariat Islam merupakan kesalahan yg sangat fatal karena menyelisihi dalil yg qath’i. Sedangkan jika berselisih hanya dalam ranah fiqh maka itu tidak disebut kesalahan fatal karena yg diperselisihkan adalah dalil yg bersifat dzanny (pedoman). Kurangnya sikap toleransi dan menghargai perbedaan pendapat menjadi biang keladi mengeruhnya semangat ukhuwah islamiyah. Padahal jika perbedaan disikapi dengan arif bijaksana maka akan menciptakan nuansa atau kultur kehidupan umat Islam yg lebih berwarna. Apalagi letak perbedaan tersebut bukan sesuatu yg substansial (syariat), tetapi hanya yg bersifat furu’iyah saja.

Lebih parah lagi, terlalu kukuhnya seseorang dalam mempertahankan apa yg menjadi keyakinannya justru menjadikan ia bersifat intoleranse. Tak jarang mereka lebih bersifat ekslusif (bc - ngeyelan) tidak mau menerima pendapat dari ulama yg lebih dulu tahu hal istimbath dan memaksakan kehendak sesuai dengan apa yg diyakinnya. Merasa benar, merasa paling sholeh adalah pikiran² yg harus dienyahkan karena seolah-olah ia mampu mendikte Tuhan dengan keyakinan kebenarannya tersebut.
Dengan mengetahui tarikh (sejarah) dan sebab sebab terjadinya pendapat maka kita akan menjadi lebih terbuka dan lebih dewasa dalam memandang masalah khilafiyah dalam fiqh.

Secara bahasa, khilafiyah berasal dari kata ( خالف ) yg diartikan sebagai kebalikan dari sepakat. Sedangkan secara istilah, yg dimaksud dengan khilafiyah disini adalah perbedaan pendapat dalam umat Islam yg berkaitan dengan pengalaman beragama mereka (para mutjahid).
Khilafiyah dalam islam bukanlah produk baru. Telah 14 abad lamanya islam lahir dan berkembang hingga saat ini. Problematika khilafiyah bukan hanya dihadapi oleh umat masa kini, tetapi sudah ada sejak masa peradaban Islam muncul, bahkan pada masa sahabat. Meskipun secara kuantitas jarang ditemui, tetapi pada masalah tertentu para sahabat memiliki perbedaan pandangan.

Salah satu contoh perbedaan pendapat di kalangan sahabat adalah menyoroti permasalahan tentang masa iddah bagi wanita. Ketika ada istri yg hamil lalu suaminya meninggal dunia, maka masa iddahnya menurut Umar bin Khatab adalah sampai anaknya lahir. Sementara Ali bin Abi Thalib menjelaskan bahwa jika seorang istri hamil lalu suaminya meninggal maka masa iddahnya bisa sampai sang anak itu lahir atau empat bulan sepuluh hari. Dilihat mana yg lebih lama.

Dalam lain masalah, Abu Bakar juga berbeda pendapat dengan Umar bin Khatab soal harta rampasan perang. Abu Bakar berpendapat bahwa pembagian harta rampasan perang (ghanimah) dibagi secara merata untuk semua orang tanpa mengutamakan orang tertentu atas orang lain. Sedangkan menurut Umar, dalam pembagian harta rampasan perang perlu ada proses stratifikasi dimana pembagian tersebut berdasarkan peran yg dijalankan selama peperangan, jadi tidak dibagi secara merata.

Itu sekelumit masalah tentang perbedaan pendapat di kalangan sahabat terutama mengenai masalah² fiqh. Sebenarnya masih banyak perbedaan pendapat di kalangan sahabat, namun tidak mungkin dituliskan seluruhnya (bc - capek saiya).

Perbedaan baru terasa kelam setelah terjadinya fitnah besar dalam umat Islam yg menimbulkan perpecahan dalam golongan yg berbeda-beda, awalnya perpecahan tersebut hanya terjadi dalam ranah politik atau kekuasaan, tetapi lama² pecah juga dalam hal akidah, lalu juga berimbas dalam bidang ibadah (fiqh).

Barangkali kita sering bertanya-tanya, mengapa bisa terjadi perbedaan pendapat padahal dasar yg digunakan adalah sama (al Quran dan Sunnah)? Seharusnya jika acuan hanya satu, maka juga akan terdapat satu prespektif saja dalam memaknainya.

Kita tidak membahas hal² apa saja yg terdapat dalam al Quran yg dimaknai beragam oleh para ulama. Tetapi kita akan bahas faktor² apa saja yg menyebabkan perbedaan pendapat dalam fiqh tersebut. Tetapi yg perlu digarisbawahi, perbedaan dalam fiqh yg dimaksud bukanlah perbedaan secara prinsipal seperti kewajiban shalat lima waktu, puasa, zakat, haji. Karena hal² tersebut merupakan syariat dan telah disepakati sehingga tidak diperselisihkan.

Khilafiyah dalam fiqh dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya
Tentang bgaimana syarat suatu Hadis sehingga dapat diamalkan.

Masalah ini muncul menyangkut tentang hadis² yg bersifat ‘amaliyah, yaitu segala hal yg dilakukan oleh Rasulullah baik berupa perkataan (perintah untuk melakukan sesuatu) maupun perbuatan (yg dicontohkan). Problematika yg membahas keabsahan suatu hadis lalu dapat diamalkan. Implikasinya ialah terletak pada bagaimana derajad kesahihan suatu hadis sehingga dapat dijadikan hujjah untuk menggali dan mengeluarkan sebuah hukum dalam fiqh. Penetapan kesahihan inilah yg sering menimbulkan ikhtilaf, padahal hadis yang memiliki derajat kesahihan memiliki kriteria tertentu.

Kesenjangan tentang perbadaan pendapat tentang hadis dilatarbelakangi oleh perbedaan riwayat. Dalam periwayatan suatu hadis, tidak menutup suatu kemungkinan seorang ulama menerima suatu riwayat tentang suatu persoalan, tetapi tidak memperoleh riwayat yg shahih tentang masalah yg lain. Akibatnya ada ulama yg dengan terpaksa mengamalkan hadis yg kurang shahih, padahal ulama lain berpendapat bahwa hadis yg kurang shahih tidak dapat dijadikan hujjah.

Sumber hukum Islam adalah al Qur’an dan Sunnah dan semuanya berbahasa Arab. untuk memahaminya diperlukan pemahaman bahasa Arab yg baik. Lafal dalam al Quran maupun hadis terkadang memiliki beberapa makna. Ada kalanya lafadz dalam bahasa Arab bersifat musytarak (ambigu/ kemajemukan makna), haqiqah maupun majaz, kata umum merujuk kepada kata yg khusus dan sebaliknya, serta masih banyak yg lainnya.

Keterbatasan dalam memaknai makna dalil yg sesungguhnya selain karena al Quran ada yg bersifat mutasyabih, juga karena keterbatasan akal manusia itu sendiri. Setiap ulama memilki pendapat tersendiri dalam memaknai ayat yg mutasyabih tersebut. Sehingga perbedaan pendapat tidak dapat dihindarkan keberadaannya. Hal ini di setiap wilayah yg menggunakan bahasa Arab memiliki lajnah (dialek) yg berbeda serta pemaknaan suatu benda yg juga berbeda. Serta terkadang kurangnya penjelasan redaksi dari sumber hukum kedua yaitu hadis sebagai bayan(terang) al tafsir.

Setelah ilmu ushul fiqh muncul, muncul juga beberapa metode dalam rangka mengeluarkan hukum dari sebuah dalil. Selama ini kita mengenal bahwa sumber hukum Islam adalah al Qur’an, as Sunnah, Ijma’, Qiyas, Istihsan, Istishab, Urf dan lain sebagainya. Ttidak ada yg membantah bahwa Qur;an dan Sunnah adalah sumber hukum Islam, begitu halnya dengan dengan ijma’. Akan tetapi dalam metode perumusan hukum yg dimulai pada qiyas terjadi banyak perbedaan pendapat. Mereka yg menganut rasionalis (madzab Abu Hanifah) lebih condong menggunakan metode qiyas jika mendapati masalah yg tidak terdapat dalam hadis. Sedangkan madzab Maliki mereka menggunakan urf/ adat kebiasaan orang Madinah sebagai sumber hukum (dimana beliau melihat langsung anak cucu sahabat dalam beribadah) juka tidak mendapatinya di Quran maupun Sunnah. 

Safeiiyah lebih mengedepankan ijma' para sahabat berbeda dengan mentornya yaitu imam Malik. Namun sebenarnya metode apapun yg dipakai tidak akan menyelisihi alQur’an.
Adapun terkadang terdapat dua ayat atau lebih yg secara teks terlihat kontradiktif. Para ulama juga berbeda pendapat dalam proses penyelesaiannya. Ada yang menggabungkan dan mengkompromikannya (al-jamu’ al-taufiq). Ada pula yang menggunakan metode nasakh (pembatalan). Lalu yg lainnya dengan cara tarjih yaitu mencari dalil yg lebih kuat. Letak perbedaanya nantinya adalah pada urutan dan sistematika dalam penyelesaian dalil yg bertentangan (taarudh wal adillah).

Khilafiyah seringkali meuncul dari berbedanya para ulama dalam menguasai sunnah itu sendiri. hal ini dikarenakan tidak ada manusia yg sempurna, pasti pemahaman manusia tidak akan lengkap dan cenderung parsial. Kemampuan yg berbeda-beda ini sesungguhnya jika digabungkan akan membentuk pengetahuan yg luas, akan tetapi jika tetap dipelihara sebagaimana adanya, maka yg terjadi hanya ada perbedaan yg seakan tiada ujungnya.

Selain itu sebagian ulama juga ada yg meralat fatwa yg telahdikeluarkan dikarenakan luputnya atas pengetahuan sebelumnya.

Adanya sekelompok muslim yg memiliki sifat intoleran terhadap pendapat orang lain ditengarai sebagai akibat dari kurangnya kesadaran bahwa memang perbedaan adalah suatu keniscayaan, kurangnya kesadaran tersebut karena seolah-olah ia sudah merasa menjadi orang yg paling benar, paling beriman dan paling diterima ibadahnya. Padahal dalam memahami dan menafsirkan itu masih mengandung relativitas, artinya tidak benar secara mutlak dan menyeluruh.

Fiqh memang berasal dari hal² yg bersifat furu’iyah yaitu hanya cabang. Meskipun demikian, tetapi dampak sosial yg ditimbulkan justru menjadi lebih besar dari bobot permasalahan itu sendiri. sering kita temui, hanya terjadi perbedaan sedikit saja langsung terjadi gap yg memisahkan antara umat satu dengan umat lainnya.

Memang dalam fiqh hanya membahas persoalan yg bersifat cabang saja. Akibatnya umat muslim yg eklusif (bc- ngeyel) mempelajari fiqh hanya secara parsial saja. ulama² yg tradisional jika ditanya tentang suatu masalah, misalnya tentang sholat, maka yg dibahas hanya rukun, sunat, makruh dalam shalat. Dapat dikatakan bahwa jika ajaran Islam dipelajari dengan prespektif makna dan tujuan maka masalah² furu’ tidak akan mengganggu kerukunan antar umat Islam.

Dewasa ini banyak orang yg merasa sempurna dalam beribadah, mereka merasa apa yg dikerjakannya sudah sesuai dengan dalil yg diperintahkan dan yakin bahwa dialah satu-satunya yg diterima ibadahnya, sedangkan orang lain yg berbeda tidak akan diterima ibadahnya. Pemikiran tersebut telah membuat orang sampai rela berjauhan dengan saudara muslim lainnya lantaran berbeda dalam tatacara ibadah.

Jika kita cermati dan sadari, menjaga ukhuwah, persaudaraan dan tali silaturahmi hukumnya adalah wajib, sangat wajib. Sedangkan untuk masalah fiqh, selama bukan menyentuh syariat itu hukumnya hanya sunnah saja. Lalu secara logika, apakah kita akan meninggalkan perkara yg WAJIB demi perkara sunnah yg (masih relatif kebenaranya)?

Seringkali kita temui ada sekelompok aliran tertentu yg gemar menjelek-jelekkan umat muslim yg lain hanya lantaran berbeda. Contoh labeling yg sering kita dengar ialah julukan Islam tradisonalis, skriptualis, ahlul bid'ah, kuburriyun, dll.. Pelabelan² tersebut justru menciptakan jarak gol tertentu dengan umat muslim.

المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يسلمه
Muslim itu bersaudara bagi muslim yg lainnya, Jangan menzaliminya dan jangan memasrahkannya (Hr Bukhari, Muslim).

Wallahu a'lam

Sumber : Musa Muhammad (https://www.facebook.com/dion.ono.5/posts/1648185215296781)

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.