Setiap kelompok kadang punya nama dan posisi tertentu sekaligus dengan musuh bebuyutannya. Dan untuk menghabisi suatu kelompok, para musuh suka bikin propaganda yang bisa menghabisi lawan, sehingga nama baiknya hancur, tercemar, dan terpaksa harus ganti nama.
1. Wahabi
Karena nama WAHABI terlanjur negatif di negeri kita, maka rata-rata mereka yang 100% wahabi pun ogah dibilang wahabi. Mereka ganti nama lain, misalnya sunnah, ahlusunnah, atsari, manhaj, salafi dan lainnya. Termasuk memperkenalkan istilah baru yang rada keren : kembali kepada Quran Sunnah.
Hari ini saya tidak menemukan orang yang dengan terang-terangan mengaku sebagai WAHABI. Meski pun dia dosen di LIPIA sekali pun. Padahal LIPIA itu milik Saudi. Nggak tahu kalau di Saudi, apa masih bangga dengan nama Wahabi.
2. NU
Sebaliknya nama NU memang jelak banget di LIPIA dan di kalangan mahasiswanya. Meski saya tahu ada begitu banyak mahasiswa LIPIA yang berasal dari kalangan nahdhiyyin, tapi rata-rata tidak ada yang berani ngaku.
Dulu zaman saya sempat ada PMII di LIPIA. Tapi setiap hari habis dibuli oleh dosen Saudi. Kesannya NU itu tidak beres akidahnya di mata mereka. Suka ke dukun, doyan bid'ah dan seterusnya. Mengaku NU di LIPIA cuma bikin masalah.
Di sebagian kalangan islam moderen, nama NU juga jelek banget. Ibaratnya kalau ceramah , isinya pasti tentang keburukan orang NU.
3. PKI
Di masanya PKI pernah berkuasa, lalu dilibas habis dan lenyap di masa Orde Baru.
Orde Baru berhasil merusak nama PKI sehingga nama PKI begitu coreng. Hasilnya, meski seseorang 100% PKI dan pendukung utama doktrin PKI, tapi tidak ada yang pernah berani mengaku sebagai PKI.
Saking efektifnya propaganda anti PKi, sampai kalau mau menjatuhkan lawan politik, cukup dicap saja sebagai PKI. Maka semua orang pun termakan dan lawan politik habis sudah. Urusan benar apa tidaknya tuduhan itu, yah itu cerita lain.
4. Ikhwan
Gerakan Ikhwan di Mesir melawan pemerintah Mesir juga punya sejarah kelam. Akhirnya ikhwan resmi menjadi gerakan terlarang.
Para aktifisnya terpaksa diajak oleh sang mursyid Hasan Al-Banna untuk masuk ke periode gerakan bawah tanah. Sistem usroh kemudian diterapkan, menjadi sel-sel kecil dengan tanzim sirri (rahasia). Dan di masa itu rata-rata aktifisnya ogah disebut sebagai ikhwanul muslimin.
Bukan hanya di Mesir tapi juga di Saudi. Banyak dosen di Madinah yang dulunya di masa Raja Faisal menjadi agen ikhwan, lalu mereka sembunyi dan merahasiakan keikhwanannya.
Stereotipe atau politik identitas memang unik, efektif dan kalau berhasil memang sangat mematikan.
5. Bakso Babi
Rupanya trik model begini pernah juga dipakai oleh tukang bakso dalam menghabisi saingannya. Biar dagangan si pesaing bubar, maka si tukang bakso bisa saja tebar isu negatif bahwa bakso lawannya itu pakai daging babi, atau yang lebih jijay yaitu pakai daging tikus.
Dua hari kemudian, gerobak bakso milik saingan dibakar masa yang termakan isu bakso babi dan tikus. Maka semua orang lari ke tukang bakso pesaingnya, meski itu cuma siasat belaka dari si penebar isu.
Lepas dari suka atau tidak suka, tapi banyak yang tetap bertahan namun terpaksa harus ganti nama. Sebab nama yang lama sudah terlanjur coreng tentu tidak bisa mengangkat lagi. Maka jalan keluarnya ganti nama atau ganti merek.
Namanya juga orang usaha . . .
Ahmad Sarwat, Lc.MA
Ahmad Sarwat
17 jam ·
Komentar :
Achmad Faiz Sahly : Hlluuk .. NU ternyata bisa dibilang " Public Enemy # 1 " di Saudi ya, Pak ?
Ahmad Sarwat : Kira2 begitu. Nama Nahdhatul Ulama itu kan juga punya histori tersendiri untuk menangkal ajaran wahabi di nusantara. Bangkitnya ulama itu dalam rangka menangkal paham wahabi yang cenderung anti ulama anti mazhab, cuma pakai Quran Sunnah.
Achmad Faiz Sahly : Betul, Pak. Dari sejarah yang pernah saya baca, bahkan sampai boikot haji juga
Adang Juwanda : Jeli sekali postingan ustad 😃
Bimmo Dwi : Poin No. 1 yang lagi intens-nya :D
Daday Rahmat Hidayat S : Walau sekadar ulasan tentang ganti nama, isinya banyak menyenggol berbagai pihak saat ini.
Salut dengan gaya penulisannya ya ustadz.
Ar Hakim : Untung ada sosmed ya, tadz. Jadi tvone gak sendirian memberitakan aksi reuni 212. Yah walopun sosmed gak sesuai standar jurnalistik pemberitaannya, tapi alhamdulilah banget.
Arman Abu Musyari El-Hafidzi : Fokus poin pertama, mau nanya, yg ngasih label wahabi itu siapa? Orang yg berasangkutan? Atau kelompok lain yg benci dakwah sunnah?1
Ahmad Sarwat : Wahabi itu pastinya merujuk kepada tokoh besar, Muhammad bin Abdul Wahab. Kami di LIPIA dapat mata kuliah khusus untuk mempelajari sosok beliau. Mata kuliah Da'awat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Pahlawan sekaligus sosok ulama. Penulis kitabuttauhid.
Intinya kalau disebut sebagai pengikut beliau, pasti kita dibuat bangga.
Tapi ketika ajarannya mulai meluas kemana-mana, nampak perlawanan dsn serangan balik. Kayak Pengeran Diponegoro, ada dua versi. Versi Indonesia, beliau pahlawan. Versi belanda saat itu, ya dianggap penjahat.
Muhamad bin Abdul Wahab versi mata kuliah di LIPIA adalah pahlawan yang kita banggakan. Maka menamakan diri sebagai pengikutnya kita bangga, ya kami Wahabi nih.
Tapi propaganda lawan-lawannya rupanya cukup gencar, viral dan fenomenal banget. Sampai kami yang dulunya pendukung Muhammad bin Abdul Wahab sendiri jadi meranya jengah juga dgn sebutan wahabi.
Jadi kita ngeles biar tidak kena sasaran tembak. Ramai-ramai ganti nama, atau minimal tidak berkenan kalau disebut wahabi.
Apa boleh biat, kampanye anti wahabi sangat efektif. Maka bertahan mengakui kita ini mengikut beliau, malah jadi rugi sendiri.
Mending ganti nama, apa lah misalnya salaf, atsar, sunnah, bla bla. Tidak ada penokohan. Bahkan tidak juga menisbatkan kepada Ibnu Taimiyah, Ibul Qayyim, Albani, dll.
Salah satu rahasianya, karena tidak seluruh pemikiran beliau-beliau itu kita rasa cocok. Banyak juga yang tidak kita setujui.
baca juga Ganti Nama 2
#Ahmad Sarwat