1. Yang dibolehkan untuk berbeda pendapat hanyalah mereka yang sudah pakar dalam ilmu fiqih, yaitu kelasnya para mujtahid di masing-masing mazhab. Kalau kita-kita yang awam, tugasnya cuma mempelajari saja dan mengerjakan saja. Bukan pakarnya kok sok membahas dan adu argumen?
2. Para mujtahid pun ketika berbeda pendapat, hanya di wilayah furu'iyah saja. Maksudnya hanya pada saat dalil nashnya multi tafsir, atau justru tidak ada sama sekali, atau ada perbedaan dalam keshahihannya.
Sedangkan bila para mujtahid sudah ijma', maka diskusinya sudah ditutup, tidak boleh dipersoalkan lagi. Maka ilmu tentang ijma' sangat penting. Jangan pernah ngaku-ngaku jadi ulama atau sok beri fatwa kalau belum kuasai ilmu tentang ijma'.
3. Para mujtahid ketika mereka berbeda pendapat, masih tetap berkelas. Mereka saling menghormati, santun, jaga muru'ah, tidak mulut, jaga hati, jaga perasaan, jaga sikap dan tidak merasa diri paling benar.
Sikap mereka ini bisa dijadikan salah satu cara kita untuk menakar kedangkalan orang yang ilmunya NOL BESAR. Biasanya yang kayak gitu kelakuannya tidak mencerminkan keilmuannya.
Ahmad Sarwat, Lc.MA
Ahmad Sarwat
12 Mei pukul 08.17 ·
#Ahmad Sarwat