Oleh : Abdullah Al Jirani
Tidak semua yang dilakukan oleh nabi menjadi perkara yang dianjurkan untuk kita lakukan. Slogan “semua yang dilakukan nabi berarti hukumnya sunah”, atau “segala sesuatu yang tidak dilakukan oleh nabi berarti hukumnya bid’ah”, merupakan kalimat umum yang masih perlu untuk diperinci. Tidak bisa dipukul rata atau dipahami secara mutlak.
Sebagai contoh, masalah mencium istri di siang hari bulan Ramadan bagi yang sedang berpuasa. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mencium istrinya, Aisyah –radhiallahu ‘anha- di siang hari bulan Ramadan. Hal ini dituturkan oleh Aisyah –radhiallahu ‘anha- sendiri, dimana beliau berkata :
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُنِي وَهُوَ صَائِمٌ، وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ، كَمَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْلِكُ إِرْبَهُ؟
“Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menciumku dalam kondisi beliau sedang puasa. Maka siapakah diantara kailan yang bisa mengendalikan hajatnya (maksudnya hasrat jimak), sebagaimana Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengendalikan hajatnya ?”. [HR. Muslim : 1160].
Jika kita hanya berhenti sampai di sini, kemudian menerapkan slogan “semua yang dilakukan nabi berarti hukumnya sunah, maka kita akan sampai kepada kesimpulan bahwa mencium istri di siang hari bulan Ramadan hukumnya sunnah secara mutlak. Kesimpulan ini akan kita dapatkan jika kita membaca kalimat awalnya saja. Namun jika kita juga membaca kalimat akhirnya, tidak demikian adanya. Karena kalimat akhirnya menjadi illat (sebab) terbangunnya hukum dalam masalah ini.
Jika seorang tidak akan tergerak syahwatnya dengan mencium istrinya, maka boleh. Akan tetapi jika meninggalkan maka hal itu lebih utama karena dia terjaga dari hal-hal yang akan membatalkan puasanya. Namun jika seorang tergerak syahwatnya dengan hal itu, maka yang shahih (benar) hukumnya HARAM menurut para ulama’ Syafi’iyyah. Karena jika syahwatnya tergerak, maka akan menjadi wasilah (perantara) kepada perkara yang haram seperti jimak atau keluar mani dengan sengaja. Dalam suatu kaidah disebutkan “Wasilah (perantara) memiliki hukum tujuan”. Perkara yang akan menjadi sebab terjadinya perkara haram, maka hukumnya juga haram.
Imam An-Nawawi –rahimahullah- (wafat : 676 H) menyatakan :
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ الْقُبْلَةُ فِي الصَّوْمِ لَيْسَتْ مُحَرَّمَةً عَلَى مَنْ لَمْ تُحَرِّكْ شَهْوَتَهُ لَكِنَ الْأَوْلَى لَهُ تَرْكُهَا...وَأَمَّا مَنْ حَرَّكَتْ شَهْوَتَهُ فَهِيَ حَرَامٌ فِي حَقِّهِ عَلَى الْأَصَحِّ عِنْدَ أَصْحَابِنَا
“Imam Asy-Syafi’i dan para ulama’ Syafi’iyyah menyatakan, bahwa mencium (istri) saat puasa bukan termasuk perkara yang haram bagi seorang yang syahwatnya tidak tergerak (dengan hal itu). Akan tetapi lebih utama untuk meninggalkannya...Adapun seorang yang tergerak syahwatnya (dengan hal itu), maka hukumnya haram bagi dirinya menurut pendapat yang paling shahih di sisi para ulama’ kami (Syafi’iyyah).” [ Syarah Shahih Muslim” : 7/215 ]
Jika sekedar mencium istri dengan adanya gerakan syahwat saja hukumnya haram, maka yang lebih dari sekedar mencium (maksudnya,bercumbu dan bumbu-bumbunya), maka keharamannya lebih kaut lagi. Karena seorang yang mencumbui istrinya, dapat dipastikan syahwatnya tergerak. Demikian semoga bermanfaat. Barakallahu fiikum.
Abdullah Al Jirani
21 April pukul 14.26 ·
#Abdullah Al Jirani