Saat ini beredar tulisan-tulisan tentang dho‘ifnya hadîts-hadîts mengenai rôyah dan liwâ’ Rosûlullôh yang bertuliskan kalimat "لا إله إلا الله".
Tulisan yang ditulis oleh orang-orang yang diustâdzkan, baik dari kalangan ANUS maupun kalangan Salafiy Maz‘ûm, kemudian disebarkan oleh para BongOri maupun BongLaf.
Seakan menjadi pembenaran atas pembakaran bendera yang bertuliskan kalimat Tauhîd.
Baiklah, kalau memang mengambil pendapat bahwa hadîts-hadîts rôyah dan liwâ’ itu adalah dho‘if, sehingga tak bisa disebut sebagai panji tempur dan benderanya Baginda Rosûlullôh…
❓ Maka apakah itu berpengaruh terhadap kesucian kalimat Tauhîd "لا إله إلا الله محمد رسول الله" itu…?!?
Mau kalimat Tauhîd itu tertulis di atas kain kah, di kertas kah, di papan kah, di baju kaos kah, di topi kah, ataupun di bros kah, maka semua sama saja, ia tetap adalah kalimat Tauhîd yang suci lagi agung.
❗ Sebuah kalimat yang apabila ditimbang di atas mizan-Nya, maka ia akan lebih berat daripada Alam Semesta ini beserta dengan keseluruhan isinya…!
Ketauhilah, membakar kalimat Tauhîd itu bukanlah cara memuliakan Islâm, tetapi itu justru adalah bentuk menjauhkan Ummat Islâm dari Ketauhîdan.
Bagaimana bisa mengaku cinta Ketauhîdan sementara dengan kalimat Tauhîd saja allergy…?!?
Ketika para Mujahiddîn Syâm berhasil merebut daerah dari Khowârij DAESH, sama sekali mereka tak ada membakar benderanya DAESH, bahkan para Mujahiddîn itu menyimpannya baik-baik – karena para Mujahiddîn itu tahu betul kewajiban memuliakan kalimat Tauhîd itu – meskipun seluruh Dunia tahu bagaimana sadisnya kaum Khowârij DAESH itu memperlakukan para Mujahiddîn Syâm.
Mungkin masih ingat insiden Hotel Yamato tanggal 19 September 1945 di Surabaya dari pelajaran Sejarah di sekolah?
Iya, peristiwa perobekan bagian warna biru dari bendera Belanda, kemudian mengibarkan sebagai Sang Merah Putih. Masih sepotong kain yang sama, hanya sebagiannya saja yang dirobek… namun maknanya sudah sangat berbeda 180°.
Dulu kakek-kakek kita yang terbakar semangat juangnya dengan teriakan Takbir "الله أكبر" bisa memuliakan Sang Merah Putih di Hotel Yamato. Karena mereka tahu begitulah cara memuliakan bendera, bukan dengan cara membakarnya.
Maka sungguh teramat sangat buruk mengqiyâskan bendera kalimat Tauhîd itu dengan lambang palu aritnya kaum Komunis…!
Aneh ketika mengaku "masih Islâm juga", tetapi membenarkan pelecehan terhadap kalimat Tauhîd.
Seakan lupa (atau tidak tahu?) bahwa semua Muslim itu berharap-harap cemas akankah kalimat terakhir yang terucapkan oleh lisannya pada saat sakarotul maut menjemput adalah kalimat Tauhîd…?
Saat kedua bibir sudah tak mampu lagi digerakkan…
Hanya tinggal lidah dan hembusan nafas yang tinggal satu-satunya yang bisa melafazhkan dengan suara lirih kalimat "لا إله إلا الله"…
Jangan sampai saat kita benar-benar amat sangat butuh untuk mampu melafazhkan kalimat Tauhîd di akhir hayat kita, tetapi lidah malah jadi kaku kelu karena الله Subhânahu wa Tâ‘alâ tidak ridhô kalimat Tauhîd itu yang menjadi kalimat terakhir kita saat pergi dari Dunia yang fana ini…
Karena kita tak punya hati, apalagi keberanian, untuk membela kemuliaan dan keagungan kalimat Tauhîd saat ia dilecehkan oleh kaum Kuffâr dan Zindiq.
⚠ Tauhîd itu ada di qolbû di dalam dada, dan ia harus tercermin dalam perkataan, keringat, air mata, dan darah kita.
نَسْأَلُ اللهَ الْسَلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ
Arsyad Syahrial
25 Oktober pukul 06.39 ·
#Sahabat Acad Syahrial