Benarkah Cara Duduk Seperti Ini Dilarang Secara Mutlak?

Benarkah Cara Duduk Seperti Ini Dilarang Secara Mutlak?
BENARKAH CARA DUDUK SEPERTI INI DILARANG SECARA MUTLAK ?

Oleh : Abdullah Al Jirani

Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam “Sunan-nya” (4/263) no (4848) dari Asy-Syarid bin Suwaid beliau berkata :

سنن أبي داود (4/ 263)
4848 - حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ بَحْرٍ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مَيْسَرَةَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ، عَنْ أَبِيهِ الشَّرِيدِ بْنِ سُوَيْدٍ، قَالَ: مَرَّ بِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا جَالِسٌ هَكَذَا، وَقَدْ وَضَعْتُ يَدِيَ الْيُسْرَى خَلْفَ ظَهْرِي وَاتَّكَأْتُ عَلَى أَلْيَةِ يَدِي، فَقَالَ: «أَتَقْعُدُ قِعْدَةَ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ؟»

“Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah melewati aku dalam kondisi aku duduk seperti ini, (yaitu) aku letakkan tangan kiriku di belakang punggungku dan aku bersandar di atas bokong* tanganku.” Maka nabi berkata : “Apakah engkau duduk dengan gaya duduk orang-orang yang dimurkai oleh Allah ?”.

Dalam hadits di atas, dzahirnya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang cara duduk tersebut secara mutlak dalam seluruh keadaan. Namun jika kita kumpulkan jalan-jalan hadits dalam masalah ini, maka akan kita dapatkan bahwa larangan tersebut bersifat muqayyad (terbatas) hanya dalam kondisi shalat saja. Adapun di luar shalat, maka boleh.

Imam Abdur-Razaq Ash-Shan’ani –rahimahullah- mengeluarkan riwayat dalam “Mushannaf-nya” (2/197) dari Amer bin Asy-Syarid beliau mengabarkan dari nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- :

مصنف عبد الرزاق الصنعاني (2/ 197)
3057 - عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ: أَخْبَرَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ مَيْسَرَةَ، أَنَّهُ سَمِعَ عَمْرَو بْنَ الشَّرِيدِ، يُخْبِرُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِي وَضْعِ الرَّجُلِ شِمَالَهُ إِذَا جَلَسَ فِي الصَّلَاةِ: «هِيَ قَعْدَةُ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ»

“Sesungguhnya beliau (Nabi-shallallahu ‘alaihi wa sallam-) berkata terhadap seorang yang meletakkan tangan kirinya apabila duduk di dalam shalat : “Ia merupakan cara duduk kaum yang dimurkai oleh Allah.”

Riwayat ini mursal. Karena Amer bin Asy-Syarid mengabarkan langsung dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan menjatuhkan bapaknya (Asy-Syarid bin Suwaid) sebagai perantara. Berarti riwayat ini dhaif (lemah).

Tapi Imam Abdul Haq Al-Isybili –rahimahullah- dalam “Al-Ahkam” menukil riwayat di atas dengan mencantumkan “Asy-Syarid bin Suwaid” no (1284) sebagai perantara. Jika penukilan ini benar, maka riwayat ini derajatnya shahih. Hal disebutkan oleh Syaikh Al-Albani –rahimahullah- di dalam kitab “Ashl Sifat Shalaf Nabi” (3/837).

Dalam riwayat di atas, terdapat tambahan lafadz “duduk di dalam shalat”. Sehingga hukum larangan duduk dengan cara sebagaimana disifatkan di dalam hadits di atas, bersifat terbatas hanya saat shalat. Adapun jika di luar shalat, maka boleh.

Seandainya kita tetapkan riwayat dalam “Mushannaf” Abdur-Razaq tersebut di atas dhaif (lemah), terdapat riwayat lain yang menjelaskan masalah ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam “Sunan-nya” (1/261) no : (994) dari Ibnu Umar –radhiallahu ‘anhu- beliau berkata :

سنن أبي داود (1/ 261)
994 - حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ زَيْدِ بْنِ أَبِي الزَّرْقَاءِ، حَدَّثَنَا أَبِي، ح وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، وَهَذَا لَفْظُهُ جَمِيعًا عَنْ هِشَامِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، " أَنَّهُ رَأَى رَجُلًا يَتَّكِئُ عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى وَهُوَ قَاعِدٌ فِي الصَّلَاةِ - قَالَ هَارُونُ بْنُ زَيْدٍ، سَاقِطًا عَلَى شِقِّهِ الْأَيْسَرِ، ثُمَّ اتَّفَقَا -، فَقَالَ لَهُ: «لَا تَجْلِسْ هَكَذَا، فَإِنَّ هَكَذَا يَجْلِسُ الَّذِينَ يُعَذَّبُونَ»

“Sesungguhnya beliau (Ibnu Umar) melihat seorang laki-laki yang bersandar di atas tangan kirinya dalam kondisi sedang duduk di dalam shalat.” Harun bin Zaid berkata : “Dalam keadaan jatuh di atas sisi tubuhnya yang kiri.” Kemudian kedunya (Yazid bin Harun dan Muhammad bin Salamah) sepakat. Maka Ibnu Umar berkata kepadanya : “Jangan duduk seperti ini ! Sesungguhnya seperti ini merupakan cara duduk orang-orang yang diadzab (oleh Allah).”

Sanad riwayat di atas hasan. Dan di dalamnya terdapat lafadz “di dalam shalat”. Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud di dalam “Sunan-nya” dalam Bab :

بَابُ كَرَاهِيَةِ الِاعْتِمَادِ عَلَى الْيَدِ فِي الصَّلَاةِ

“Bab Dimakruhkannya Bersandar Di atas Tangan Di Dalam Shalat”

Hal ini menunjukkan, bahwa Imam Abu Dawud –rahimahullah- memahami hadits di atas sebagai larangan yang bersifat terbatas, yaitu khusus di dalam shalat. Karena bab-bab yang terdapat dalam kitab sunan-nya, merupakan fiqh (pemahaman) beliau kepada hadits-hadits yang beliau riwayatkan.

Hal ini masih diperkuat dengan apa yang dikeluarkan oleh Abdur Razaq dalam “Al-Mushannaf” dari sahabat Abdullah bin Umar –radhiallahu ‘anhu- beliau berkata :

مصنف عبد الرزاق الصنعاني (2/ 197)
3055 - عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ: أَخْبَرَنِي نَافِعٌ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَأَى رَجُلًا جَالِسًا مُعْتَمِدًا عَلَى يَدَيْهِ، فَقَالَ: «مَا يُجْلِسُكَ فِي صَلَاتِكَ جُلُوسَ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ؟»

“Dari Nafi’ (maula Ibnu Umar) beliau berkata : “Sesungguhnya Ibnu Umar melihat seorang laki-laki duduk bersandar kepada kedua tangannya. Maka beliau berkata : “Apa yang mendudukkan kamu di dalam shalatmu dengan cara duduk orang yang dimurkai oleh Allah ?”

Dalam “Musnad Imam Ahmad” (10/180) dari Ibnu Umar –radhiallahu ‘anhu- beliau berkata :

مسند أحمد مخرجا (10/ 180)
5972 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ يَعْنِي ابْنَ سَعْدٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا سَاقِطًا يَدَهُ فِي الصَّلَاةِ، فَقَالَ: «لَا تَجْلِسْ هَكَذَا، إِنَّمَا هَذِهِ جِلْسَةُ الَّذِينَ يُعَذَّبُونَ»

“Sesungguhnya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melihat seorang laki-laki menjatuhkan tangannya (bersandar kepada tangannya) di dalam shalat. Maka beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata : “Jangan duduk seperti ini. Ini hanyalah cara duduk orang-orang yang disiksa oleh Allah.”

Sanad riwayat di atas shahih atau minimal hasan.

Kesimpulannya, bahwa larangan duduk bersandar kepada satu tangan (kiri) atau kedua tangan sekaligus, hanya berlaku di dalam shalat. Adapun di luar shalat, maka dibolehkan. Hal ini setelah mengumpulkan jalan-jalan riwayat hadits dalam masalah ini.

Faidah lain dari masalah ini : bahwa salah satu cara untuk memahami sebuah hadits, dengan cara dikumpulkan jalan-jalan periwayatannya. Karena setiap riwayat, bisa menjadi penjelas bagi riwayat yang lainnya. Oleh karena itu, jika kita mendapatkan sebuah hadits, jangan langsung dipahami secara langsung tanpa mengumpulkan jalan-jalan riwayatnya. Khawatir kita akan terjebak kepada suatu makna yang tidak pernah diinginkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Cara kedua, dengan mengembalikan pemahaman sebuah hadits kepada para ulama’ salaf dalam kitab-kitab hadits mereka (dalam bab-bab-nya) serta dalam kutub syuruh (kitab-kitab penjelasan hadits).

Demikian apa yang dapat kami susun kali ini. Semoga bermanfaat dan memberikan tambahan wawasan bagi kita sekalian. Alhamdulillah Rabbil ‘Alamin.

>Catatan : Apa yang dilakukan dua orang dalam gambar terlampir dengan cara duduk seperti itu hukumnya boleh. Karena keduanya melakukannya di luar shalat.
-----
*Makna “bokong tangan” yang dimaksud dalam hadits di atas sebagaimana dinyatakan oleh imam Al-Baihaqi (w.458 H) di dalam “Al-Adab” halaman : (105) :
الآداب للبيهقي (ص: 105)
قَالَ أَبُو دَاوُدَ، وَقَالَ الْقَاسِمُ: أَلْيَةُ الْيَدِ: الْكَفُّ أَصْلُ الْإِبْهَامِ وَمَا تَحْتَهُ
“Abu Dawud berkata, Al-Qasim berkata : Bokong tangan, artinya : telapak tangan ibu jari dan yang di bawahnya.”

Abdullah Al Jirani

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.