Dulu sang murid duduk di majelis gurunya, membantu urusan gurunya, baru setelah sang guru melihat ilmu muridnya memadai baru disuruh maju berfatwa
Dan biasanya mereka ini telah menyelesaikan kitab2 ulama dari awal sampai akhir, dari yang kecil ke besar, dan tentunya dengan bimbingan gurunya
Tetapi sejak adanya sistem universitas atau bahkan mahad, yang mana masa belajarnya dibatasi semester dan tahun ajaran, maka mau tidak mau meskipun belum sampai selesai satu kitab harus diujikan, atau diselesaikan dengan sistem kebut yang penting Selesai satu kitab
Sehingga hasilnya seperti sekarang, mereka yang lulus dan mendapatkan ijazah merasa dirinya sudah pantas berfatwa dan maju ke masyarakat, mereka mengijazahi diri mereka sendiri.
Padahal seandainya benar2 mau dicoba dengan sistem pendidikan ulama2 terdahulu mungkin masih sangat2 belum pantas.
Entah dari segi hafalan Qur'annya, ilmu tentang tafsir, ilmu qiroaat dal ulumul quran lainnya, hafalan haditsnya, ilmu alat semisal nahwu dan shorf, ushul fiqh,dll
Bisa anda bukti yang katanya sudah lulus dan mendapatkan ijazah serta sudah berani berfatwa, seberapa paham mereka dalam aspek2 yang disebutkan diatas?
Ulama2 dulu belajar kitab keseluruhan tanpa dibatasi waktu sehingga hasilnya benar2 ulama meskipun gak berijazah
Dan anehnya mereka yang kategorinya masih jauh dari istilah memandai ini dengan Pedenya mengatakan kami anti taqlid, kan namanya gak tahu diri kalo modelnya seperti ini? Ilmu masih jauh tapi gak berpikiran jauh?
Akhirnya apa yang terjadi? Kita lihat banyak fatwa2 aneh yang keluar dari tingkat pemahaman yang rendah dan jauh dari kapasitas pantas
Inget ijazah itu hanya bukti anda pernah sekolah bukan jaminan bukti anda beneran berilmu dan mikir disekolah.
Aboud Basyarahil
18 jam ·
#Aboud Basyarahil