Perbedaan hasil ijtihad, bukan hanya dalam urusan hukum halal dan haram saja, namun juga terjadi dalam hal sikap kepada pelaku dosa dan bidáh.
Sebagai contoh Imam Syafii berguru kepada Ibrqahim bin Muhammad bin Abi Yahya Al Aslami, yang sering kali beliau sembunyikan namanya, dan diganti dengan inisial berikut:
أخبرني من لا أتهم
Seorang lelaki yang tidak aku ragukan, telah menyampaikan kabar kepadaku.
Padahal lelaki ini oleh ulama' lain dikritisi hambis habisan, baik dalam hal idiologinya sebagai seorang qadariyah, sekaligus syiáh, maupun dalam hal periwayatan hadits sebagai seorang pendusta alias diduga kuat memalsukan hadits.
Perbedaan sikap ini tidak menyebabkan Imam Syafii diragukan akan manhajnya apalagi sampai diusir dari rumah besar ahlissunnah.
Mengapa ini bisa terjadi?
Karena Imam manhaj Imam Syafii jelas, yaitu berpegang teguh dengan Al Qurán dan As Sunnah, dengan metode pemahaman yang dapat dipertanggung jawabkan, alias sejalan dengan metode para ulama' yang telah mendahului beliau.
Adapun periwayatan dari guru beliau ini ternyata tidak mempengaruhi metodologi beliau, atau idiologi beliau.
Lebih rinci Imam Ibnu Hibban menceritakan historikalnya, dengan berkata: Dahulu pada awal Imaqm Syafii menuntut ilmu, beliau menuntut ilmu kepada Ibnu Abi Yahya, dan beliau hafal banyak riwayat darinya. Tatkala Imam Syafii telah berpindah dari negri Iraq ke negri Mesir, yaitu pada akhir masa kehidupan beliau, kemudian beliau mulai membukukan ulang ilmu ilmunya, sehingga beliau membutuhkan banyak data (dalil) sedangkan kala itu beliau tidak membawa serta kitab kitab rujukan yang beliau miliki. Akibatnya, mayoritas ilmu dan data yang beliau tuliskan dalam karya karyanya (di periode Mesir ini) bersumberkan dari hafalannya. Karena itu kadang kala beliau tidak menyebut nama Muhammad bin Abi Yahya secara tegas, namun menyebut inisialnya. (Siyar Aálam An Nubala'8/453)
Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ánhu juga pernah mendatangi kaum Khowarij, untuk berdiskusi sehingga banyak dari mereka yang akhirnya bertaubat. Sedangkan sahabat Ali bin Abi Thalib yang lebih senior dibanding beliau, karena satu alasan tidak melakukannya.
Bahkan semula sahabat Ali Mengawatir tindakan sahabat Ibnu Abbas mendatangi mereka dapat berakibat fatal pada diri beliau baik dalam hal keselamatan diri beliau atau lainnya.
Sahabat Ali berkata: Aku mengawatirkan dirimu.
Sahabat Ibnu Abbas menjawab: Tidak ada yang perlu dikawatirkan (kekawatiranmu tidak akan terjadi).
Walau sahabat Ibnu Abbas mendatangi orang orang sesat; yaitu kaum Khawarij, namun tidak seorang pun yang sewot atau menilai negatif sikap sahabat Ibnu Abbas, bahkan semua ulama' mengapresiasinya.
Dua kasus di atas tentu berbeda dengan sikap sebagian orang yang kurang bercermin dengan kapasitas dirinya lalu ceroboh berguru atau bersahabat dengan ahlul bidáh atau pelaku kemaksiatan lainnya, akibatnya perguruan atau persahabatan itu merusak idiologi dan pemahaman agamanya, atau minimal perilakunya.
Para ulama' zaman ini, semisal Syeikh Ibnu Baz, Shaleh Fauzan, Baker Abu Zaid dan lainnya juga menjadi anggota Al Majma' Al Fiqhi (Lembaga Fiqih International) baik yang dibawah OKI maupun Rabithah Alam Islami (Muslim World League), padahal anggotanya beraneka ragam, termasuk Syeikh Yusuf Al Qardhawi dll.
Tiga kasus di atas sekedar contoh, bahwa perbedaan sikap dalam menghadapi ahlul bidáh atau orang yang berbeda pemahaman, tidak serta merta menjadi "dosa tak terampunkan", sampai dikaji latar belakang atau alasannya, hasilnya, dan juga hal lain yang terkait dengannya.
Jadi kalau manhaj diartikan : asal beda hasil kajian, sehingga anda berkata haram, saya berpendapat halal, atau berbeda sikap, sehingga anda memilih menjauh dan membuagnya ke sampah, sedangkan saya memilih sikap yang berbeda, lalu tanpa dikaji alasan atau hasilnya, langsung ada pengusiran, tuduhan, vonis, dan peluncuran rudal balistik antar benua, maka metodologi ini patut dicurigai sebagai manhaj yang sejalan dengan nafsu anda, namun kurang sejalan dengan dalil dan nalar sehat.
Semoga mencerahkan.
Dr Muhammad Arifin Badri
17 Juni pukul 10.38 ·
#Dr Muhammad Arifin Badri