Bolehkah Berqurban Atas Nama Orang Yang Telah Meninggal?

Bolehkah Berqurban Atas Nama Orang Yang Telah Meninggal? - Kajian Medina
BOLEHKAH BERQURBAN ATAS NAMA ORANG YANG TELAH MENINGGAL ?

Oleh : Abdullah Al Jirani

Berqurban atas nama orang yang telah meninggal, memiliki dua keadaan. Pertama, mayit telah mewasiatkan sebelumnya agar sebagian hartanya digunakan untuk berqurban atas nama dirinya. Untuk kondisi ini, para ulama empat madzhab, yaitu Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah sepakat akan bolehnya hal tersebut. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala :

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا

“Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya”. [ QS. An-Nisa’ : 12 ].

Kondisi kedua, mayit tidak pernah mewasiatkan sebelumnya untuk hal itu, akan tetapi murni inisiatif dari kerabat atau ahli warisnya, dimana mereka berqurban dengan harta mereka kemudian di atasnamakan untuk si mayit. Dalam kondisi ini, para ulama berbeda pendapat menjadi dua. Madzhab Jumhur (mayoritas ulama), yaitu Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah, membolehkannya. Dan ini juga merupakan pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah. Sebagian ulama’ Syafi’iyyah yang lain berpendapat tidak boleh, terkecuali kalau diwasiatkan.

Mereka (jumhur) beralasan, bahwa qurban itu termasuk salah satu jenis sedekah. Dan sedekah atas nama mayit, merupakan perkara yang dibolehkan dengan kesepakatan ulama, dan pahalanya akan sampai kepadanya. Dari Aisyah –radhiallahu ‘anha- beliau berkata :

أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا

“Sesungguhnya ada seorang laki-laki berkata : Sesungguhnya ibuku mendadak meninggal dunia ( dalam kondisi tidak sempat berwasiat ). Aku berprasangka, seandainya beliau sempat berbicara, beliau akan sedekah. Maka apakah beliau akan mendapat pahala jika aku bersedekah untuknya ? maka nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab : Ya, maka sedekahlah untuknya”. [ HR. Al-Bukhari : 3/197 dan Muslim : 3/81 dan lafadz di atas lafadz Al-Bukhari ]

Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- (w. 676 H) berkata :

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ أَنَّ الصَّدَقَةَ عَنِ الْمَيِّتِ تَنْفَعُ الْمَيِّتَ وَيَصِلُهُ ثَوَابُهَا وَهُوَ كَذَلِكَ بِإِجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ وَكَذَا أَجْمَعُوا عَلَى وُصُولِ الدُّعَاءِ وَقَضَاءِ الدِّينِ بِالنُّصُوصِ الْوَارِدَةِ فِي الْجَمِيعِ

“Di dalam hadits ini terdapat dalil, sesungguhnya sedekah atas nama mayit itu bermanfaat untuk mayit tersebut , pahalanya akan sampai kepadanya, dan yang demikian itu dengan ijma’ ( kesepakatan ) para ulama’. Demikian juga mereka telah bersepakat akan sampainya do’a dan pelunasan hutang dengan dasar dalil-dalil yang telah datang dalam semua hal ini”. [ Syarh Shahih Muslim : 7/90 ].

Al-Imam Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata :

وَفِي حَدِيثِ الْبَابِ مِنَ الْفَوَائِدِ جَوَازُ الصَّدَقَةِ عَنِ الْمَيِّتِ وَأَنَّ ذَلِكَ يَنْفَعُهُ بِوُصُولِ ثَوَابِ الصَّدَقَةِ إِلَيْهِ وَلَا سِيَّمَا إِنْ كَانَ مِنَ الْوَلَدِ وَهُوَ مُخَصِّصٌ لِعُمُومِ قَوْلِهِ تَعَالَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى وَيَلْتَحِقُ بِالصَّدَقَةِ الْعِتْقُ عَنْهُ عِنْدَ الْجُمْهُورِ خِلَافًا لِلْمَشْهُورِ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ

“Di dalam hadits yang telah disebutkan dalam bab ini terdapat beberapa faidah, ( diantaranya ) : bolehnya sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia. Dan sesungguhnya hal itu akan memberi manfaat baginya dengan sampainya pahala sedekah kepadanya. Terlebih, jika hal itu terjadi dari seorang anak ( kepada orang tuanya ). Hadits ini menjadi mukhashshish ( dalil yang mengkhususkan ) firman Alloh Ta’ala : Dan sesungguhnya manusia tidak akan mendapatkan kecuali apa yang dia usahakan sendiri.”. [ Fathul Bari : 5/309 ].

Dalil lainnya, Nabi ﷺpernah berqurban kambing kibasy. Lalu saat akan menyembelih, berkata berkata :

بِاسْمِ اللهِ، اللهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ، وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ، ثُمَّ ضَحَّى بِهِ

“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah ! terimalah (qurban ini) dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan dari umat Muhammad”. Lalu beliau sembelih qurban tersebut.” [HR. Muslim].

Dalam riwayat ini, Nabi telah menjadikan qurbannya untuk seluruh umat beliau. Padahal dimaklumi bersama, bahwa umat beliau ada atau bahkan banyak yang telah meninggal dunia. Ini menunjukkan, bahwa berqurban untuk mayit merupakan perkara yang dibolehkan.

Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata :

أَمَّا التَضْحِيَّةُ عَنِ الْمَيِّتِ، فَقَدَ أَطْلَقَ أَبُوْ الْحَسَنِ العَبَّادِيُّ جَوَازَهَا؛ لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنَ الصَّدَقَةِ، وَالصَّدَقَةُ تَصِحُّ عَنِ الْمَيِّتُ وَتَنْفَعُهُ وَتَصِلُ إِلَيْهِ بِالإِجْمَاعِ. وَقَالَ صَاحِبُ "العدة" وَاْلبَغَوِيُّ: لاَ تَصِحُّ التَضْحِيَّةُ عَنِ الْمَيِّتِ إِلاَ أَنْ يُوْصِيَ بِهَا، وَبِهِ قَطَعَ الرَافِعِيُّ

“Adapun berqurban atas nama mayit, maka Abul Hasan Al-Abbadi telah membolehkannya secara mutlak. Karena hal itu termasuk dari bentuk/jenis sedekah. Sedekah atas nama mayit merupakan perkara yang sah, bermanfaat dan pahalanya akan sampai kepadanya dengan dasar Ijma’. Adapun shahibul ‘Udah dan Al-Baghawi menyatakan : Tidak sah atas nama mayit, kecuali diwasiatkan hal itu. Pendapat ini telah dipastikan oleh Ar-Rafi’i.” [Al-majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 8/380].

Pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah yang membolehkan berqurban atas nama mayit walaupun tidak diwasiatkan sebelumnya, merupakan pendapat yang sangat layak dipilih. Karena walaupun kurang mu’tamad, akan tetapi sesuai dengan pendapat mayoritas ulama dari tiga madzhab besar (Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah). Kaidahnya, pendapatnya mayoritas ulama itu secara garis besar di atas kebenaran. Dan pendapat inilah yang kami pilih dengan tiga alasan : (1). Tidak keluar dari madzhab Syafi’i, karena telah dibolehkan oleh sebagian ulama Syafi’iyyah, diantaranya Al-'Abbady dan An-Nawawi, (2). Mencocoki pendapat mayoritas ulama, (3). Berjalan di atas qiyas (analogi) yang shahih.

Wallahu a’lam

Abdullah Al Jirani
17 Juli pukul 13.27 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.