Di antara kesalahan besar tentang teologi adalah mengharuskan Tuhan melakukan hal yang dianggap baik atau enak oleh manusia. Tuhan dianggap semacam "pembantu umum" serba bisa yang harus menuruti permintaan manusia. Ketika manusia butuh ini dan itu, maka Tuhan dianggap wajib memberikannya karena kebutuhan manusia (atau apa yang enak bagi manusia) dianggap kebenaran yang tak bisa ditawar. Bila Tuhan kemudian tak melakukannya, maka Ia diragukan keberadaannya atau minimal diragukan ketuhanannya sebab tak menjalankan fungsinya sebagai "pembantu umum".
Dari persepsi seperti di atas, maka muncul ketidakpercayaan pada Tuhan ketika manusia mengalami kesengsaraan, ketika doa manusia tak dikabulkan, ketika ada kelaliman dan kejahatan pada manusia, dan ketika manusia masuk neraka. Itulah persepsi para ateis dan agnostik tentang Tuhan.
Muktazilah juga mewarisi nalar ini dalam porsi kecil sehingga dibid'ahkan oleh Ahlussunnah wal Jama'ah. Dalam ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah, Tuhan adalah oknum yang di atas segalanya, berhak melakukan apa pun sesuai kehendaknya, berhak memberi nikmat atau sengsara dan sama sekali tak wajib melakukan yang dianggap enak oleh manusia atau oleh siapa pun. Manusia menyembah Tuhan karena memang menjadi hambanya, bukan karena menjadi mitranya yang memberi dan menerima, apalagi karena menjadi juragannya.
Ket: Postingan Luthfi Assyaukani di SS ini konon telah dihapus, tapi terlanjur beredar dan tentu perlu ditanggapi agar tak menjadi virus.
Abdul Wahab Ahmad
24 Maret 2020 (8 jam ·)
#Abdul Wahab Ahmad