وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا (المائدة ة : ٨)
“Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.”
Sekarang kita lihat isu viral ustadz-ustadz salafi yang ditolak ceramah di Pelni. Kita perlu tahu siapa mereka.
Kelompok salafi adalah para pengusung mazhab pemurnian. Mereka terpecah dalam tiga faksi besar. Salafi-Hijazi mengusung pemurnian aqidah dan ibadah. Mereka emoh masuk ranah isu politik. Salafi-Haraki mengusung tema pemurnian aqidah dan ibadah, plus pemurnian politik. Agendanya mengusahakan Nizam Islam dalam politik, tetapi menolak metode kekerasan. Salafi-Jihadi mengusung tema pemurnian aqidah, ibadah, dan politik dan setuju penggunaan kekerasan melalui jihad qital.
Kelompok pertama berkiblat kepada orientasi Arab Saudi dan Yaman. Kelompok kedua, sebut saja, salafi rasa Ikhwan. Mereka ikut aqidah salafi Arab Saudi, tetapi mengambil metode gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) Mesir. Pelopornya para intelektual al-Shahwah al-Islamiyah, kemudian diteruskan oleh Syekh Muhammad Surur bin Nayef Zainal Abidin. Dia aktivis IM Suriah, hijrah ke Arab Saudi pada 1965, kemudian dideportasi dan pindah ke Kuwait pada 1973, lalu berkiprah di London sejak 1984. Para pengikutnya disebut Sururi, salafi bervisi politik. Di Indonesia, semua salafi bervisi politik dicap Haraki-Sururi. Mereka ada yang bergerak di ranah politik praktis, yaitu kelompok tarbiyah yang mendirikan partai politik. Ada juga yang bergerak di ranah sosial-pendidikan yang didukung oleh Yayasan Ihya Turats, Kuwait. Yayasan ini didirikan oleh Abdurrahman Abdul Khaliq, murid Syekh Surur. Kelompok ketiga adalah para pewaris ideologi IM garis keras, yang ‘diternak’ di Afghanistan sepanjang periode 1980-1990, kemudian menjelma menjadi Al-Qaeda dan pesaingnya, ISIS. Pewarisnya di Indonesia, terutama, adalah JI (Jamaah Islamiyah), JAT (Jamaah Ansharut Tauhid), dan JAD (Jamaah Ansharut Daulah).
Para dai Salafi yang ditolak ceramah di Pelni ini masuk kelompok mana? Salafi-Hijazi! Mereka emoh bicara isu politik. Kiblatnya Arab Saudi yang memisahkan domain agama dan politik. Domain agama otoritas Muhammad bin Abdul Wahhab. Domain politik otoritas Ibn Saud. Pembagian ini dipertahankan sampai sekarang. Para ulama yang bernaung di bawah Dewan Ulama Senior Arab Saudi mengurus agama. Urusan politik ranahnya Raja Salman dan Putra Mahkota, Mohammad bin Salman (MBS). Salafi-Hijazi ini terpecah dalam tiga faksi besar: Madakhilah, Halabi, dan Hajuri. Madakhilah merujuk kepada nama ulama senior Madinah, Syekh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali. Halabi merujuk kepada Syekh Ali bin Hasan al-Halabi, muridnya Syekh Nashiruddin al-Albani, berbasis di Yordan. Hajuri merujuk kepada Yahya al-Hajuri, penerusnya Syekh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i di Madrasah Darul Hadis, Dammaj, Yaman. Madakhilah dan Halabi menolak keras masuk isu politik. Hajuri, sehubungan keadaan Yaman, mulai masuk ranah politik. Syekh Yahya membentuk milisi dan bentrok dengan Houthi. Ini mirip yang dilakukan Ja’far Umar Thalib, alumni Darul Hadis, yang mendirikan Laskar Jihad.
Pertentangan di antara faksi salafi ini keras sekali. Salafi-Hijazi mengecam keras salafi Haraki-Sururi, apalagi terhadap salafi jihadi. Mereka emoh masuk ranah isu politik, apalagi mendukung terorisme. Di internal salafi-Hijazi, Hajuri dikecam oleh Madakhilah dan Halabi karena masuk ranah politik praktis. Madakhilah dan Halabi juga saling kecam karena perbedaan metode dakwah. Ust Firanda Andirja, yang dicap sebagai Halabi, terlibat cekcok tajam dengan ustadz muda dari Makassar, Dzulqurnain M Sunusi. Dia mengklaim sebagai loyalis salafi murni yang induknya Arab Saudi. Tetapi, baik Halabi maupun Madakhilah, sama-sama anti terorisme. Derajatnya bahkan ekstrem: tidak boleh mencampuri urusan politik dan pemerintahan. Demo haram. Nyinyir kepada pemerintah yang sah haram.
Setahu saya, dai salafi yang dilarang ceramah di Pelni itu masuk kelompok ini. Apakah mereka radikal? Tergantung definisinya. Kalau radikal adalah ideologi yang mengancam negara, mereka sama sekali bukan ancaman. Boro-boro melawan negara, ngomong pemerintahan aja emoh. Mereka konsen pada tema pemurnian aqidah dan ibadah. Masalah mereka justru di sini. Begitu ngomong soal aqidah dan ibadah, mereka mengenakan kaca mata kuda. Mereka mencela para pengikuti Asy’ari. Dalam ibadah, mereka mengolok-olok para penganut Imam Syafi’i. Mereka minim sekali wawasan toleransi. Mereka buta soal ikhtilaf di kalangan ulama. Misalnya, pengikut Asy’ari mentakwil ayat ‘Allah bersemayam di atas Arasy’ dengan Allah menguasai ‘Arasy. Mereka tidak mau terima. Pokoknya yang benar Ibn Taimiyah. Selebihnya sesat dan di neraka. Dalam soal ibadah, mereka mengolok-olok pengikut Imam Syafi’i yang qunut subuh. Omongannya, dalam sebuah tayangan di Youtube, bahkan kurang ajar sekali. Mereka betul-betul tidak mengakui ijtihad Imam Syafi’i yang menganggap qunut subuh itu sunnah.
Andaikata mereka tidak pakai kaca mata kuda, misalnya, mengakui perbedaan mazhab dan menghormatinya, urusannya selesai. Damai! Padahal, mereka bisa mengakui perbedaan pendapat di kalangan para ulama junjungan mereka. Mereka hormat jika yang berbeda Bin Baz dan Albani. Bin Bâz mewajibkan cadar, Albânî tidak. Albânî berpendapat tarawih tidak boleh lebih dari 11 raka’at, Bin Baz boleh. Bin Baz membolehkan dzikir dengan tasbih, Albânî menganggap bid’ah, berasal dari tradisi Nasrani. Mereka bisa terima perbedaan pendapat di kalangan para ulama mereka, tetapi menutup mata dengan pendapat ulama lain di luar golongan mereka. Inilah masalahnya. Mereka tidak radikal dalam pengertian ancaman vertikal bagi negara, tetapi berpotensi menciptakan ketegangan horizontal karena tabdi’i, tafsiqi, dan takfiri. Andaikata ceramah mereka mengakui fikih ikhtilaf, mau menenggang perbedaan, saya akan jabat tangan mereka. Saya akan bela hak mereka untuk berpendapat dan berkeyakinan, termasuk ceramah di mana pun.
M Kholid Syeirazi, Sekretaris Umum PP ISNU; penulis buku "Wasathiyah Islam: anatomi, Narasi, dan Kontestasi Gerakan Islam"
Sumber : https://www.nu.or.id/post/read/127938/tentang-dai-dai-salafi-itu (Sabtu 10 April 2021 09:30 WIB)