@Abdullah Al Jirani
Beberapa waktu lalu, saya seperti biasanya mengisi salah satu pengajian rutin di sebuah masjid. Pengajian ini telah berjalan cukup lama, sekitar 3 tahun. Malam itu, pembahasan fiqh sampai masalah sujud tilawah. Lalu saya terangkan, bahwa sujud sahwi hukumnya “sunnah” sebagai lawan dari wajib (harus) sembari menyebutkan beberapa dalil dalam masalah tersebut disertai dengan beberapa penjelasan ulama’ di dalamnya. Untuk menyempurnakan keterangan, saya jelaskan makna “sunnah” di sini sebagai salah satu hukum taklifiyyah. Dalam hukum taklifiyyah dikenal istilah “mandub” (anjuran). Pengertiannya, :
ما طلب الشرع فعله طلبًا غير جازم
“Apa yang dituntut oleh syari’at untuk melakukannya, dengan suatu bentuk tuntutan yang tidak harus (dilakukan).” [ Taqribul Wushul : 169, karya Imam Abul Qasim Al-Kalbi Al-Gharnathi –rahimahullah- wafat : 741 H ].
Dan “sunnah”, termasuk dalam katagori “mandub” (anjuran). Karena “mandub” ada beberapa tingkatan : yang tertinggi adalah sunnah, di bawahnya adalah mustahab, di bawahnya adalah fadhilah, dan di bawahnya lagi adalah nafilah (simak : Taqribul Wushul : 169 – 170 ). Buah dari pengertian “sunnah” di atas, jika dilakukan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat dosa.
Setelah penjelasan ini, tiba-tiba ada seorang jama’ah ‘asing’ yang mengistidrak (mengkritisi) apa yang kami sampaikan. Saya katakan ‘asing’, karena beliau ‘orang baru’ di majelis tersebut ‘sebaru umurnya’ (masih muda alias ABG). Walaupun saya tidak menghafal seluruh nama-nama jama’ah pengajian saya, tapi minimal saya kenal muka-muka mereka. Tapi beliau ini belum pernah saya lihat mukanya sebelum malam itu. Sepertinya, beliau dari jama’ah kajian ‘salafy’ di tempat lain.
“Maaf, ustadz ! bukankah jika kita meninggalkan satu sunnah otomatis akan muncul satu bid’ah ?!”. “Bukankah nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda : “Telah aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, jika kalian berpegang dengan kedua perkara itu, kalian tidak akan sesat selamanya, yaitu kitabullah dan sunnah “, ini bagaimana ustadz ?!” ,Demikian ujarnya.
Mendapat ‘teror’ seperti itu, saya jadi bingung. Bukan bingung menjawabnya, tapi bingung bagaimana cara menjelaskannya. Lalu saya tanya saja begini :
Saya : “Shalat malam hukumnya apa ?”
Hadirin : “Sunnah”
Saya : “Apakah kalian pernah meninggalkan shalat malam ?”
Hadirin : “Bukan hanya pernah, sering, ustadz “
Saya : “Berarti kalian sesat, karena meninggalkan sunnah ? Berarti muncul satu bid’ah ?”
Hadirin : (suasana hening).....
Kasus di atas sebagai salah satu bukti, bahwa masih ada (mungkin banyak) dari saudara-saudara kita yang tidak membedakan kata “sunnah” dalam sebuah dalil yang berarti “al-huda” (petunjuk), dengan kata “sunnah” yang berarti lawan dari wajib sebagai salah satu jenis hukum taklifiyyah beserta konsekwensi dari keduanya.
Oleh karena itu, bagi teman-teman yang belum pernah hadir di pengajian saya, lalu ingin menghadirinya, mohon jangan kaget kalau ada berbagai perkara yang terkesan ‘agak berbeda’ dengan apa yang anda dapatkan sebelumnya. Semoga makin banyak orang-orang yang ‘kesasar’ ke pengajian saya, agar saya memiliki kesempatan untuk sedikit memberikan sumbah sih penerangan dalam perkara-perkara yang butuh diterangkan ( mungkin tepatnya : diluruskan). Saya hanya berharap, semoga ikhwan tersebut tidak hilang setelah majelis malam itu, karena menganggap ustadznya ‘tidak kokoh’ dalam memegang ‘sunnah’😊
Karanganyar, 6 Rabi’ul Akhir 1440 H/14 Desember 2018
Abdullah Al Jirani merasa senang sekali.
1 jam ·
Sumber : https://www.facebook.com/abdullah.aljirani.37/posts/379442982827007
#Abdullah Al Jirani