Oleh : Abdullah Al-Jirani
Dalam sepekan, saya mengisi sekitar sepuluh kajian di masjid yang berbeda-beda. Bahkan setelah hari raya tahun ini masih saja menumpuk permintaan dari beberapa masjid yang belum bisa kami ijabahi. Jama’ah pengajian saya komplexs, tidak hanya dari komunitas yang berafiliasi ke Salafy saja, tapi ada dari NU, Muhammadiyyah, Persis, Al-Irsyad, Dewan Dakwah, PKS, Jama’ah Tabligh, MTA, FPI dan lain sebagainya. Prinsip saya, dakwah Islam itu bersifat “rahmatan lil ‘alamin” (rahmat bagi semesat alam). Siapapun boleh untuk hadir di majelis ilmu dalam rangka untuk belajar bersama. Hidayah tidak hanya milik kelompok tertentu, tapi milik semua orang yang menginginkannya. Bahkan di sebagian tempat, kajian saya berada di ‘jantung’ NU dan Muhammadiyyah. Tapi –Alhamdulillah- sampai saat ini bisa berjalan lancar tanpa ada aral melintang.
Di suatu masjid yang saya isi, sering saya diminta untuk menjadi imam salat. Tapi dengan sengaja saya tolak secara halus karena saya tahu di situ ada beberapa tokoh ormas tertentu yang ikut taklim saya yang bisa jadi imam. Akhirnya, kalau salat Maghrib diimami dari NU, kalau salat Isya’ diimami dari Muhammadiyyah. Ini salah satu bahasa isyarat saya untuk ngemong mereka, sehingga mereka merasa diuwongke (diorangkan) dan dihormati. Supaya bisa terjalin kondisi yang kondusif dan akrab diantara kita. kalau seperti ini, indah bukan ?
Saat selesai dari kajian, saya tidak langsung pulang, tapi sering saya manfaatkan untuk ngobrol sebentar dengan sebagian tokoh di tempat tersebut. Saya usahakan untuk mendahului menghampiri mereka dengan mengucapkan salam. Dalam bincang-bincang itu, saya sempatkan untuk meminta mereka membantu dakwah saya, meminta nasihat dan arahan, serta menegur saya jika ada hal-hal yang kurang pas. Walaupun akhirnya mereka tidak mau memberi nasihat kepada saya –mungkin karena sungkan-, tapi mereka begitu nyaman sekali, sehingga kita bisa akrab. Padahal, kita memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda dalam beberapa masalah.
Di masjid lain, saya nasihati teman-teman yang masuk di dalam kepengurusan DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) atau takmir masjid, untuk memasukkan dan mengikutsertakan para tokoh di daerah tersebut dalam struktur kepengurusan, walaupun dari ormas atau afiliasi komunitas yang berbeda. Dan –alhamdulillah-, semua berjalan baik. Mereka tidak pernah mempermasalahkan ustadz yang ngisi di masjid mereka, walaupun mereka tahu yang ngisi tidak berafiliasi kepada mereka.
Dalam berdakwah, saat menjelaskan masalah-masalah khilafiyyah, saya usahakan sekali untuk menggunakan bahasa yang sopan, intonasi yang redup (baca : lembut), serta menjahui ungkapan-ungkapan yang akan menyakiti atau menyinggung kelompok tertentu. Saya tidak pernah memaksakan orang lain harus mengikuti pendapat saya. Tapi saya memberi kebebasan dan kelonggaran sesuai pendapat yang mereka yakini.
Dalam dakwah, yang namanya hikmah, menjalin komunikasi, mempelajari latar belakang masyarakat yang menjadi obyek dakwah, menimbang maslahat dan mudharat, serta "permisi" itu, menjadi perkara yang sangat penting. Bahkan tidak kalah penting dari apa yang akan kita sampaikan. Tulisan ini tidak untuk menyudutkan pihak manapun, akan tetapi sekedar berbagai sedikit pengalaman yang mungkin bisa kita ambil manfaatnya. Semoga Allah menjadikan kita sekalian menjadi golongan orang-orang yang menjadi pembuka pintu-pintu kebaikan. Barakallahu fiikum jam’iah.
Abdullah Al Jirani
2 jam ·
#Abdullah Al Jirani