Sadar Diri Kalau Antum Bukan Mufti

Sadar Diri Kalau Antum Bukan Mufti - Kajian Medina
SADAR DIRI KALAU ANTUM BUKAN MUFTI

Diantara bentuk tidak pahamnya seseorang kepada penggunaan dalil adalah ketika mengomentari fatwa ulama sekelas al Azhar dan kumpulan ulama dunia tentang udzur bolehnya meninggalkan shalat berjama'ah adalah :

"Nabi saja tidak membolehkan seorang tua buta untuk meninggalkan shalat berjama'ah, padahal dia dalam bahaya mengancam, seperti diterkam hewan buas ketika menuju masjid dll. Lalu bagaimana dengan meninggalkan shalat hanya karena takut kepada virus yang belum pasti menyerangnya ?"

Disinilah nampak kebodohan nyata pengucapnya, berikut yang menyetujuinya dan yang turut serta menyebarkannya.

Bedakan antara meninggalkan yang sifatnya permanen dengan meninggalkan karena sebab udzur yang sifatnya temporeri.

Hadits tentang sahabat buta adalah meminta keringanan hukum untuk meninggalkan shalat berjamaah secara permanen, bukan meminta udzur yang sifatnya sesekali.

Ini berbeda kasusnya dengan keringanan bolehnya meninggalkan shalat berjama'ah. Dimana telah disepakati oleh para ulama ada begitu banyak udzur yang membolehkan seseorang untuk tidak menghadiri shalat berjama'ah di masjid.

Al Imam Nawawi dalam Majmu (4/384) berkata :

أَنَّ بَابَ الْأَعْذَارِ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ لَيْسَ مَخْصُوصًا بَلْ كُلُّ مَا لَحِقَ بِهِ مَشَقَّةٌ شَدِيدَةٌ فَهُوَ عُذْرٌ وَالْوَحَلُ مِنْ هَذَا

“Sesungguhnya udzur yang membolehkan seseorang meninggalkan shalat jumat dan shalat berjamaah bukanlah udzur khusus. Akan tetapi cukup semua hal yang dipandang mendatangkan kesulitan yang berat maka termasuk udzur. Dalam hal ini becek termasuk udzur.”

Kesulitan berat yang dimaksud itu bukan adanya perang. Bukan masjidnya hancur lebur. Tapi imam Nawawi mensifati jalanan yang becek termasuk kategori "kesulitan yang berat".

Padahal jalan becek itu mengatasinya tak perlu dengan naik mobil double gardan, apalagi tank atau panzer, cukup sepatu Boots. Tapi itu saja sudah jadi udzur dalam syariat !

Dan tahukah antum bahwa seseorang itu boleh tidak berjam'ah karena ngantuk ? Karena lapar ? Karena menahan hajat ? Makan sesuatu yang berbau, dan berbagai udzur lainnya yang begitu banyak.

Koq enak banget ? Ya iyalah. Karena agama ini adalah agama paripurna. Bukan hanya bicara tentang kerasnya perjuangan tapi juga bicara kemakmuran dan kedamaian.

Bukan hanya menuntut dari kita pengorbanan, tapi juga memberikan berbagai udzur dan keringanan. Itu mengapa Dia berfirman :

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama ini suatu kesempitan.” (QS. al-Hajj: 78)

Aduhai saudaraku, kalau antum tidak pernah belajar fiqih dengan baik, nggak usah lah berlagak jadi mufti. Karena nanti antum akan dibuat repot jungkir balik di akhirat mempertanggung jawabkan setiap fatwa-fatwa ngawur antum itu.

Kalau kita ini kelasnya mubaligh, sampaikan saja nasehat agama, atau hukum ramuan para ulama. Jangan coba-coba merumus fatwa. Sebagaimana kelasnya perawat jangan kepedean meramu obat apalagi membuat resep. Karena bisa diciduk karena mall praktek !

Masalahnya kalau agama mungkin antum memang tidak diciduk aparat. Tapi bakal "dibelai-belai" bubuhan Malaikat Malik nanti di Akhirat.

Tolong jangan salah paham lagi. Bahasan ini tentu bukan bermaksud untuk meremehkan keagungan dan keutamaan shalat berjama'ah. Biasanya ada yang suka begitu, apapun dicampur aduk kayak gado-gado.

Padahal setiap masalah harus didudukkan dan diletakkan sesuai kedudukan dan kotak bahasan masing-masing.

Wallahu a'lam.

Ahmad Syahrin Thoriq
24 Maret 2020 (5 jam ·)

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.