Perayaan Tahun Baru Masehi Dalam Timbangan Syari'at Islam

Perayaan Tahun Baru Masehi Dalam Timbangan Syari'at Islam - Kajian Medina
PERAYAAN TAHUN BARU MASEHI DALAM TIMBANGAN SYARI’AT ISLAM

Oleh : Abdullah Al Jirani

Insya Allah, nanti malam tepat pukul 00.00 akan terjadi pergantian tahun baru masehi dari 2018 ke 2019. Biasanya, pergantian tahun ditandai dengan perayaan yang begitu meriah. Mulai dari tiupan terompet, pesta kembang api, konser musik, pesta di tempat-tempat tertentu, jalan-jalan, nongkrong bareng, dan yang lainnya. Bahkan, sebagian orang mengisinya dengan berbagai perbuatan maksiat kepada Allah berupa zina, pesta narkoba, judi dan pesta minuman keras –na’udzubillah-.

Perayaan tahun baru Masehi jika dilihat dari timbangan syari’at Islam bisa disimpulkan kepada point-point berikut ini :

(1). Perayaan tahun baru hukumnya HARAM. Karena jika kita lihat dari sejarahnya, perayaan ini merupakan syi’ar dari umat kristiani. Dimana perayaan tahun baru pertama kali dilakukan oleh seoarng kaisar Ramawi sebagai persembahan kepada dewa Janus. Dalam hal ini, maka umat diharamkan untuk menyerupai mereka. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :

من تشبه بقوم فهو منهم

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan kaum itu.”

Disamping “menyerupai orang-orang kafir”, perayaan tahun baru juga masuk katagori “tabdzir” (pemborosan). Karena makna “tabdzir” (boros), adalah membelanjakan harta dalam perkara yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman :

إن المبذرين كانوا إخوان الشياطين

“Sesungguhnya orang-orang boros mereka adalah teman-teman syetan.”

(2). Hukum HARAM ini meliputi :

a). Ikut serta dalam merayakannya,
b). mengucapkan “SELAMAT TAHUN BARU”,
c).menjual belikan segala sesuatu yang merupakan atribut/ciri khas perayaan tahun baru seperti terompet, kembang api, kartu ucapan tahun baru, dan yang lainnya,
d).memakai atribut-atribut tersebut.
e).mendukung terselenggaranya pesta perayaan tahun baru baik dari sisi pendanaan, tenaga, waktu, tempat ataupun segala sesuatu yang menjadi pendukung terwujudnya hal tersebut.
f).Ikut menyaksikan berbagai acara-acara perayaan tahun, baru baik yang secara langsung atau melalui TV

(3).Menurut saya pribadi, mengalihkan kaum muslimin di malam tahun baru dari berbagai kegiatan yang tidak bermanfaat atau bahkan haram kepada kegiatan-kegiatan yang bermanfaat seperti majelis ilmu/tablig akbar atau kegiatan positif lainnya merupakan perkara yang diperbolehkan jika terpenuhi beberapa syarat :

a). Tidak menyakini hal tersebut memiliki keutamaan khusus.
b). Tidak menyakini sebagai syari’at khusus, seperti hukum sunnah, atau wajib dan yang lainnya.
c). Kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebagai ganti pesta perayaan tahun baru tersebut tidak ada unsu-unsur pelanggaraan syari’at di dalamnya.

Masalah ini masuk dalam bab pembahasan “perkara baru yang bersifat idhafi”. Menurut jumnhur ulama’, hal ini diperbolehkan dengan tiga syarat yang telah kami sebutkan. Sebagian kecil ulama’ tidak memperbolehkan. Dan kami pribadi condong kepada pendapat jumhur ulama’.

(4). Dengan ini, kami menghimbau segenap umat Islam untuk berada di rumah mereka masing-masing dan mengisi dengan kegiatan yang bermanfaat. Jika pun ingin keluar, hendaknya menghadiri berbagai kegiatan yang bermanfaat sebagai ganti dari perayaan tahun baru seperti majelis ilmu dan yang semisalnya.

Demikian tulisan singkat ini. Semoga memberikan manfaat bagi kita sekalian. Teriring do’a, semoga Allah sanantiasa memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada seluruh umat Islam untuk menjalankan syari’at-Nya dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan kepada-Nya. Amin ...ya Rabbal ‘alamin.

Abdullah Al Jirani
31 Desember 2018 pukul 14.23 ·

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.