Ada pertanyaan dari akhina Ust Sugi Yanto yang saya rasa perlu jawaban agak lengkap sebab persoalan ini sering ditanyakan dan kadang menjadi polemik. Pertanyaannya adalah:
Yi Abdul Wahab Ahmad .. apakah beriman melalui taqlid itu masih sah ? .. apakah harus dg nadhar (mikir) ? ... suwun Yi ..
Jawaban saya:
Ustadz Sugi Yanto, pertanyaan ini perlu diperinci maksudnya agar duduk perkaranya jelas. Bila tidak, maka kita akan terjebak pada jawaban seolah para ulama Aswaja ( Asy'ariyah-Maturidiyah) berbeda pendapat, padahal sebenarnya tidak.
Begini perincian mudahnya:
1. Kalau yang dimaksud taqlid adalah asal ikutan orang lain tapi tanpa ada keyakinan yang mantap, maka imannya belum sah.
Misalnya ada tetangganya bilang Allah itu maha mendengar, lalu dia ikutan bilang begitu tapi hatinya masih bertanya apa benar Tuhan bisa mendengarnya? Memangnya suaranya nyampe ke Tuhan? Di mana posisi Tuhan sehingga bisa mendengarnya? Dia tak yakin apakah benar Tuhan maha mendengar tetapi sekedar ikutan saja bilang Tuhan mendengar. Yang begini adalah taklid yang bermasalah.
2. Bila yang dimaksud taqlid adalah percaya terhadap keyakinan yang dia dengar dari orang lain tanpa merasa perlu tahu argumen terperincinya, cuma dia yakin seyakin-yakinnya kalau itu benar sebab dia ikut orang yang dia percaya dan keyakinan itu baginya masuk akal meski dia tak tahu cara mengungkapkan alasannya secara ilmiah, maka imannya sah.
Misalnya gurunya yang dia percayai mengatakan bahwa Tuhan maha mendengar, lalu dia yakini itu seyakin-yakinnya dan menurutnya itu masuk akal sebab di benaknya, Tuhan pastinya mampu mendengar apa pun. Dia tak tahu dalilnya, tak mampu menyusun hujjah, bahkan mungkin tak mampu menjawab bila didebat soal ini, tapi dia yakin bahwa Tuhan pasti maha mendengar sebab ia Tuhan. Kalau ada yang bilang Tuhan Tuli, dia akan mengingkarinya dan menganggapnya salah. Yang begini ini sudah mencukupi syarat keimanan dan ini yang terjadi pada nyaris semua orang yang mengaku islam.
3. Bila yang dimaksud Nadhar adalah berpikir tentang dalil-dalil yang mendetail tentang sifat ketuhanan sehingga mampu menjawab semua pertanyaan dan syubhat (seperti yang dilakukan mutakallimin), maka ini tak masuk syarat kecukupan iman. Untuk disebut beriman tak perlu pengetahuan yang rumit seperti ini.
Pengetahuan Nadhar semacam ini hukumnya fardlu kifayah saja. Cukup sebagian kecil saja yang belajar untuk membentengi akidah, yang lain cukup ikut saja tetapi harus yakin seperti di atas.
4. Bila yang dimaksud Nadhar adalah berpikir sederhana saja hingga cukup sekiranya akalnya mampu menerima aqidah yang dia dengar dan tak menolaknya, maka itu wajib bagi semua orang.
Yang seperti ini misalnya ketika dia mendengar bahwa Tuhan itu ada, lalu itu terasa masuk akal baginya sebab di benaknya dunia ini pasti ada yang membuat. Ketika mendengar bahwa Tuhan itu satu, itu juga masuk akal baginya sebab dunia ini hanya butuh satu Tuhan yang Maha Hebat untuk mengaturnya, dan seterusnya yang sederhana-sederhana tanpa dalil rumit sehingga ketika dia mendengar kalimat "La Ilaha Illallah" sama sekali tak muncul penentangan dari dalam dirinya.
Pemikiran sederhana ini adalah fitrah setiap manusia sehingga asalkan tidak gila, tidak tidur, tidak mabuk dan tidak terpengaruh doktrin sesat, maka setiap orang akan terbesit pikiran sederhana seperti ini secara otomatis ketika mendengar kata "Tuhan". Sama seperti ketika seseorang yang berakal sehat mendengar kata "besi" maka otomatis di pikirannya terbesit tentang benda logam yang keras. Ia akan menolak bila ada yang berkata bahwa besi bisa digoreng lalu dimakan seperti kerupuk sebab perkataan itu tak masuk akal di pikirannya, sebagaimana ia juga akan menolak bila ada yang berkata bahwa dunia ini ada dengan sendirinya tanpa ada Tuhan yang membuatnya sebab ini juga tak masuk akal baginya.
Jadi, mewajibkan Nadhar dalam arti berpikir sederhana ini sama artinya dengan mewajibkan BERIMAN SECARA SADAR, bukan "beriman" seperti orang mabuk, orang mengigau, orang gila atau orang munafik. Ini tak berat sama sekali dan nyaris seluruh orang yang menyebut dirinya muslim memang melakukan Nadhar dalam arti ini, baik dia merasa atau tidak, baik dia tahu itu Nadhar atau tidak. Ini fitrah manusiawi.
Karena sangat sederhana dan masih berupa bawaan (fitrah), maka Nadhar dalam makna ini juga bisa disebut bertaqlid sebab masih belum menghasilkan dalil terperinci. Hanya saja ini taklid yang sudah sangat cukup sebagai syarat iman.
Bila kasusnya kita umpamakan sebagai pasien yang menerima resep dari dokter, apakah pasien itu taqlid (ikut-ikutan) pada dokter sepenuhnya tentang resep itu atau masih Nadhar (berpikir sendiri)? Jawabannya sama seperti di atas. Pasien itu taqlid sebab tak tahu dengan jelas komposisi resep itu dan bagaimana bisa ia menyembuhkan penyakitnya, tetapi bukan berarti si pasien sama sekali tak Nadhar waktu menerimanya. Andai dia sakit bersin-bersin lalu oleh dokter diberi resep agar banyak minum es, maka pikirannya pasti menolak resep itu. Ia hanya menerima resep yang menurutnya masuk akal saja sehingga dia juga berpikir (Nadhar) meskipun dalam bentuk sederhana.
Kesimpulannya:
- Bagi ulama yang mewajibkan Nadhar dan mengatakan bahwa tanpa Nadhar iman seseorang tidak sah, yang ia maksud adalah Nadhar dalam makna sederhana di atas. Nadhar dalam arti beriman secara sadar.
- Bagi ulama yang mengatakan bahwa beriman tak perlu Nadhar, cukup taklid saja tak masalah, yang ia maksud adalah Nadhar dalam arti berpikir kompleks tentang sifat ketuhanan seperti yang dipelajari dalam ilmu kalam sehingga keyakinannya mantap dengan seabrek dalil rasional.
Semoga bermanfaat.
Abdul Wahab Ahmad
11 jam ·
#Abdul Wahab Ahmad