by. Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Berbeda dengan pemahaman keliru yang banyak berkembang yang mengatakan bahwa semua sunnah itu wajib dijalankan, sebenarnya sunnah itu belum tentu wajib dijalankan.
A. Sunnah Menurut Ilmu Hadits
Sunnah dalam ilmu hadits adalah semua yang diucapkan atau dilakukan oleh Nabi SAW.
1. Kekhususan Nabi SAW
Tidak semua yang Nabi SAW lakukan itu mesti kita kerjakan. Contohnya ketika Beliau SAW menikahi 9 dan/atau 11 orang istri, jelas kita tidak boleh menjalankan sunnah yang satu ini.
Apalagi ketika Beliau SAW menikah dengan Zaenab binti Jahsy, sama sekali tidak ada wali, tidak ada saksi, juga tidak ada ijab-qabul serta 2 orang saksi. Tentu sangat-sangat haram kita menikah dengan cara macam itu.
2. Adat dan Budaya
Sebagai orang yang hidup di suatu zaman dan tempat tertentu, maka Nabi SAW itu tidak bisa melepaskan diri dari adat dan budaya yang melingkupinya.
Mulai dari bahasa, makanan, minuman, pakaian dan berbagai macam kebiasaan yang khas dan melekat untuk waktu dan tempat tertentu. Beliau SAW makanan pokoknya roti dan kurma, maka kita tidak harus melupakan nasi, sekedar ingin ikut Nabi SAW.
B. Sunnah Menurut Ilmu Fiqih
Dalam ilmu fiqih, sunnah itu nama untuk status hukum, dimana yang melakukannya mendapat pahala tetapi kalau tidak dijalankan, tidak menjadi dosa.
Meski pun Nabi SAW tiap malam melakukan shalat tahajjud sampai bengkak kakinya, namun kita tidak wajib untuk melakukannya. Karena hukumnya bukan wajib, tapi hanya sunnah saja.
1. Bukan Sunnah Tapi Wajib
Kalau yang harus dikerjakan dan tidak boleh ditinggalkan, namanya bukan sunnah tetapi wajib. Disini banyak kalangan yang tidak sempat belajar ilmu ushul fiqih suka linglung dan tersesat.
2. Level Sunnah Berbeda-beda
Dalam istilah sunnah, sebenarnya ada derajat dan level yang saling berbeda. Ada istilah sunnah muakkadah, sunnah, mandub, mustahab, dan seterusnya. Maka kesunnahan shalat tarawih agak lebih tinggi ketimbang shalat tasbih.
C. Khilafiyah Dalam Menentukan Sunnah
1. Status Sunnah Hasil Ijtihad
Status suatu amal menjadi wajib, sunnah atau mubah itu biasanya tidak tertulis dalam Al-Quran atau sunnah, tetapi merupakan hasil ijtihad pada ulama, dengan menggunakan semua perangkat yang dibutuhkan.
2. Pasti Muncul Perbedaan Dalam Menyunnahkan
Sudah tidak bisa dipungkiri bahwa ketika menarik kesimpulan hukum, para ulama terbiasa berbeda pendapat. Suatu perbuatan kadang dianggap sunnah oleh satu ulama, namun oleh ulama lainnya dianggap wajib.
3. Contoh-contoh
Di antara contoh yang bisa menjelaskan antara lain :
a. Basmalah Dalam Wudhu'
Membaca basmalah sebelum wudhu' itu dianggap wajib dibaca menurut mazhab Hambali. Namun mazhab Syafi'i hanya memberi status sunnah. Jadi wudhu' tanpa baca basmalah itu sah-sah saja menurut mazhab Syafi'i.
b. Basmalah Ketika Menyembelih Hewan
Jumhur ulama sepakat mewajibkan pelafalan basmalah ketika menyembelih hewan. Sedangkan mazhab Syafi'i tidak mewajibkannya, cukup sampai posisi sunnah.
Alasannya karena Allah menghalalkan kita makan sembelihan ahli kitab dalam Surat Al-Maidah ayat 5. Padahal ahli kitab pasti tidak baca basmalah. Alasan lainnya karena Nabi SAW memerintahkan shahabat untuk baca basmalah sendiri, ketika ragu-ragu apakah daging yang terhidang itu disembelihnya pakai bismillah atau tidak.
c. Basmalah Dalam Fatihah
Mazhab Syafi'i mewajibkan baca basmalah ketika baca surat Al-Fatihah dalam shalat. Sementara mazhab Al-Hanafiyah, hanya menyunnahkan saja, dengan alasan bahwa basmalah bukan bagian dari surat Al-Fatihah.
End
Ahmad Sarwat
2 November pukul 20.27 ·
#Ahmad Sarwat