Oleh : Abdullah Al Jirani
Beberapa waktu yang lalu, kami kedatangan tamu, rombongan bapak-bapak dari Sumatra Barat. Mereka merupakan orang tua dari beberapa orang yang dulu pernah menjadi murid kami di pesantren. Saat adzan Ashar tiba, kami ajak mereka untuk ke masjid milik teman-teman dari komunitas tertentu. Ketika masuk masjid, mereka merasa aneh, seraya bertanya : “Ini masjid, ustadz ?”. Kami jawab :”Ya. Memang kenapa, pak ?”. “Seperti rumah biasa. Tidak ada cirri-ciri khas masjid, seperti mihrab, kubah, menara dll.”
Lalu kamipun menjelaskan, bahwa sebagian teman-teman berpendapat, bahwa mihrab masjid itu bid’ah. Makanya masjid-masjid mereka biasanya tidak pakai mihrab. Rombongan tamu kamipun mengangguk ‘setengah heran’ dengan apa yang kami sampaikan. Persoalannya sekarang, benarkan bahwa mihrab bid’ah ?
Mihrab secara bahasa :
الْغُرْفَةُ، وَصَدْرُ الْبَيْتِ وَأَكْرَمُ مَوَاضِعِهِ، وَمَقَامُ الإْمَامِ مِنَ الْمَسْجِدِ، وَالْمَوْضِعُ يَنْفَرِدُ بِهِ الْمَلِكُ فَيَتَبَاعَدُ عَنِ النَّاسِ، وَالأْجَمَةُ، وَعُنُقُ الدَّابَّةِ
“Berma’na kamar, depan rumah, tempat yang paling mulia, tempat imam di masjid, tempat seorang yang raja yang dia gunakan untuk bersendiri dari manusia, sarang harimau, dan leher onta”.
Adapun ma’na mihrob dalam istilah para fuqoha’ adalah :
مَقَامُ الإْمَامِ فِي الصَّلاَةِ، وَالْجِهَةُ الَّتِي يُصَلِّي نَحْوَهَا الْمُسْلِمُونَ
“Tempat imam dalam sholat dan arah yang kaum muslimin menghadapkan diri kepadanya”. [ Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah : 36/194 ]
Hukum mihrab minimal boleh bahkan menurut sebagian ulama’ mustahab. Ini merupakan pendapat dari jumhur ulama’ ( mayoritas ulama’ ) dari madzhab Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i.
Adapun alasan mereka adalah sebagai berikut :
Pertama :
Mihrob termasuk masalah duniawi saja dan bukan termasuk bagian dari masalah ibadah. Ada suatu kaidah : “Bahwa asal masalah dunia itu adalah mubah ( boleh ) kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
Ketiadaan mihrob di zaman Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam –, tidaklah serta-merta menjadikannya sebagai perkara bid’ah. Karena masalah ini masalah duniawi yang memang tidak membutuhkan contoh dari Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam -. Masalah mihrob hanyalah sebatas masalah corak/desain bangunan saja yang kemudian difungsikan untuk suatu keperluan tertentu. Sebagaiman kubah ataupun menara masjid.
Bahkan Rosulullah – shollallalhu ‘alaihi wa sallam – menyerahkan urusan dunia itu kepada umatnya. Beliau – shollallau ‘alaihi wa sallam – bersabda :
« أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ »
“Kalian lebih tahu tentang masalah dunia kalian” [ HR. Muslim : 2362 dari sahabat Anas bin Malik –rodhiallahu ‘anhu - ]
Lain halnya jika suatu perkara itu termasuk masalah ibadah. Maka harus ada contohnya dari Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam -. Karena masalah ibadah itu hukum asalnya haram, sampai ada dalil yang membolehkannya.
Kedua :
Menjadikan mihrob di masjid termasuk masalah mashalihul mursalah. Ma’na mashalihul mursalah adalah :
المصلحة التي لم يشرع الشارع حكما لتحقيقها، ولم يدل دليل شرعي على اعتبارها أو إلغائها ، وسميت مطلقة لأنها لم تقيد بدليل اعتبار أو دليل إلغاء .
“Suatu kemashlahatan yang Pembuat Syari’at ( Alloh ) belum mensyari’atkan suatu hukum untuk meralisasikannya dan belum ditunjukkan oleh suatu dalil syar’i ( secara khusus ) untuk menganggapnya atau membatalkannya. Dinamakan mutlaqoh ( lepas ) karena hal itu tidak ada dalil yang membatasi yang menganggapnya dan yang membatalkannya”.[ Ilmu Ushul Fiqh – Abdul Wahhab Khollaf : 84 – setelahnya ]
Dijadikannya mihrob pada sebuah masjid untuk penunjuk arah kiblat. Dan hal ini termasuk salah satu kemashlahatan yang diinginkan darinya. Sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh para imam dan fuqoha’.
Sebagaimana ketika Al-Imam Ahmad bin Hambal ditanya : “Apakah anda memakruhkan mihrob ?”. Maka beliau menjawab :
ما أعلم فيه حديثاً يثبت، ورب مسجد يحتاج إليه يرتفق به
“Aku tidak mengetahui adanya hadits yang shohih dalam masalah ini. Terkadang masjid membutuhkannya sebagai penuntuk arah kiblat”.[ Masail Al-Imam Ahmad wa Ishaq bin Rohawaih : 2/605 karya Ishaq bin Manshur Al-Kausaj wafat : 215 H ]
Tidak ada dalil yang shohih dan shorih yang melarang ataupun mensyari’atkan mihrob secara khusus. Akan tetapi, secara umum telah ada dalil yang menunjukkan akan hal ini. Alloh Ta’ala telah memerintahkan kita untuk menghadap kiblat ketika akan menunaikan sholat. Demikian juga nabi kita Muhammad – shollallahu ‘alaihi wa sallam -.
Alloh Ta’ala berfirman :
فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الحَرَامِ
“Hadapkanlah wajah-wajah kalian ke arah masjid Haram”.
Secara tidak langsung, perintah Alloh kepada kaum muslimin untuk menghadap kiblat ketika sholat, terkandung di dalamnya perintah untuk menentukan arah kiblat dengan benar dengan berbagai fasilitas ataupun indikasi yang bisa membantu hal tersebut.
Diantara contoh fasilitas ataupun indikasi yang bisa digunakan untuk membantu penentuan arah kiblat misalnya kompas, matahari, petunjuk arah dan termasuk di dalamnya mihrob. Contoh yang kami sebutkan sebagiannya tidak terdapat pada jaman Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam -. Akan tetapi kita tidak akan menyatakan bahwa hal itu adalah bid’ah/haram.
Berikut ini akan kami bawakan beberapa fatwa ulama’ dalam masalah ini sebagai penguat terhadap pendapat yang menyatakan bahwa mihrob minimal mubah atau bahkan mustahab.
Asy-syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz – rohimahullah – pernah ditanya tentang masalah ini :
السؤال الأول من الفتوى رقم (5614)
س1: المحراب في المسجد هل كان على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم؟
ج1: لم يزل المسلمون يعملون المحاريب في المساجد في القرون المفضلة وما بعدها؛ لما في ذلك من المصلحة العامة للمسلمين، ومن ذلك بيان القبلة وإيضاح أن المكان مسجد. وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو ... نائب رئيس اللجنة ... الرئيس
عبد الله بن غديان ... عبد الرزاق عفيفي ... عبد العزيز بن عبد الله بن باز
Pertanyaan pertama dari fatwa no : 5614
Soal :
Mihrob-mihrob yang ada di masjid, apakah telah ada pada zaman Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam - ?
Jawab :
Kaum muslimin senantiasa mengamalkan mihrob-mihrob di masjid-masjid pada kurun-kurun yang diutamakan [ kurun sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in ] dan yang setelahnya karena di dalamnya terdapat kemashlahatan yang bersifat umum bagi kaum muslimin. Diantara manfaat tersebut adalah sebagai penunjuk arah kiblat dan keterangan bahwa tempat itu adalah masjid. Wa billahit taufiq wa shallahu ‘ala nabiyyina muhammad wa alihi wa shohbihi wa sallam.
Lajnah Daimah Lilbuhuts Ilmiyyah Wal Ifta’ [ komite Tetap untuk urusan pembahasan ilmiyyah dan fatwa ]
Ketua : Abdul Aziz bin Baz - Wakil ketua : Abdur-Rozaq Afifi - Anggota : Abdullah bin Ghodayan
Dikesempatan lain beliau juga ditanya :
س: هل المحراب بدعة في المسجد أم لا (1)؟
ج: ليس المحراب بدعة، بل فعله السلف الصالح من آخر القرن الأول إلى يومنا هذا، وفيه فوائد منها: توضيح أن هذا مسجد يوضح القبلة يستفيد منه الناس في معرفة القبلة، وقد يحتاج إليه في زيادة صف إذا دخل فيه
Soal : Apakah mihrob-mihrob di masjid termasuk perkara bid’ah atau tidak ?
Jawab : Mihrob-mihrob tersebut tidak termasuk perkara bid’ah. Bahkan para salaf sholih telah melakukannya dari mulai akhir kurun pertama sampai sekarang ini. Dan di dalamnya terdapat beberapa faidah, diantaranya : penjelasan sesungguhnya tempat ini adalah masjid, penjelaskan arah kiblat dimana manusia bisa mengambil faidah darinya dalam menentukan arah kiblat, dan terkadang dibutuhkan untuk menambah shoff jika ( imam masuk ) ke dalamnya.
[ Fatawa Nur ‘ala Darb : 11/357 ]
Telah diajukan pertanyaan kepada asy-syaikh Al-Allamah Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin – rohimahullah - :
326 وسئل فضيلته: عن حكم اتخاذ المحاريب في المساجد؟ وما الجواب عما روي من النهي عن مذابح كمذابح النصارى؟
فأجاب بقوله: اختلف العلماء - رحمهم الله _ في اتخاذ المحراب هل هو سنة، أو مستحب، أو مباح؟
والذي أرى أن اتخاذ المحاريب مباح، وهذا هـ المشهود من المذهب ولو قيل باستحبابه لغيره لما فيه من المصالح الكثيرة، ومنها تعليم الجاهل القبلة لكان حسناً.وأما ما روي عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((النهي عن مذابح كمذابح النصارى)) (1) أي: المحاريب، فهذا النهي وارد على ما إذا اتخذت محاريب كمحاريب النصارى، أما إذا اتخذت محاريب متميزة للمسلمين فإن هذا لا ينهى عنه.
Soal : Beliau ditanya tentang hukum membuat mihrob untuk masjid-masjid ? dan apa jawaban terhadap apa yang diriwayatkan dari larangan ( Rosulullah - shollallahu ‘alaihi wa sallam – dari madzabih ( mihrob ) seperti mihrob Nashrani ?
Jawab :
Para ulama’ telah berselisih pendapat tentang menjadikan mihrob untuk masjid, apakah sunnah, mustahad atau mubah ? Aku berpendapat sesungguhnya mengambil mihrob-mihrob adalah termasuk poerkara yang mubah ( boleh ). Ini adalah pendapat yang masyhur dari madzhab ( Hambali ). Seandainya di katakan mustahab menurut madzhab selainnya, karena di dalamnya terdapat banyak kebaikan diantaranya sebagai bentuk pemberitahuan terhadap orang yang jahil ( tidak tahu ) akan arah kiblat, maka sungguh ini perkara yang baik. Adapun apa yang diriwayatkan dari Nabi- shollallahu ‘alaihi wa sallam - : “Beliau telah melarang dari madzabih sebagaimana madzabih orang-orang nashrani”, arti ( madzabih ) di sini adalah mihrob-mihrob. Larangan ini datang terhadap apa pengambilan mihrob-mihrob yang menyerupai mihrob-mihrob orang-orang nashrani. Adapun apabila mihrob-mihorb itu diambil dalam bentuk yang merupakan ciri khas kaum muslimin, maka ini tidak dilarang”.
[ Majmu’ Fatawa Wa Rosail : 12/412 ].
Tanggapan terhadap pendalilan sebagian ulama’ yang mengharamkan atau menbid’ahkan mihrob.
Sebagian ulama’ belakangan menyatakan, bahwa mihorb masjid termasuk perkara yang haram atau bid’ah, mereka berdalil dengan dengan beberapa pendalilan, diantaranya :
اتَّقُوا هَذِهِ المَذَابِحَ
“Takutlah kalian dari madzabih ini “
Maksudnya madzabih dalam hadits di atas adalah mihrob-mihrob.
Pendalilan ini kami jawab sebagai berikut :
Hadits di atas hadits yang dhoif ( lemah ). Telah diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam “Al-Kubro” : [ 2/439 ]. Akan tetapi dalam sanadnya terjadi inqitho ( keterputusan ) pada dua tempat. Pertama : Ibnu Abjar Abdul Malik bin Sa’id bin Hibban dari Nu’aim bin Abi Hind. Kedua : Nu’aim bin Abi Hind dari Salim bin Abi Al-Ja’d. Kami katakan tidak mendengar , karena tidak ada seorangpun imam yang menetapkan periwayatan keduanya.
Seandainya hadits-hadits di atas shohih, maka yang dimaksud dengan kata “mihrab” dalam hadits di atas adalah “bagian depan majelis”, bukan mihrab tempat imam shalat. Hal ini telah dijelaskan oleh Imam Al-Haitsami –rahimahullah- (w. 807) beliau berkata :
الْمَحَارِيبُ صُدُورُ الْمَجَالِسِ
“Al-Maharib adalah bagian depan mejelis.” [ Majma’ Az-Zawaid : 8/60 ].
Imam Ibnu Atsir –rahimahullah- (w.606 H) berkata :
المِحْرَابُ: المَوْضع العَالي المُشْرِفُ، وهُو صَدْر المَجْلس أَيْضًا
“Mihrab adalah tempat yang tinggi yang dimuliakan. Dan ia merupakan bagian depan mejelis juga.” [ An-Nihayah fi Gharibil Hadits : 1/359 ].
Imam Al-Munawi –rahimahullah- mengkritik Imam As-Suyuthi –rahimahullah- yang berpendapat bahwa mihrab bid’ah dengan mendasarkan pendapatnya kepada hadits yang telah disebutkan di atas :
وهذا بناء منه على ما فهمه من لفظ الحديث أن مراده بالمحراب ليس إلا ما هو المتعارف في المسجد الآن ولا كذلك فإن الإمام الشهير المعروف أي بابن الأثير قد نص على أن المراد بالمحاريب في الحديث صدور المجالس ومنه حديث أنس كان يكره المحاريب أي لم يكن يحب أن يجلس في صدور المجالس ويرتفع على الناس انتهى. واقتفاه في ذلك جمع جازمين به ولم يحكوا خلافه منهم الحافظ الهيتمي وغيره
“Ini (pendapat As-Suyuthi) dibangun di atas apa yang dia pahami dari lafadz hadits, bahwa yang dimaukan dengan mihrab tidak ada makna lain kecuali mihrab masjid yang telah dikenal sekarang ini. Tidak seperti yang dia katakana. Karena Imam yang sangat masyhur yang dikenal dengan Ibnu Atsir telah menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan mihrab di dalam hadits adalah bagian depan majelis. Contoh untuk hal ini, hadits “Anas dimana beliau benci al-maharib”, artinya : “beliau tidak suka untuk duduk di bagian depan majelis dan kelihatan tinggi di atas manusia”. Dan hal ini telah diikuti oleh sekelompok ulama’ yang telah ikut memastikan makna ini dan mereka tidak pernah menghikayatkan hal yang menyelisihinya. Diantara mereka, adalah Al-Hafidz Al-Haitami dan selain beliau…” [Faidhul Qadir : 1/144].
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dalam “Al-Mushonnaf” [ 1/509 ] dari Abu Musa Al-Juhani, Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda :
لا تزال هذه الأمة – أو قال : أمتي – بخير ما لم يتخذوا في مساجدهم مذابح كمذابح النصارى
“Umat ini – atau umatku – senantiasa dalam kebaikan selama tidak madzabih ( mihrob ) di masjid-masjid mereka sebagaiman madzabih nashrani”.
Hadits ini juga lemah. Karena Abu Isro’il Isma’il bin Kholifah dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam “At-Taqrib” : Shoduq sayyi’ul hifdzi ( jujur tapi jelek hafalannya ). Kemudian Musa Al-Juhani walaupun seorang yang tsiqoh ( kepercayaan ), akan tetapi dia meriwayatkan dari tabi’in. maka haditsnya di sini tergolong hadits yang mu’dhol.
Seandainya shahih, maka “mihrab” yang dilarang dalam hadits ini, adalah “mihrab” yang menyerupai dengan “mihrab orang-orang Nashrani”. Sehingga larangan di sini bersifat muqayyad (terbatas dalam sifat/bentuk tertentu), bukan bersifat mutlak.
Semoga bermanfaat.
Abdullah Al Jirani
21 Juni 2018 ·
#Abdullah Al Jirani