by. Ahmad Sarwat, Lc.MA
Waktu kuliah S3 di IIQ dulu, istilah 'majelis taklim' itu punya kesan yang kurang baik, malah cenderung negatif. Tapi ini khusus hanya di kalangan terbatas kita sekelas saja.
Kok bisa?
Misalnya ada teman bikin makalah tebal sekali, tapi isinya ngalor ngidul tidak jelas mau ngomong apa, dosen kami komennya lucu : Ini makalah apa bahan pengajian majelis taklim ya? Makalah apa teks pidato?
Dan kita pun sekelas terbahak-bahak mentertawakan diri kita masing-masing. Sebab rata-rata kita kalau bikin makalah ya kayak gitu juga. Kayak naskah khutbah Idul Fithri. Maklumlah, rata-rata sekelas isinya ustadz dan ustadzah semua.
Dan komennya dosen selalu sama, ini makalah majelis taklim mana lagi? Hehe
Memang harus diakui yang namanya menulis ilmiyah itu bukan perkara mudah. Tidak sesederhana ceramah di majelis taklim.
Asal bunyi dan asal goblek aja, jamaahnya manut saja. Dibohongin pakai hadits palsu pun nerimo saja. Didongengin kisah israiliyat pun asyik-asyik saja.
Padahal standarnya, nulis makalah ilmiyah itu harus hasil dari membaca sekian banyak literatur yang kemudian diringkas, dikomentari dan disimpulkan. Bukan ungkapan perasaan dan isi hati. Itu namanya surat cinta.
Gak mentang-mentang sudah jadi ustadz, lantas bisa bikin tulisan ilmiyah. Justru profesi ustadz itu paling puyeng menulis yang ilmiyah-ilmiyah. Sebab dunianya para ustadz itu malah kebanyakannya justru tidak ilmiyah.
Terbiasa punya literatur dari sosmed, yang dijamin mengandung hoaks berkadar 100%. Ngobrolnya pun tidak jauh-jauh dari zona hoaks juga. Soale si ustadz itu memang lebih sering kedapatan ngaji dari sosmed ketimbang dari kitab.
Ahmad Sarwat
22 Juli pukul 04.53 ·
#Ahmad Sarwat