Sebentar lagi pesta demokrasi akan segera tiba. Sepertinya, ‘ribut-ribut’ mendekati moment ini sudah menjadi agenda tahunan bagi komunitas kita (Salafy). Bahkan, tidak hanya sampai di situ, sebagian sudah sampai taraf saling tahdzir, saling menyesatkan, saling mencaci, serta saling mengeluarkan dari ‘manhaj’ salaf. Sungguh miris !
Kalau kita amati, ada dua hal yang menjadi penyebab kondisi di atas : 1). Hukum ikut memberikan suara dalam pemilu, dan 2). Hubungan sesama muslim terkait beda pilihan politik. Dua hal ini sebenarnya bisa disikapi dengan baik tanpa menimbulkan efek-efek negatif sebagaimana telah disebutkan, asalkan kita senantiasa mengedapkan ilmu serta hikmah.
Masalah demokrasi, para ulama’ sepakat bukan dari syari’at Islam. Tapi masalah hukum ikut serta memberikan pilihan dalam pemilu dalam konteks seorang yang hidup di negera yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia, harus kita akui ada khilaf (perbedaan) pendapat di kalangan ulama’ mu’ashirin (di zaman ini). Ada yang membolehkan, dan ada yang tidak membolehkan. Yang mengingkari ini masalah khilafiyyah, seperti halnya mengingkari kalau air laut rasanya asin, lombok itu pedas, dan gula itu manis. Aritnya, mengkingkari perkara yang sangat jelas. Pengingkaran yang tidak ilmiyyah serta akan runtuh jika diuji.
Yang membolehkan, mendasarkan pendapatnya dengan kaidah :
إرتكاب أخف الضرارين
“Melakukan mudharat yang paling ringan dari dua mudharat.”
Adapun yang tidak membolehkan sama sekali, berargument bahwa pemilu bukan dari syari’at Islam. Sehingga ketika seorang muslim ikut dalam memberikan suaranya dalam pemilu, berarti dia telah masuk kepada sistem yang bertentangan dengan Islam itu sendiri. Masing-masing pendapat memiliki argument dan sandaran kepada fatwa ulama’. Walaupun demikian, menurut kami pendapat yang membolehkan lebih kuat.
Oleh karena itu, hendaknya masing-masing pihak bisa menahan diri. Yang berpendapat boleh, hendaknya menghormati yang berpendapat tidak boleh. Yang berpendapat tidak boleh, hendaknya menghormati pendapat yang membolehkan. Kalau begini, adem insya Allah. Kenapa harus seperti ini ? ya, karena ini hanya masalah khilafiyyah ijtihadiyyah. Bukan masalah ushul agama dimana seorang yang melanggarnya akan berkonsekwensi sesat atau keluar dari manhaj salaf.
Kemudian, jika kita cenderung kepada pendapat yang membolehkan, lalu pilihan kita ternyata berbeda dengan pilihan muslim yang lain, maka hendaknya kita bisa bersikap secara dewasa dengan saling menghormati. Jangan sampai ukhuwah imaniyyah yang demikian agung, dihancurkan gegara beda pilihan politik. Segala sesuatu akan menjadi indah, saat seorang menerapkan ilmu dengan hikmah. Intinya, "jangan meributkan sesuatu yang tidak perlu untuk diributkan". Hanya buang-buang waktu dan tenaga saja. Masih terlalu banyak perkara yang lebih penting untuk kita lakukan. Wallahu yahdi ila aqwamith thariq...
✒Abdullah Al-Jirani
Abdullah Al Jirani
29 Maret pukul 17.57 ·
#Abdullah Al Jirani