Ibnu Hazm Adz-Dzahiri –rahimahullah-(wafat : 456 H) berpendapat, bahwa tidur bersandar di atas sisi tubuh yang kanan setelah salat dua rekaat qabliyah Subuh hukumnya wajib, dan barang siapa yang meninggalkannya, maka salat Subuhnya tidak sah/batal. Beliau berdalil dengan sebuah riwayat dari Abu Hurairah –radhiallahu ‘anhu-, Nabi SAW berkata :
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ رَكْعَتَيِ الفَجْرِ فَلْيَضْطَجِعْ عَلَى يَمِينِهِ
“Apabila salah satu diantara kalian telah selesai menunaikan salat dua rekaat qabliyah Subuh, maka hendaknya dia tidur bersandar di atas sisi tubuhnya yang kanan.” [HR. At-Tirmidzi : 420].
Hadits di atas datang dalam bentuk kata kerja perintah, dan asal kata kerja perintah hukumnya wajib atas apa yang diperintahkan. Demikian argument beliau. Hal ini berbeda dengan pendapat Jumhur ulama’(mayoritas ulama), diantara mereka imam madzhab yang empat, yang menyatakan bahwa hal tersebut hukumnya sunnah atau mubah, tidak sampai derajat wajib apalagi sampai membatalkan salat Subuh bagi seorang yang meninggalkannya. Madzhab Syafi’iyyah sendiri memilih pendapat yang menyunahkan. Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata :
المختار أنه سنة لظاهر حديث أبي هريرة
“Pendapat yang terpilih, sesungguhnya hal itu hukumnya sunnah sesuai dengan dzahir hadits Abu Hurairah.”
Jumhur berkata, memang benar hadits Abu Hurairah di atas secara dzahir mengandung makna wajib, akan tetapi hal ini telah dipalingkan maknanya kepada makna sunah atau mubah, karena nabi SAW sendiri tidak terus-menerus melakukannya. Jika memang wajib, tentu nabi tidak akan meninggalkannya walaupun sekali. Oleh karena itu, sungguh tepat pernyataan imam An-Nawawi –rahimahullah-, bahwa pendapat Ibnu Hazm yang menyelisihi pendapat jumhur, maka tidak dianggap (dibuang), apalagi menyelisihi kesepakatan empat imam madzhab atau ijma’ ulama’ muslimin.
Jadi, anda ikut pendapat yang mana ? kalau saya sendiri ikut pendapat imam madzhab yang empat saja terutama imam Syafi’i, karena lebih selamat dan sudah teruji selama berabad-abad. Hal ini menunjukkan, sekedar seorang punya “dalil”, tidak menjamin orang tersebut bisa “memahami” dalil tersebut dengan baik dan benar. Maka, berhati-hatilah dengan paham “tekstual” dalam memahami dalil ! Sekian.
Abdullah Al Jirani
Karanganyar - Indonesia
Abdullah Al Jirani
6 Maret pukul 05.56 ·
#Abdullah Al Jirani