Menerjemahkan ayat Al-Quran, Hadis Nabawi atau pun juga kitab-kitab berbahasa Arab, khususnya yang terkait dengan hukum syariah, ternyata harus hati-hati dan tidak boleh sembrono.
Sebab kalau tidak, akan menimbulkan kesalahan fatal di kalangan awam, yang diawali karena kesembronoan dalam penerjemahan.
Kasus 1 : Telapak Tangan
Kasus kekeliruan atau kekurang-akuratan dalam menerjemakan al-kaff (الكف) sering berujung pada kesalahan fatal. Dalam banyak terjemah, al-kaff itu dengan seenaknya diterjemahkan menjadi telapak tangan.
Konotasi orang kebanyakan, telapak tangan itu adalah bagian dalam saja, sedangkan punggung tangan tidak termasuk telapak.
Padahal yang dimaksud dengan al-kaff adalah telapak dan juga punggung tangan sekalian. Namun sayang sekali Bahasa Indonesia tidak punya padanan kata yang tepat untuk terjemahkan kata ini. Jadi kalau mau tidak ada salah paham, terjemahkan saja menjadi : tangan hingga batas pergelangan (termasuk punggung tanggan).
Kasus 2 : Banci
Khuntsa sering diterjemahkan seenaknya dengan banci. Padahal khuntsa itu orang yang secara alami lahir sejak bayi sudah punya dua alat kelamin sekaligus. Punya penis asli dan vagina yang asli juga. Bawaan langsung dari 'sono'-nya.
Adapun banci, aslinya tetap laki-laki dengan alat kelamin laki-laki asli dari sononya. Dia tidak punya alat kelamin ganda bawaan sebagaimana khuntsa. Cuma 100% laki-laki yang doyan berpenampilan mirip perempuan, mulai dari pakaian, asesori, potongan rambut, parfum, tas, semuana seperti perempuan, termasuk operasi plastik dan suntik.
Sekali lagi sayangnya Bahasa Indonesia tidak punya padanan kata yang tepat untuk kata khuntsa. Yang jelas salah dan keliru kalau diterjemahkan menjadi banci.
Dan kalau dicari-cari terus, saya yakin masih banyak kekeliruan semacam ini akan terus kita temukan di banyak terjemahan. Itulah kenapa saya kurang tertarik untuk menerjemah kitab. Terlalu banyak masalah dan perintilannya. Mending nulis saja buku beneran dari awal.
Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Ahmad Sarwat
28 Juni pukul 06.55 ·
#Ahmad Sarwat