Kritik Hadits dan Naluri Kemanusiaan

Kritik Hadits dan Naluri Kemanusiaan - Kajian Medina
Kritik Hadits dan Naluri Kemanusiaan

Perbedaan pendapat merupakan sesuatu yang lumrah terjadi. Bahkan dalam banyak kondisi, perbedaan pendapat justeru menjadi sesuatu yang sangat positif untuk melatih diri dalam meneliti dan melihat sebuah masalah dari sudut pandang yang berbeda. Tentu saja dengan syarat perbedaan pendapat itu berangkat dari niat yang bersih untuk menemukan kebenaran –setidaknya dalam kemampuan kita sebagai manusia biasa- dengan tetap membuka ruang terhadap kemungkinan salah dan benar, karena pada akhirnya ini hanyalah ijtihad basyari.

Masih tentang ‘pembantaian’ Bani Quraizhah. Perlukah ini dibahas lagi? Bagi saya sangat perlu. Pertama, karena ini menyangkut persepsi kita tentang Rasulullah Saw yang tak diragukan lagi sebagai sosok yang penuh kasih dan sayang. Kedua, karena ini terkait dengan kemampuan untuk kita mengkritisi setiap riwayat dan pendapat yang terdapat dalam berbagai kitab dengan metodologi yang ilmiah dan tidak pandang bulu. Tentunya ini tidak mengurangi rasa hormat dan penghargaan kepada para ulama kita. Tapi kita sepakat bahwa pada akhirnya mereka adalah manusia yang bisa benar dan bisa salah. 

☆☆☆

Secara naluri manusiawi, kita sulit menerima apa yang dipersepsikan sebagian riwayat dan pendapat sebagian ulama bahwa dalam satu-dua hari Rasulullah Saw membunuh 700 bahkan 900 orang. Membunuh dalam angka sebesar itu sudah bisa disebut sebagai pembantaian. Alasan kita keberatan sederhana. Karena yang kita pahami dari ayat, hadits, atsar dan sebagainya, Rasulullah Saw adalah sosok yang rahmatan lil ‘alamin. Kasih dan sayangnya bukan hanya kepada umat ijabah saja, tapi juga kepada umat dakwah. 

Akan tetapi, kalau riwayat tentang pembantaian itu datang melalui jalur yang mutawatir, yang tidak diragukan lagi keabsahannya, maka kita siap menyalahkan naluri kemanusiaan kita, menyalahkan akal sehat kita, dan berkata: sami’na wa atha’na.

☆☆☆

Sebagaimana disinggung dalam tulisan saya sebelumnya, penyebutan angka 600, 700, 800 atau 900 itu tidak terdapat sama sekali dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Tidakkah ini menjadi indikasi bahwa angka-angka ini dalam penilaian mereka tidak shahih? Benar bahwa hadits shahih tidak hanya terdapat dalam Bukhari dan Muslim saja. Namun, diabaikannya penyebutan angka oleh kedua imam besar hadits ini perlu menjadi satu catatan penting bagi kita.

Lalu, dimana terdapatnya riwayat yang menyebutkan angka? Riwayat ini ada dalam Sunan Tirmidzi, Nasa`i dan Ibnu Hibban. Riwayat dari Imam Tirmidzi seperti ini :

حدثنا قتيبة قال: حدثنا الليث، عن أبي الزبير، عن جابر، أنه قال: رمي يوم الأحزاب سعد بن معاذ فقطعوا أكحله أو أبجله، فحسمه رسول الله صلى الله عليه وسلم بالنار، فانتفخت يده، فتركه فنزفه الدم، فحسمه أخرى، فانتفخت يده، فلما رأى ذلك، قال: اللهم لا تخرج نفسي حتى تقر عيني من بني قريظة، فاستمسك عرقه، فما قطر قطرة، حتى نزلوا على حكم سعد بن معاذ، فأرسل إليه، فحكم أن يقتل رجالهم وتستحيا نساؤهم، يستعين بهن المسلمون، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «أصبت حكم الله فيهم» وكانوا أربع مائة، فلما فرغ من قتلهم انفتق عرقه فمات

Kami disampaikan oleh Qutaibah, ia berkata, kami disampaikan oleh al-Laits, dari Abu az-Zubair, dari Jabir, ia berkata: “Di perang Ahzab Sa’ad bin Muadz terkena panah. Para sahabat memotong otot lengannya. Kemudian Rasulullah Saw membakarnya dengan api. Tangannya membekak. Ia membiarkannya. Darahnya mengalir. Lalu beliau membakarnya kembali. Tangannya membengkak lagi. Melihat hal itu ia berdoa: “Ya Allah, jangan ambil nyawaku hingga hatiku tenang (melihat kemusnahan) Bani Quraizhah. Urat berhenti berdarah. Akhirnya Bani Quraizhah mau diputuskan nasib mereka oleh Sa’ad bin Muadz. Sa’ad diminta datang. Ia kemudian memutuskan para laki-laki dibunuh dan wanita dibiarkan hidup yang bisa dijadikan pembantu oleh kaum muslimin. Rasulullah Saw bersabda: “Keputusanmu terhadap mereka sejalan dengan hukum Allah.” Mereka berjumlah empat ratus. Setelah mereka dibunuh, lukanya (Sa’ad) kembali terbuka, lalu ia syahid.”.

Ada dua catatan utama kita terhadap riwayat ini :

Pertama, dari berbagai kitab hadits, ini riwayat satu-satunya yang menyebut angka. Dan, angkanya berapa? 400. Bukan 700, apalagi 900. Tidakkah perbedaan angka yang sangat signifikan ini wajar menjadi tanda tanya? Adapun kompromi (al-jam’u) yang dilakukan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dengan mengatakan bahwa 400 orang itu yang utama sementara sisanya pengikut, atau yang mengatakan bahwa 400 itu dari Bani Quraizhah sementara sisanya adalah Huyai bin Akhtab dan pengikutnya, ini tidak meyakinkan.

Yang kita bicarakan di sini adalah nyawa manusia, ya gama’ah, bukan binatang. Pada akhirnya mereka adalah makhluk Allah Swt. Tapi perlu kita tegaskan lagi, kalau angka itu datang dari jalur yang mutawatir, kita akan meninggalkan kegelisahan manusiawi ini dan akan tunduk pada berita yang sudah teruji kevalidannya.

Kedua, jalur riwayat satu-satunya ini ternyata datang dari jalur Abu az-Zubair al-Makki dari Jabir bin Abdullah ra. Siapa yang mengkaji ilmu mustalah agak mendalam akan mengetahui bahwa Abu az-Zubair terkenal sebagai seorang mudallis. Bahkan sebagian ulama, diantaranya Ibnu Hazm, menolak setiap hadits yang diriwayatkan Abu az-Zubar dari Jabir, apalagi menggunakan lafaz ‘an (عن), sebagaimana dalam hadits yang kita bicarakan ini.

☆☆☆

Bagaimana dengan riwayat ‘Athiyyah al-Qurazhi, seseorang yang akhirnya lepas dari pembantaian itu karena tidak memenuhi syarat? Riwayat ini memang terdapat dalam beberapa kitab hadits. Kita nukilkan riwayat dari Imam Tirmidzi :

حدثنا هناد قال: حدثنا وكيع، عن سفيان، عن عبد الملك بن عمير، عن عطية القرظي، قال: «عرضنا على النبي صلى الله عليه وسلم يوم قريظة فكان من أنبت قتل، ومن لم ينبت خلي سبيله، فكنت ممن لم ينبت فخلي سبيلي»

Kami disampaikan oleh Hanad, ia berkata, kami disampaikan oleh Waki’, dari Sufyan, dari Abdul Malik bin Umari, dari ‘Athiyyah al-Qurazhi, ia berkata: “Kami dihadapkan pada Nabi Saw di hari Quraizhah. Siapa saja yang tumbuh rambut (kemaluannya) dibunuh. Siapa yang belum tumbuh maka dilepaskan. Aku termasuk yang belum tumbuh sehingga aku dilepaskan.”

Ada beberapa catatan kita terhadap riwayat ini :

Pertama, untuk menilai kualitas sebuah hadits tidak cukup hanya dengan cara menghimpun berbagai riwayat dari kitab-kitab hadits yang beragam sehingga seolah-olah riwayatnya kuat karena terdapat dalam banyak kitab. Tidak demikian. Banyaknya sanad yang dicantumkan di berbagai kitab hadits, tidak serta-merta menjadi indikasi bahwa haditsnya kuat. Yang paling penting dan mendasar sesungguhnya adalah mencari siapa yang menjadi rawi pusat atau yang oleh para pakar hadits disebut dengan madar al-hadits (مدار الحديث). Artinya rawi yang menjadi poros dan titik temu dari semua riwayat. 

Ketika kita memeriksa berbagai riwayat dari ‘Athiyyah al-Qurazhi ini, ternyata semuanya bertemu pada rawi yang sama yaitu rawi sebelum ‘Athiyyah al-Qurazhi yang bernama Abdul Malik bin Umair. Jadi ia yang menjadi madar dari berbagai riwayat itu.

Memang di salah satu riwayat dalam kitab al-Mustadrak karya Imam al-Hakim ada riwayat dari jalur Mujahid bin Jabr dari ‘Athiyyah al-Quraizhi. Tapi pendapat Imam al-Hakim sendiri terhadap riwayat ini tidak konsisten. Di satu tempat ia mengatakan bahwa jalur dari Mujahid ini menjadi mutabi’ bagi riwayat Abdul Malik bin Umar, tapi di tempat lain ia mengatakan bahwa riwayat dari Mujahid ini gharib, karena jalur yang lebih dikenal adalah jalur dari Abdul Malik bin Umar.

Lalu apa kata para ulama jarah wa ta’dil tentang Abdul Malik bin Umair?

Imam Ahmad bin Hanbal berkomentar tentangnya:

عبد الملك بن عمير مضطرب الحديث جدا مع قلة روايته  ما أرى له خمس مئة حديث وقد غلط في كثير منها

“Abdul Malik bin Umar haditsnya mudhtarib sekali, padahal riwayatnya sedikit. Saya hanya melihat 500 hadits dari riwayatnya, itupun ia banyak keliru di dalamnya.”

Imam Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa ia mukhallith (hafalannya berubah di akhir hayatnya). Imam Abu Hatim mengatakan bahwa ia bukan seorang al-hafizh. 

Memang, Imam Nasa`i mengatakan, “Ia tidak apa-apa.” Tapi ketika dihadapkan dengan penilaian Imam Ahmad bin Hanbal diatas, tentu bisa dinilai mana yang lebih kuat. 

Yang cukup fatal adalah Abdul Malik bin Umar ini ternyata juga seorang mudallis, bahkan tadlisnya cukup masyhur, sebagaimana ditegaskan Abu Zur’ah dan Ibnu Hajar. Dan, dalam riwayat ini ia menggunakan lafaz ‘an (عن). 

Kedua, kalau berpegang dengan hadits ini, maka ini berarti semua yang telah tumbuh rambut kemaluannya dibunuh, termasuk juga orang tua, karena yang dikecualikan dari hal itu hanya anak-anak dan wanita. Pertanyaannya, benarkah Nabi Saw mengizinkan orang tua untuk dibunuh? Bukankah dalam beberpa hadits Nabi Saw melarang membunuh orang tua?

Ketiga, siapa sesungguhnya ‘Athiyyah al-Qurazhi yang menjadi satu-satunya sumber informasi untuk sebuah peristiwa sebesar dan sedahsyat ini? Hanya nama depannya saja yang diketahui; ‘Athiyyah. Nama ayahnya tidak diketahui sebagaimana ditegaskan Ibnu Abdil Barr. Adapun kata al-Qurazhi itu sendiri, itu hanya untuk menunjukkan bahwa ia berasal dari Bani Quraizhah. 

Layak kita bertanya, apakah untuk sesuatu yang semestinya sangat menggegerkan dan menggemparkan itu, sampai kepada kita hanya dari satu jalur saja? Itupun dengan berbagai problem yang terdapat pada sanad dan rawinya.

☆☆☆

Ada pertanyaan. Kalau yang dibunuh hanya puluhan orang saja, kenapa Rasulullah Saw mesti datang dengan sekian banyak para sahabat untuk mengepung Bani Quraizhah? Bukankah itu sia-sia belaka?

Ya akhi, pahami dulu kronologis ceritanya. Nabi Saw datang dengan jumlah sahabat yang banyak itu adalah untuk mengepung Bani Quraizhah di sarang mereka sendiri. Setelah mereka menyerah, barulah mereka digiring ke Madinah untuk mendapatkan hukuman yang setimpal. Nah, jumlah mereka yang dibawa ke Madinah inilah yang menjadi titik permasalahannya. Apakah betul sampai 400 atau bahkan mencapai 900 orang? 

Di samping itu, bagi kita yang mengkaji mentalitas orang-orang Yahudi, kita bisa menangkap bahwa mereka suka membesar-besarkan petaka dan tragedi yang menimpa mereka, seperti dalam peristiwa Holocaust, untuk menuai simpatik. Tapi peristiwa pembantaian Bani Quraizhah ini ternyata tidak disebutkan dalam literatur utama mereka, seperti dalam buku yang berjudul Ma`atsir Syuhada` al-Yahud yang ditulis oleh Samuel Asbek.

Jangan buru-buru mengatakan, “Kenapa mesti menggunakan sumber mereka? Tidakkah cukup menggunakan riwayat yang ada dalam sirah saja?” 

Untuk melacak kebenaran sebuah peristiwa, apalagi yang memainkan peran penting dalam membentuk persepsi tentang Islam, tak ada salahnya kita melihat sumber-sumber lain sebagai perbandingan. 

Tapi ini bukan saya yang melakukannya. Ini dilakukan oleh al-‘Allamah Abul Hasan Ali an-Nadwi dalam bukunya Sirah Nabawiyah. Tentu tidak mungkin kita menuduh Abul Hasan sebagai liberal atau berpihak pada Yahudi.

Setelah menukil dari al-Kamil fi at-Tarikh karya Ibnu al-Atsir yang menyebut bahwa angka yang dibunuh mencapai 600 orang, Abul Hasan mengomentari:

وقد شكك فى هذا العدد بعض الكتاب المعاصرين فى ضوء القياس واستبعاد وقوع ذلك فى بلد صغير كالمدينة وبأمر نبي اتسمت سيرته بالرحمة والرأفة من غير استناد إلى شهادات تاريخية ... والمراجع اليهودية ساكتة عن التعليق على هذا الحادث الذي كان جديرا باستفزاز شعورهم الديني ، وقد صنف مؤلف يهودي سموئيل أسبك كتابا مهما فى القرن السادس عشر المسيحي أسماه مآثر شهداء اليهود ، ولكنه لم يتعرض لجلاء بني قينقاع وبني النضير عن المدينة ولا لإعدام مقاتلي بني قريظة .

“Sebagian penulis kontemporer meragukan jumlah ini serta terjadinya hal itu di daerah kecil seperti Madinah (waktu itu), dan (bahkan) dengan perintah Nabi yang sirah-nya penuh dengan rahmat dan kasih sayang, tanpa memiliki sandaran sejarah yang kuat.

Sumber-sumber Yahudi sendiri hanya diam dan tidak mengomentari peristiwa yang patut mengguncang rasa beragama mereka. Seorang penulis Yahudi bernama Samuel Asbek menulis satu buku penting di abad keenambelas masehi yang ia beri nama: مآثر شهداء اليهود. Dalam buku itu ia sama sekali tidak menyinggung tentang pengusiran Bani Qainuqa` dan Bani Nadhir dari Madinah serta pembantaian para muqatil Bani Quraizhah.” 

☆☆☆

Atas dasar semua itu, saya secara pribadi lebih cenderung kepada riwayat yang datang dari Muhammad bin Syihab az-Zuhri yang menyebutkan bahwa jumlah yang dibunuh itu hanya 40 orang, artinya hanya para provokator dan gembong-gembong utama saja.

Meskipun riwayat az-Zuhri ini mursal, tapi ia masih lebih layak dijadikan sebagai pijakan daripada ungkapan Ibnu Hisyam, yang berasal dari Ibnu Ishaq, bahwa jumlah yang dibunuh mencapai 600-700, bahkan ada yang mengatakan 800-900. 

Bagaimanapun juga Ibnu Syihab az-Zuhri adalah guru dari Ibnu Ishaq. Dan, jangan lupa juga penilaian Imam Malik tentang Ibnu Ishaq yang sangat keras (دجال من دجاجلة). Meski kita tidak menerima seratus persen penilaian itu tapi setidaknya ini membuat kita ekstra hati-hati terhadap riwayat yang datang dari beliau, dan kita juga percaya bahwa Imam Malik tidak mungkin sembarangan mengeluarkan pernyataan sekeras itu.

Tentu setiap orang berhak memilih dan menguatkan riwayat atau pendapat yang dinilainya kuat.

☆☆☆

Pesan saya, kalau ingin mencari model ketegasan Rasulullah Saw, carilah dalam nash-nash yang teruji kekuatan dan validitasnya. Jangan sampai dengan dalih riwayat, tanpa sadar kita telah mencoreng performa dan image tentang sosok Rasulullah Saw yang mulia dan agung. 

اللهم هل بلغت ، اللهم فاشهد

Yendri Junaidi

21 Oktober 2020· 

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.