Kafarat Jimak Di Siang Hari Bulan Ramadhan

Kafarat Jimak Di Siang Hari Bulan Ramadhan - Kajian Medina
KAFARAT JIMAK DI SIANG HARI BULAN RAMADAN, BERLAKU UNTUK SUAMI DAN ISTRI , ATAU BAGI SUAMI SAJA ?

Oleh : Abdullah Al Jirani

Seorang suami yang menyetubuhi istrinya di siang hari bulan Ramadan secara sengaja dan tahu akan keharamannya, maka ia telah menjatuhkan dirinya ke dalam dosa yang sangat besar. Otomatis puasa keduanya batal dan wajib untuk mengqadha’nya (menggantinya) di waktu yang lain. Adapun kafaratnya (tebusannya), hanya wajib bagi suami saja, istri tidak. Ini merupakan pendapat yang shahih dalam madzhab Syafi’i dan madzhab Hambali. Bentuk kafaratnya adalah : (1). Memerdekakan budak, kalau tidak mampu, (2). Puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak mampu, (3). Memberi makan kepada enam puluh orang fakir miskin dengan kadar satu mud untuk setiap orangnya ( kurang lebih : 600 gram ).

Imam An-Nawawi –rahimahullah- (wafat : 676 H) berkata :

قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الصَّحِيحَ مِنْ مَذْهَبِنَا أَنَّهُ لَا يَجِبُ عَلَى الْمَرْأَةِ كَفَّارَةٌ أُخْرَى وَبِهِ قَالَ أَحْمَدُ

“Telah kami sebutkan, sesungguhnya yang shahih (yang benar) dari madzhab kami (Syafi’iyyah) bahwa istri tidak wajib mengeluarkan tebusan lain. Dan ini merupakan pendapat imam Ahmad.” [ Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 6/345 ].

Ucapan beliau : “Istri tidak wajib mengeluarkan tebusan lain “,artinya : Istri cukup mengqadha’ puasanya saja, adapun membayar kafarat, maka tidak. Hal ini dipertegas oleh imam Asy-Syirbini Asy-Syafi’i –rahimahullah – (wafat : 977 H) dalam kitab beliau “Al-Iqna’ fi Hilli Al-Fadzi Abi Syuja’ “ : (1/240) :

(فَعَلَيهِ) وعَلى الْمَوْطُوءَة المكلفة (الْقَضَاء) لإفساد صومهما بِالْجِمَاعِ (و) عَلَيْهِ وَحده (الْكَفَّارَة) دونهَا

“(Maka wajib bagi yang menjimaki/suami) dan yang dijimaki/istri yang mukallaf untuk mengadha’ (mengganti puasanya) karena puasa keduanya telah rusak dengan jimak, dan wajib bagi suami saja untuk membayar (kafarah/tebusan), tanpa istri.” – selesai penukilan –

Dasarnya, sebuah hadis dari sahabat Abu Hurairah –radhiallahu ‘anhu- beliau berkata :

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: هَلَكْتُ، يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ: «وَمَا أَهْلَكَكَ؟» قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ، قَالَ: «هَلْ تَجِدُ مَا تُعْتِقُ رَقَبَةً؟» قَالَ: لَا، قَالَ: «فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟» قَالَ: لَا، قَالَ: «فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟» قَالَ: لَا، قَالَ: ثُمَّ جَلَسَ، فَأُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ، فَقَالَ: «تَصَدَّقْ بِهَذَا» قَالَ: أَفْقَرَ مِنَّا؟ فَمَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا، فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: «اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ»

“Ada seorang laki-laki mendatangi Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- seraya berkata : “Wahai Rasulullah, celaka aku !”. Nabi bertanya : “Apa yang membuat kamu celaka?”. Laki-laki itu menjawab : “Aku telah menjimaki istriku di siang hari bulan Ramadan.” Nabi : “Apakah kamu punya budak untuk dimerdekakan ? Laki-laki : “Tidak.” Nabi : “Apakah kamu mampu puasa dua bulan berturut-turut ?” Laki-laki : “Tidak”. Nabi : “Apakah kamu mampu untuk memberi makan enam puluh orang fakir miskin ?”. Laki-laki : “Tidak”. Kemudian nabi duduk, lalu didatangkan satu karung kurma kepada beliau, seraya berkata : “Sedekahkan ini.” Laki-laki : “Apakah ada yang lebih fakir dari aku ?” Tidak ada di kota Madinah ini sebuah keluarga yang lebih membutuhkan kepada sedekah ini dari saya.” Maka nabi tertawa sampai kelihatan sisi serinya, lalu berkata : “Pergilah ! dan beri makan keluargamu dengannya.” [HR. Al-Bukhari : 1936 dan Muslim : 1111].

Dalam hadits di atas, Nabi ﷺ tidak memerintahkan istri laki-laki tersebut untuk membayar kafarat. Jika memang wajib, tentu moment tersebut tidak akan disia-siakan oleh nabi untuk menjelaskannya. Karena masalah ini masalah yang sangat penting. Jika tidak dijelaskan, maka hal ini menunjukkan bahwa yang wajib membayar kafarat hanyalah suami.

Adapun illat (sebab) tidak diwajibkannya istri untuk membayar kafarat dalam hal ini, telah disebutkan di dalam kitab “Al-qna’” (1/240) ada dua :

1). Karena sudah berkurangnya kesempatan puasa bagi seorang wanita disebabkan hal-hal yang menghalanginya seperti haid dan yang semisalnya.
2). Kafarat di sini merupakan denda yang berupa harta yang berkaitan dengan jimak, sebagaimana mahar (mas kawin) yang hanya wajib bagi laki-laki saja.

Demikian pembahasan kali ini. semoga bermanfaat dan bisa menambah wawasan keilmuan kita. Al-Hamdulillah Rabbil ‘alamin. Wallahu a’lam.

7 Ramadan 1440
------
Faidah :

Seorang yang saat itu belum mampu untuk membayar kafarat dengan memberi makan enam puluh orang fakir miskin, tetap wajib pada tanggungannya sampai nanti ada kelonggaran, alias tidak gugur. Adapun kasus di dalam hadis di atas sifatnya “Qadhiyyatul ‘ain” (suatu kejadian yang menimpa orang tertentu), hukumnya khusus untuk laki-laki yang disebutkan dalam kisah tersebut, tanpa berlaku untuk semua orang. Demikian dinyatakan oleh Imam An-Nawawi –rahimahullah- dalam “Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab”.

Abdullah Al Jirani
12 Mei pukul 05.06 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.