By. Ahmad Sarwat, Lc.MA
Apa bedanya? Apakah keduanya berbeda? Kalau iya, lalu yang manakah yang diikuti? Orangnya atau mazhabnya?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya harus kasih pertanyaan tambahan. Kalau Imam As-Syafi'i sendiri punya dua pendapat, pendapat yang manakah yang kita ikuti? Pendapat pertama (qaul qadim) atau pendapat kedua (qaul jadid)?
Secara teori seharusnya yang dipilih adalah pendapat kedua atau qaul jadid. Namun secara prakteknya, tidak selalu demikian. Kadang kala justru kita dan juga para ulama dalam mazhab Asy-Syafi'i lebih memilih qaul qadim. Dalam beberapa kasus, justru yang lebih muktamad malah qaul qadimnya.
Tulisan ini untuk menjawab beberapa tasykik yang dilontarkan kalangan pembenci mazhab Syafi'i yang menuding bahwa pengikut mazhab Syafi'i itu sesat, karena dianggap tidak ikut pendapat syafi'i sendiri. Padahal pendapat Syafi'i itu ada banyak, ada qaul qadim dan jadid. Dan para ulama mazhab berhak untuk melakukan tahqiq, seperti An-Nawawi dan Ar-Rafi'i, termasuk juga Ibnu Hajar Al-Haitami, Zakaria Al-Anshari.
Maka bermazhab Syafi'i itu bukan mempraktekkan kitab Al-Umm karya Asy-Syafi'i. Sebab beliau juga punya kitab lainnya seperti Al-Hujjah. Terus bagaimana sikap kita kalau ada perbedaan dalam pendapat sang imam sendiri?
Disitulah kemudian dilalukan proses tahqiq. Hasilnya adalah pendapat yang MUKTAMAD.
Dalam beberapa kasus, yang dianggap muktamad justru malah yang tidak sejalan dengan pendapat terakhir sang imam. Tapi tidak juga berarti kita menentang Imam As-Syafi'i. Toh dua-duanya juga pendapat Beliau juga. Qaul qadim dan jadid, dua-duanya mazhab Asy-Syafi'i.
Apa saja contoh kasusnya? Berikut petikan dari sebagiannya saja.
Pertama
Lafadz Ash-Shalatu khairun minan naum dalam adzan shubuh. Qaul jadid tidak pakai lafadz itu, sedangkan yang kita dengar dalam semua adzan shubuh ada tambahan lafazh itu. Padahal itu qaul qadim, meski hukumnya mustahab.
Kedua
Keharusan menjauh dari najis di air yang banyak. Qaul jadid mengharuskan dan qaul qadim tidak mengharuskan. Dan kita umumnya pakai qaul qadim.
Ketiga
Baca ayat Al-Quran setelah Fatihah hanya di dua rakaat pertama saja. Padahal menurut qaul jadid, di empat rakaat itu tetap baca ayat Quran setelah Fatihah. Kita pakai qaul qadim selama ini. Nyaris tidak pernah lihat ada orang pakai qaul jadid, lalu di keempat rakaat baca ayat Quran setelah Fatihah.
Keempat
Menyentuh kulit wanita yang mahram tidak batal wudhu'. Padahal menurut qaul jadid tetap batal. Kita justru pakai qaul qadim, tidak pernah pakai qaul jadid.
Kelima
Batas shalat maghrib itu sampai masuk Isya', yaitu sampai hilang syafaqul ahmar (mega merah). Tapi menurut qaul jadid, batasnya hanya dua rakaat shalat bakdiyah saja. Lewat itu sudah habis waktu Maghribnya.
Keenam
Dalam qaul jadid, batas waktu Isya' hanya sampai 1/3 malam pertama saja. Secara logika, jam 10 malam waktu Isya sudah habis. Tapi dalam qaul jadid, waktu Isya' tidak putus sampai shubuh atau terbit fajar. Dan kita selama ini pakai qaul qadim, bukan qaul jadid.
Ketujuh
Amin setelah bacaan Fatihah dalam shalat berjamaah jahriyah misalnya maghrib, isya, shubuh menurut qaul jadid tidak dikeraskan tapi dibaca sirr saja. Padahal yang kita kerjakan justru ramai-ramai teriak Aaaaamiiiin usai Fatihah imam. Itu qaul qadim sebenarnya.
Kedelapan
Bolehkah kita makan kulit bangkai yang sudah disamak? Qaul jadid membolehkan tapi qaul qadim tidak membolehkan. Alasannya karena kulit itu tetap bangkai meski sudah suci dari najis.
Dan masih banyak lagi kasus lainnya. Ini hanya sekedar contoh kecil saja. Kalau mau mendalami, silahkan baca kitabnya yang khusus membahas masalah ini.
Ahmad Sarwat
8 Januari 2020 pukul 08.17 ·
#Ahmad Sarwat