Belajar Agama Formal

Belajar Agama Formal - Kajian Medina
Belajar Agama Formal

Saya kadang suka membandingkan proses belajar agama lewat pengajian secara tidak formal dengan kuliah syariah formal yang saya alami sendiri.

Dalam pengajian yang biasanya digelar seminggu sekali itu, saya merasakan kok terlalu lambat bisa dapat ilmunya. Hanya seminggu sekali, itu pun hanya 1 jam saja, setelah itu libur selama 7 hari lagi.

Coba dibandingkan dengan sistem kuliah. Misalnya waktu di LIPIA dulu, dalam sehari kita belajar 5 sesi dengan nama mata kuliah yang berbeda-beda. Waktunya amat efektif, yaitu sejak jam 07.00 hingga jam 12.00. Dari hari Senin sampai hari Jumat, 5 hari dalam seminggu.

Kalau dijumlahkan, sama saja dalam seminggu saya hadir di 25 pengajian yang berbeda. Itu baru dari ukuran alokasi waktunya.

Belum lagi kalau bicara nara sumber. Pengajian yang sering kita hadiri ini seringkali nara sumbernya tidak jelas kapasitas dan keahliannya. Boleh jadi cuma lulusan fakultas tehnik, kimia, biologi atau matematika, bahkan sastra. Tidak pernah belajar ilmu-ilmu keislaman secara formal. Tidak pernah kenal dengan kitab para ulama. Tidak kenal fiqih, ushul fiqih, tafsir, musthalah hadits, bahkan nahhu sharaf pun awam sekali.

Tapi karena pandai ceramah, pinter ngelawak yang bisa bikin orang terbahak, lalu terampil bermain kata, dalam renungan suka bikin orang nangis-nangis, atau pandai berorasi sehingga hadirin teriak-teriak takbiran, maka jadilah dia nara sumber pengajian kondang yang laris manis diundang kemana-mana.

Diundang kemana-mana layaknya guru besar dan profesor ilmu agama kawakan. Padahal kapasitasnya hanya artis panggung pengajian saja. Jamaah sebenarnya tidak dapat gizi ilmu apa-apa, selain terhibur saja. JAdilah pengajian ini sekedar panggung hiburan yang positif. Sebatas itu saja.

Sedangkan dalam kuliah, tidak boleh ada dosen yang gelarnya baru S1, minimal S2 dna idealnya S3. Meski bukan jaminan, tetapi begitu lah kita memformat sistem pendidikan. Dosen dengan latar belakang pendidikan S3 di bidang Tafsir, mengajar di kelas S1 mata kuliah Tafsir. Dosen S3 di bidang Syariah, mengajar di S1 mata kuliah Fiqih. Dan begitu seterusnya.

Semua ada silabusnya, ada kurikulumnya, ada buku dan kitabnya, ada ujian tengah semester (UTS), ada tugas menulis makalah, ada juga ujian akhir semester (UAS), ada nilai, IP dan IPK. Terakhir biasanya juga ada karya ilmiyah semacam skripsi.

So, pendidikan agama secara formal itu jangan dianggap sepele. Ini sistem pendidikan yang dirancang awalnya oleh peradaban Islam sendiri. Sebuah loncatan besar, dari yang awalnya tiap murid harus berkelana menjelajahi dunia, maka di bangunlah pusat pengajaran.

Para khalifah Bani Abasiyah membangun kampus, yang dinamakan Madrasah An-Nizhamiyah. Khalifah memfasilitasi semua guru besar tiap cabang keilmuan untuk menjadi pengajar tetap, memberi gaji yang cukup tujuh turunan. Lalu memfasilitasi para mahasiswa dari seluruh dunia untuk belajar disitu, plus dengan beasiswanya juga.

Jadi murid tidak perlu lagi berkelana keliling dunia, sebab semua semua ulama dunia sudah kumpul disitu. Belajar ilmu agama tidak hanya seminggu sekali 60 menit, tetapi belajar setiap hari, sejak terbit fajar sampai tengah malam. Semua dikumpulkan, maka istilahnya kemudian menjadi al-jamiah (الجامعة) yang secara harfiyah bermakna 'mengumpulkan'.

Dalam bahasa Arab modern, istilah al-jamiah ini diterjemahkan menjadi UNIVERSITAS.

Jadi jangan anggap sepele urusan pendidikan agama secara formal ini. Jauh sekali dengan kualitas hasil pengajian mingguan atau pun majelis taklim. Maka ke depan, justru pengajian dan majelis taklim itu harus bisa mengikuti format pendidikan formal, yaitu :

1. Ada silabus dan kurikulum
2. Ada nara sumber sesuai disiplin ilmu
3. Ada kitab rujukan
4. Ada cara mengukur pencapaian para peserta
5. Ada hasil nyata

Ahmad Sarwat, Lc.MA

Ahmad Sarwat
30 April pukul 09.45 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.