Nama dan Sifat

Nama dan Sifat - Kajian Medina
Nama dan Sifat

Yendri Junaidi

Yang paling mengagumkan dari rumus yang diciptakan Albert Einstein dalam teori relativitasnya adalah sisi simplisitas atau kesederhanaannya; E = mc2 . Sangat simpel dan sederhana. Walaupun tentu, untuk memahaminya tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Namun hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi banyak orang untuk mempelajari fisika, karena tampilan luarnya begitu menggoda (selanjutnya terserah Anda 😁).

Dalam khazanah keilmuan Islam sebenarnya spirit ini sudah ada sejak dulu. Ada ungkapan penuh makna yang dinisbahkan kepada Imam Ali bin Abi Thalib كرم الله وجهه berbunyi :

العلم نقطة كثرها الجهل

“Ilmu itu setitik, tapi menjadi banyak karena kebodohan.” 

‘Setitik’ di sini bisa kita artikan dengan sederhana, simpel dan tidak ribet. 

Lalu apa yang membuatnya menjadi banyak, kompleks, dan rumit? Kebodohan, ketidakmengertian. 

Kalaulah setiap orang yang berbicara tentang sebuah ilmu mengerti dengan baik apa yang dibicarakannya, tentu perdebatan dan pertikaian yang terjadi tidak akan melebar kemana-mana. Tapi ketika setiap orang yang merasa ‘memahami’ sebuah pembahasan, padahal sesungguhnya ia tidak atau belum memahaminya dengan baik, lalu ikut bicara, wajar saja kalau ilmu yang mestinya ‘sederhana’, simpel, dan mudah dimengerti menjadi terlihat ‘banyak’, rumit dan sulit dimengerti.

Celakanya, ada sebagian orang yang memang sengaja ingin menciptakan kesan bahwa ilmu yang disampaikannya bukanlah sembarang ilmu. Tidak semua orang bisa memahaminya, kecuali segelintir saja. Dan ia adalah salah satunya. Maka, alih-alih memudahkan, ia justeru sengaja membuat kesan ‘angker’ pada ilmu yang disampaikannya dengan cara menggunakan istilah-istilah yang berat serta asing bagi pendengar. 

Karena itu ada yang mengatakan bahwa diantara tanda seseorang paham dengan apa yang disampaikannya adalah ketika ia bisa membuat orang lain juga paham dengan apa yang ia sampaikan. Maka, ketika sebuah penyampaian tidak dipahami dengan mudah, ada dua kemungkinan ; bisa jadi si pembicara sendiri belum mengerti dengan baik apa yang ia sampaikan, atau memang ia sengaja membuat orang tidak memahami begitu saja apa yang disampaikannya sehingga muncul kesan bahwa tingkat kecerdasannya ada di atas rata-rata.  

☆☆☆

Diantara pembahasan yang terkesan ‘rumit’ dalam bidang akidah adalah masalah asma` wa shifat. Kesan ini diperkuat dengan banyaknya pendapat dalam hal ini, sehingga sesuatu yang semestinya simpel terlihat ‘berat’. Ditambah lagi ada yang berkata seperti ini, “Jangan samakan sifat dalam bahasa Indonesia dengan sifat dalam bahasa Arab.” Seolah ia ingin mengatakan, “Jangan kira mudah memahami hal ini, apalagi untuk orang awam yang tidak mengerti bahasa Arab.” (istilah ‘awam’ ini tak jarang digunakan untuk merendahkan orang lain, atau menganggap diri ‘lebih’ dari orang kebanyakan, meskipun istilah ini memang memiliki makna yang positif jika disampaikan secara tepat).

Padahal, meskipun penulisan dan penyebutannya berbeda, secara substansial sesungguhnya pengertian sifat dalam bahasa Arab tidak jauh beda (atau bahkan sama) dengan sifat dalam bahasa Indonesia. 

Mari kita lihat contoh sederhana. Perhatikan kalimat ini : “Ahmad sang pemberani.” 

Jelas, bahwa kata ‘Ahmad’ adalah nama untuk seseorang. Sementara kata ‘pemberani’ adalah sifat yang melekat pada orang itu. Kata ‘Ahmad’ menunjuk pada sosok seorang manusia yang diberi nama Ahmad. Ketika kata itu disebut, sosok itu akan langsung terbanyang. Tentu sosok yang dimaksud di sini bukan semua orang yang bernama Ahmad, melainkan sosok tertentu yang ada dalam pikiran orang yang mengucapkan kalimat tersebut. 

Kata ‘Ahmad’ disebut dengan nama (الاسم). Sementara sosok yang ditunjuk oleh kata ‘Ahmad’ disebut dengan objek penamaan (المسمى). Melekatkan kata ‘Ahmad’ pada sosok yang dimaksud disebut dengan penamaan (التسمية). Menurut para ulama, nama (الاسم) adalah :

ما دل على الذات

“Sesuatu yang menunjukkan pada zat.”

Sementara kata ‘pemberani’, tidak menunjuk pada sosok tertentu. Ia bisa melekat pada sosok Ahmad, bisa tidak. Ia juga bisa melekat pada siapapun selain Ahmad. Berarti melekatkannya pada sosok Ahmad bersifat 'tambahan' (plus). Inilah yang disebut dengan sifat. Para ulama mendefenisikannya dengan:

ما دل على معنى زائد عن الذات

“Sesuatu yang menunjukkan makna ‘lebih’ untuk zat.” 

Ini semua hanya untuk memudahkan kita memahami dua kata ini ; nama dan sifat. Nama, dalam bahasa Arabnya adalah isim. Bentuk pluralnya adalah asma` (الأسماء). Sementara sifat, dalam bahasa Arabnya adalah shifah. Bentuk pluralnya adalah shifat (الصفات). Tentu tidak mungkin sama -dari segala sisi- antara nama dan sifat yang melekat pada manusia dengan nama dan sifat yang melekat pada Zat Allah عز وجل. Aina at-turab min arbabil arbab.    

☆☆☆

Dalam kaitannya dengan asma` dan shifat Allah سبحانه وتعالى, hampir seluruh nama Allah mengandung makna sifat. Misalnya, nama Allah : الرحمن “Maha Pengasih” ia mengandung sifat tertentu yaitu sifat pengasih. Nama Allah : الغفور “Maha Pengampun” mengandung sifat tertentu yaitu sifat pengampun, dan seterusnya. Tapi apakah semua nama mengandung makna sifat? Tidak. Nama paling agung (lafaz jalalah) yaitu : Allah (الله) hanya menunjuk kepada Zat, tidak kepada sifat.

☆☆☆

Kapan kita boleh menamakan atau mensifati Allah dengan sesuatu? Ketika ada izin untuk itu. Izin disini maksudnya ketika ada nash yang menjelaskan bahwa Allah menamakan atau mensifati Zat-Nya dengan sesuatu. Saat itulah kita boleh menamakan atau mensifati-Nya dengan sesuatu itu. Hal ini seperti ketika Allah سبحانه berfirman :

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ ... (الحشر : 23)

Dialah Allah, tidak ada Tuhan selain Dia; Maharaja, Mahasuci, Mahasejahtera, Maha memberi rasa aman, Maha menguasai, Mahaperkasa, Maha kuasa, Maha memiliki segala keagungan…”

Dari ayat ini kita tahu bahwa Allah menamakan diri-Nya dengan al-Malik, al-Quddus, as-Salaam, al-Mu`min, al-Muhaimin, al-‘Aziiz, dan al-Jabbar. Di saat yang sama kita juga tahu bahwa Allah memiliki sifat Mahakuasa, Mahasuci, Mahasejahtera dan seterusnya.

Lalu bagaimana kalau tidak ada izin untuk itu, tapi juga tidak ada larangannya? Artinya, tidak ada keterangan yang tegas dari syara’ apakah sesuatu bisa dikatakan sebagai nama dan sifat Allah, atau tidak. Misalnya, ketika Allah berfirman:

الله يستهزئ بهم ...

“Allah memperolok-olok mereka…”

Apakah kita boleh menamakan Allah dengan المستهزئ (Zat Yang Mengolok-olok) dan mensifatinya dengan الاستهزاء karena fi’il يستهزئ dinisbahkan kepada Allah, atau tidak? Mayoritas Asya’irah mengatakan tidak boleh. Sementara kalangan Muktazilah mengatakan boleh. Imam al-Haramain memilih untuk tawaqquf. Muridnya, Imam al-Ghazali, mengatakan boleh untuk sifat tapi tidak boleh untuk nama.

☆☆☆

Dari penjelasan di atas semoga kita bisa membedakan mana ‘nama’ dan mana ‘sifat’. Kita juga paham bahwa sebagian besar nama-nama Allah mengandung makna sifat, seperti yang tampak dalam Asma` Husna. (Perlu diketahui bahwa nama-nama Allah tidak terbatas pada jumlah 99 saja sebagaimana anggapan banyak orang. Penyebutan angka 99 dalam hadits itu bukan untuk membatasi / الحصر, melainkan untuk penegasan kelebihan dan keutamaan saja).

Sekarang bagaimana dengan ayat-ayat berikut ini :

ويبقى وجه ربك

“dan wajah Tuhanmu akan tetap kekal…”

يد الله فوق أيديهم

“…tangan Allah di atas tangan mereka…”

تجري بأعيننا

“Ia berlayar dengan mata Kami…”

Apakah penyandaran (إضافة) kata wajah, tangan, dan mata kepada Allah dalam ayat-ayat di atas bisa dikatakan sebagai sifat atau tidak? 

Secara zhahir (zhahir : yang langsung terbayang dalam pikiran ketika sebuah kata disebutkan), kata wajah, tangan, mata dan sebagainya adalah bagian (أبعاض) dari tubuh. Dalam penggunaan sehari-hari, kita tidak mengenal kata-kata ini dijadikan sebagai kata sifat. Apakah ada yang mengatakan bahwa si A sifatnya adalah ‘wajah’? Sifat si B adalah ‘tangan’ atau ‘mata’? Yang ada adalah si A sifatnya penyayang, pemberani, pemarah dan sebagainya.

Kalaupun kata wajah, tangan, mata dan sebagainya dijadikan sebagai sifat, maka kata ini tidak lagi dipahami dalam pengertian dasarnya (zhahir), melainkan sudah dalam bentuk kiasan, seperti dalam kalimat : “Mau disembunyikan dimana wajahku?” (rasa malu) “Berkat jejak tangannya sekolah itu bisa didirikan.” (pengaruh dan kekuasaan) “Matanya panas melihat kelakuan anaknya.” (emosi dan amarah).

Nah, ketika kata-kata itu di-idhafahkan kepada Allah, sebagian ulama memang ada yang memahaminya sebagai sifat. Tapi ketika ia dikatakan sebagai sifat, otomatis ia tidak lagi dimaknai dan dipahami dalam pengertian awal yaitu anggota tubuh (حاشا لله) . Ia sudah beralih dari makna hissiy (inderawi) kepada makna maknawi atau majazi.

Namun ulama yang lain, diantaranya Imam al-Haramain, mengatakan bahwa peng-idhafahan kata-kata tersebut kepada Allah tidaklah berarti bahwa itu adalah sifat bagi Allah. Kenapa demikian? Karena idhafah (penisbahan) sesuatu kepada Allah tidak selalu berarti bahwa ia adalah sifat bagi Allah. Ada yang disebut dengan idhafah milk (penisbahan yang menunjukkan kepemilikan) seperti dalam ayat :

إن أرض الله واسعة ...

“Sesungguhnya bumi Allah itu luas…”

Ada juga yang disebut dengan idhafah tasyrif (penisbahan yang menunjukkan pemuliaan) seperti dalam ayat :

ناقة الله ...

“Onta Allah…”

Ditambah lagi, kalau kita baca ayat-ayat tersebut secara menyeluruh, tidak hanya bagian yang sering diperdebatkan saja, kita akan melihat bahwa konteks ayatnya tidak berbicara tentang sifat. Mari perhatikan ayat berikut :

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا (الفتح : 10)

“Sesungguhnya orang-orang yang membai’atmu (berjanji setia padamu wahai Muhammad) sesungguhnya mereka sedang membai’at Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Maka siapa yang melanggar (bai’at) itu maka sesungguhnya ia melanggar atas janjinya sendiri. Tapi siapa yang menepati apa yang telah ia janjikan kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”

Coba pahami dan hayati konteks ayat ini. Apakah ayat ini sedang menjelaskan bahwa ‘tangan’ merupakan sifat Allah, ataukah ia sedang menjelaskan bagaimana pentingnya sebuah bai’at atau janji setia untuk membela agama Allah, dan bahwa Allah akan selalu melindungi dan menolong mereka, lalu hal itu diungkapkan dalam bentuk yang sangat baligh ; tangan Allah di atas tangan mereka.

Karena itulah Imam Taftazani mengatakan:

والحق أن ما ورد كالاستواء واليد والوجه والعين ونحو ذلك ، أنها مجازات وتمثيلات

“Pendapat yang haq adalah bahwa penyebutan istiwa`, al-yad, al-wajh, al-‘ain dan sebagainya, adalah majaz (kiasan) dan tamsil (perumpamaan).”

[Tulisan ini menjadi bahasan pembuka untuk menjawab pertanyaan sebagian orang, kenapa yang dibahas dalam kitab-kitab Sadah Asy’ariyyah hanya Sifat Duapuluh sementara sifat Allah tidak hanya 20]

والله تعالى أعلم وأحكم

Yendri Junaidi

31 Agustus 2020 pukul 09.56  · 

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.