Cuti Iddah

Cuti Iddah - Kajian Medina
Cuti Iddah

Oleh Ahmad Sarwat, Lc.MA

Al-Quran tegas menyebutkan bahwa wanita yang dicerai oleh suaminya, harus bertarabbush (يتربصن بأنفسهن) alias menjalani masa iddah selama 3 kali masa suci dari haidh.

Sedangkan yang suaminya wafat, masa iddahnya sedikit lebih lama, yaitu 4 bulan 10 hari.

Dan konsekuensinya selama masa iddah itu, ada beberapa larangan utama, yaitu :

1. Tidak boleh menikah dulu
2. Tidak boleh menerima lamaran
3. Tidak boleh keluar rumah
4. Tidak boleh berhias

Larangan nomor 1 dan 2, jelas pasti bisa dihindari. Tapi bagaimana larangan nomor 3 dan 4? Apakah dihindari juga?

Sampai di titik ini, nampaknya masih banyak para wanita muslimah yang melanggar dan menabrak larangan itu.

Alasannya macam-macam, yang paling utama biar tidak sumpek di rumah atau keingetan terus dengan suaminya.

Alasan lain, biar tetap bisa hidup normal dan bersosialisasi, melupakan sosok suami yang sudah tiada.

Seolah-olah ketentuan syariah ini dianggap tidak berlaku lagi dan diterobos begitu saja seenaknya. Seharusnya masalah ini jadi perhatian utama para wanita.

Dan buat yang bekerja, seharusnya ada cuti iddah yang disesuaikan dengan ketentuan syariah.

* * *

Diantara yang tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang ber`iddah adalah menerima khitbah, menikah, keluar rumah, dan berhias.

1. Menerima Khitbah

Seorang wanita yang baru saja ditalak suaminya, atau ditinggal mati, maka dia harus menjalani masa iddah, dimana ketika masa iddah itu dia tidak boleh menerima ajakan atau lamaran (khitbah) dari seorang laki-laki.

Kalau pun laki-laki itu punya keinginan untuk menikahinya, maka tidak boleh disampaikan dalam bentuk terang-terangan. Yang dibolehkan hanya bila dilakukan lewat bentuk sindiran.

Hal itu telah diatur Allah SWT di dalam ayat berikut ini :

وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاء أَوْ أَكْنَنتُمْ فِي أَنفُسِكُمْ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَـكِن لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرّاً إِلاَّ أَن تَقُولُواْ قَوْلاً مَّعْرُوفاً وَلاَ تَعْزِمُواْ عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىَ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ

Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah : 235)

2. Menikah

Kalau sekedar menerima lamaran saja diharamkan, maka tentu saja bila menikah lebih diharamkan lagi. Sehingga kalau seorang wanita yang dicerai suaminya atau ditinggal mati mau menikah lagi, dia harus menunggu sampai masa iddahnya selesai terlebih dahulu.

Pernikahan seorang wanita yang dilakukan ketika masa iddah belum selesai adalah pernikahan yang haram, dan hukumnya tidak sah dalam syariat Islam.

3. Keluar Rumah

Seorang wanita yang sedang menjalani masa iddah diwajibkan melakukan apa yang disebut dengan mulazamtu as-sakan (ملازمة السكن).

Artinya adalah selalu berada di dalam rumah, tidak keluar dari dalam rumah, selama masa iddah itu berlangsung.

Wanita itu tidak diperkenankan keluar meninggalkan rumah tempat dia dimana menjalani masa iddah itu, kecuali ada udzur-uzdur yang secara syar’i memang telah diperbolehkan, atau ada hajat yang tidak mungkin ditinggalkan.

Pelanggaran ini berdampak pada dosa dan kemasiatan. Dan bagi suami yang mentalak istrinya, ada kewajiban untuk menegur dan mencegah istrinya bila keluar dari rumah.

Dalilnya adalah apa yang telah Allah SWT tetapkan di dalam Al-Quran Al-Karim :

لاَ تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلاَ يَخْرُجْنَ

Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah para wanita itu keluar dari rumah. (QS. Ath-Talak : 1)

Namun para ulama, di antaranya mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, serta Ats-Tsuari, Al-Auza’i, Allaits dan yang lainya, mengatakan bahwa bagi wanita yang ditalak bain, yaitu talak yang tidak memungkinkan lagi untuk dirujuk atau kembali, seperti ditalak untuk yang ketiga kalinya, maka mereka diperbolehkan untuk keluar rumah, setidak-tidaknya pada siang hari.

Alasannya karena wanita yang telah ditalak seperti itu sudah tidak berhak lagi mendapatkan nafkah dari mantan suaminya. Dan dalam keadaan itu, dia wajib mencari nafkah sendiri dengan kedua tangannya. Maka tidak masuk akal bila wanita itu tidak boleh keluar rumah, sementara tidak ada orang yang berkewajiban untuk menafkahinya.

Selain itu memang ada nash yang membolehkan hal itu, sebagaimana hadits berikut ini :

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَال : طَلُقَتْ خَالَتِي ثَلاَثًا فَخَرَجَتْ تَجِدُّ نَخْلاً لَهَا فَلَقِيَهَا رَجُلٌ فَنَهَاهَا فَأَتَتِ النَّبِيَّ فَقَالَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَال لَهَا : اخْرُجِي فَجُدِّي نَخْلَكِ لَعَلَّكِ أَنْ تَصَدَّقِي مِنْهُ أَوْ تَفْعَلِي خَيْرًا

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu, dia berkata,”Bibiku ditalak yang ketiga oleh suaminya. Namun beliau tetap keluar rumah untuk mendapatkan kurma (nafkah), hingga beliau bertemu dengan seseorang yang kemudian melarangnya. Maka bibiku mendatangi Rasulullah SAW sambil bertanya tentang hal itu. Dan Rasululah SAW berkata,”Silahkan keluar rumah dan dapatkan nafkahmu, barangkali saja kamu bisa bersedekah dan mengerjakan kebaikan. (HR. Muslim).

Dalam hal ini yang menjadi ‘illat atas kebolehannya semata-mata karena wanita itu tidak ada yang memberinya nafkah untuk menyambung hidup.

Sedangkan bila ada yang memberinya nafkah, atau dia adalah wanita yang punya harta, yang dengan hartanya itu cukup untuk menyambung hidup tanpa harus bekerja keluar rumah, maka kebolehan keluar rumah itu tidak berlaku.

Selain itu juga ada hadits yang membolehkan para wanita untuk berkunjung ke rumah tetangga pada saat-saat menjalani masa ‘iddah, dan hal itu atas seizin dan sepengetahuan Rasulullah SAW.

اسْتَشْهَدَ رِجَالٌ يَوْمَ أُحُدٍ فَآمَ نِسَاؤُهُمْ وَكُنَّ مُتَجَاوِرَاتٍ فِي دَارٍ فَجِئْنَ النَّبِيَّ فَقُلْنَ : يَا رَسُول اللَّهِ إِنَّا نَسْتَوْحِشُ بِاللَّيْل فَنَبِيتُ عِنْدَ إِحْدَانَا فَإِذَا أَصْبَحْنَا تَبَدَّرْنَا إِلَى بُيُوتِنَا فَقَال النَّبِيُّ : تَحَدَّثْنَ عِنْدَ إِحْدَاكُنَّ مَا بَدَا لَكُنَّ فَإِذَا أَرَدْتُنَّ النَّوْمَ فَلْتَؤُبْ كُل امْرَأَةٍ مِنْكُنَّ إِلَى بَيْتِهَا

Beberapa laki-laki telah gugur dalam perang Uhud, maka para istri mereka yang saling bertetangga berkumpul di rumah salah seorang mereka. Mereka pun mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya,”Ya Rasulullah, kami merasa khawatir di malam hari dan kami tidur bersama di rumah salah seorang dari kami. Bila hari telah pagi, maka kami kembali ke rumah masing-masing”. Nabi SAW bersabda,”Kalian saling menghibur di rumah salah seorang kalian. Bila kalian akan tidur, maka kembali masing-masing ke rumahnya. (HR. Al-Bahaqi)

Mengomentari hadits ini, para ulama mengatakan bahwa hal itu termasuk dibolehkan, asalkan kondisinya amanat dan pada saat menjelang tidur, mereka kembali ke rumah mereka masing-masing.

4. Berhias

Seorang wanita yang sedang dalam masa iddah dilarang untuk berhias atau bercantik-cantik. Dalam istilah fiqih disebut dengan al-ihdad (الإحداد) atau al-ihtidad (الإحتداد).

Dan diantara kategori berhias itu antara lain adalah :

Menggunakan alat perhiasan seperti emas, perak atau sutera

Menggunakan parfum atau wewangian

Menggunakan celak mata, kecuali ada sebagian ulama yang membolehkannya memakai untuk malam hari karena darurat.

Memakai pewarna kuku seperti pacar kuku (hinna`) dan bentuk-bentuk pewarna lainnya.

Memakai pakaian yang berparfum atau dicelup dengan warna-warna seperti merah dan kuning.

Di dalam Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq mengatakan: “Isteri yang sedang menjalani masa ‘iddah berkewajiban untuk menetap di rumah dimana ia dahulu tinggal bersama sang suami sampai selesai masa ‘iddahnya dan tidak diperbolehkan baginya keluar dan rumah tensebut.

Sedangkan suaminya juga tidak diperbolehkan untuk mengeluarkannya ia dari rumahnya.

Seandainya terjadi perceraian di antara mereka berdua, sedang isterlnya tidak berada di rumah dimana mereka berdua menjalani kehidupan rumah tangga, maka si isteri wajib kembali kepada suaminya untuk sekedar suaminya mengetahuinya dimana ia berada.

Sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah SWT pada surat Ath-Talak ayat pertama.”

Apabila isteri yang ditalak itu melakukan perbuatan keji secara terang- terangan memperlihatkan sesuatu yang tidakbaik bagi keluarga suaminya, maka dibolehkan bagi suami untuk mengusirnya dari rumah tersebut, demikian menu rut Ibnu Abbas.

Pendapat Sayyid Sabiq di atas juga ditentang oleh Aisyah Radhiyallahu Anha, Ibnu Abbas, Jabir bin Zaid, Hasan, Atha’, dan diriwayatkan dan Ali dan Jabir; dimana Aisyah sendiri pernah mengeluarkan fatwa kepada isteri yang ditinggal mati suaminya untuk keluar dan rumah pada saat menjalani masa ‘iddahnya.

Lalu isteri tersebut keluar rumah bersama dengan saudara perempuannya, Ummu Kultsum berangkat ke Makkah untuk menjalankan ibadah umrah, yaitu ketika Thalhah bin Ubaid terbunuh.

Ahmad Sarwat
24 September pukul 08.45 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.