Yang belajar islamnya pakai pendekatan dengan membatasi dalil Quran Sunnah saja sebagai dalil, pasti akan kebingungan kalau ditanya masalah hukum.
Sebab begitu banyak informasi di Quran dan Sunnah yang tanpa status hukum. Benar sekali bahwa Nabi SAW melakukannya, tapi apa hukumnya buat kita, wajibkah? Atau sunnah? Atau tidak mengikat?
Sama sekali tidak ada keterangan. Hukumnya didapat lewat istimbath para ahli hukum.
Nabi SAW mencelupkan lalat ke dalam gelas itu valid infonya. Terus habis dicelupkan, wajibkah kita minum? Bagaimana kalau tidak diminum?
Nabi SAW suruh orang sakit minum kencing unta itu valid infonya. Terus, apakah halal bagi seluruh umatnya minum begituan? Ataukah hanya kalau darurat? Atau malah haram karena sudah mansukh?
Nabi SAW suruh bunuh siapa yang lewat depan orang shalat. Terus kalau tidak kita bunuh, kita berdosa?
Maka dibutuhkan metode khusus dalam menarik kesimpulan hukum. Dan pekerjaan macam itu butuh spesifikasi dan keahlian khusus. Secara sederhana kita namakan sebagai : ULAMA.
Lha kok masih ada orang awam yang ngomong seenaknya : tidak usah merujuk ulama. Ulama kan manusia juga. Sudah Quran Sunnah kok masih menuhankan ulama?
Mungkin dia gak paham konsep ulama. Dalam alam hayalnya, yang terbayang tentang sosok ulama itu macam dukun santet yang merapal mantera di tengah kepulan asap dupa.
Padahal konsep ulama sebenarnya adalah sosok orang yang paling mengerti hukum-hukum yang tersirat di setiap ayat Quran dan butir-butir Sunnah. Dia mendapatkannya lewat metodologi ilmiyah yang logis, masuk akal, kritis, dan bisa dipertanggung-jawabkan.
Sementara orang kebanyakan cuma baca dan semangat menghafal-hafal saja. Lalu seenak udelnya main tafsirkan begitu saja, tanpa ilmu, tanpa metodologi, tanpa logika sehat bahkan tanpa tahu konteks, asbabun-nuzul, siyaq dan kaidah tafsirnya.
Ahmad Sarwat, Lc.MA
Ahmad Sarwat
3 Desember pukul 06.56 ·
#Ahmad Sarwat