by. Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Seorang teman ada yang berbasa-basi menanyakan jumlah anak saya dengan sebutan 'hafizh'. Punya hafizh berapa?".
Saya senyum saja dan menjawab santai,"Anak saya ada 4 tapi tidak ada satu pun yang hafizh".
"Ah, masak sih. Kan antum ustadz, masak anaknya nggak ada yang hafizh?", tanya dia lagi sambil keheranan.
Saya bilang jangankan anak saya, bahkan saya sendiri pun juga bukan hafizh. Terus istri saya, ayah saya, ibu saya, seluruh anggota keluarga saya tidak ada yang hafizh atau hafizhah.
Saya pun tidak terlalu kemecer ingin punya anak yang hafizh. Kalau dia yang mau menghafalkan Al-Quran, silahkan saja. Tapi dari saya tidak terlalu mengarahkan apalagi sampai memaksakan.
Lho kenapa kok tidak mengejar target biar anak-anak jadi hafizh? Bukankah jadi hafizh itu dambaan setiap orang?
Jadi begini ya. Menjadi generasi Qurani itu teknisnya tidak harus dengan cara menghafal 30 juz Al-Quran. Yang lebih penting itu mengerti apa mau nya Allah SWT atas tiap ayat yang Dia turunkan.
Jadi urutannya itu yang pertama tentu bisa membaca Al-Quran dengan fasih, memenuhi semua ketentuan tajwid. Bacaannya benar, panjang pendeknya benar, makharijul huruf mulus.
Setelah itu kalau mau menghafal sih boleh saja, namun tidak menjadi keharusan. Apalagi harus 30 juz. Bahkan dari sekian banyak syarat seorang mujtahid dalam ilmu fiqih, tidak ada disebutkan harus hafal 30 juz. Kuliah di LIPIA juga tidak harus hafal Quran. Syaratnya cuma 3 juz saja. Dan selama kuliah kudu hafal dari juz 1 s/d juz 8. Itu saja.
Setelah itu yang harus dikuasai adalah bahasa Arab. Sebab 6.236 ayat seluruhnya berbahasa Arab. Hal ini agar jangan sampai kita para penghafal 30 juz itu masih saja merujuk kepada Terjemahan Al-Quran, yang amat terbatas penjelasannya itu.
Baca Quran bagus, bahasanya mengerti, namun bukan berarti sudah jadi ahli Al-Quran. Masih ada sederet ilmu yang harus dipelajari yaitu Ilmu-ilmu Al-Quran (Uluumul-Quran).
Di antaranya harus tahu asbaun-nuzul tiap ayat, siyaq, munasabah, nasakh wal mansukh, 'aam dan khash, muhkam dan mutasyabih, mujmal mubayyan, mantuq dan mafhum, al-wujuh wa an-nazhair, haqiqah dan majaz, muthlaq dan muqayyad, kinayah dan ta'ridh, al-hasyr dan ikhtishash, al-ijaz dan ithnab, khabar dan insya', serta siapa yang jadi mukhathab.
Tanpa bekal ilmu-ilmu tersebut, maka kita akan keliru dalam menafsirkan suatu ayat dan tersesat dalam menarik keismpulan hukum yang terkandung di dalamnya.
Jadi terserah orang tuanya sih, mau ngerjain anak biar jadi hafizh dulu boleh. Tapi ingat, sekedar jadi hafizh itu belum apa-apa. Masih ada keharusan menguasai bahasa Arab dan sekian puluh cabang Ilmu Al-Quran.
Selesai?
Belum. Untuk bisa beribadah menjalankan syariah, mengerti Al-Quran saja belum cukup. Juga harus mengerti hadits. Dan ilmu hadits juga tidak sedikit. Sangat banyak jumlahnya, sangat ribet printilannya.
Terus ada nggak ilmu yang lebih simpel dan ringkas serta mudah bagi anak-anak untuk belajar agama?
Ada banget. Belajar saja ilmu fiqih, biar tahu segala aturan dan ketentuan dalam ibadah dan muamalah. Malah jumlah halamannya lebih sedikit, hanya seratusan halaman saja. Tuh ajari saja anak Anda Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib karya Abu Syuja' Al-Ashfahani. Tidak harus dihafal, yang penting dipahami dengan benar.
Oh ya satu lagi. Belajar fiqih itu harus ada gurunya yang juga ahli fiqih. Kalau cuma sambil lalu saja, tetap gak bisa juga.
Ahmad Sarwat
9 Januari 2020 (15 jam ·)
#Ahmad Sarwat