Haruskah Pakaian Wanita Berwarna Hitam, Bermotif Bunga atau Warna Warni?

Haruskah Pakaian Wanita Berwarna Hitam, Bermotif Bunga atau Warna Warni?
HARUSKAH PAKAIAN WANITA BERWARNA HITAM ? BOLEHKAH MEMAMAKAI PAKAIAN BERMOTIF BUNGA ATAU WARNA-WARNI ?

Oleh : Abdullah Al-Jirani
****

Perintah berhijab yang terdapat dalam beberapa ayat di dalam Al-Qur’an, semuanya bersifat mutlak, tanpa ada batasan dengan warna tertentu. Jika suatu dalil datang dalam bentuk mutlak, maka diamalkan sesuai dengan kemutlakkannya.
Alloh Ta’ala berfirman :

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya.” [ QS. An-Nuur : 31 ].

Alloh hanya memerintahkan untuk menutupkan kerudung tanpa menentukan jenis warna kerudung yang diperintahkan. Hal ini menunjukkan akan kemutlakan kerudung dari jenis warna apa saja. Baik hitam, atau warna selainnya.
Kemudian Alloh berfirman :

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[ QS. Al-Ahzab : 59 ].

Al-Imam Ibnu Katsri –rahimahullah- berkata :

يَقُولُ تَعَالَى آمِرًا رَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا أَنْ يَأْمُرَ النِّسَاءَ الْمُؤْمِنَاتِ- خَاصَّةً أَزْوَاجَهُ وَبَنَاتِهِ لِشَرَفِهِنَّ- بِأَنْ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ لِيَتَمَيَّزْنَ عَنْ سِمَاتِ نِسَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ وَسِمَاتِ الْإِمَاءِ

“Alloh berkata dalam keadaan memerintahkan Rosul-Nya –shollallahu ‘alaihi wa sallam- agar memerintahkan para wanita yang beriman –secara khusus para istri beliau dan anak-anak perempuan beliau karena kemulian mereka-, agar mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka. supaya mereka dapa terbedakan dari ciri khas wanita jahiliyyah dan para budak.” [ Tafsir Ibnu Katsri : 6/425 ].

Dalam dua ayat di atas dan penjelasannya dari Ibnu Katsir, menunjukkan sesungguhnya perintah untuk mengenakan jilbab bagi para wanita bersifat mutlak, tidak ada ketentuan warna tertentu tanpa warna yang lain. Tidak ada sedikitpun makna yang menunjukkan bahwa jilbab itu harus warna hitam, atau lebih afdhol warna hitam.

HADITS UMMU SALAMAH

Telah diriwayatkan dari Ummu Salamah –radhiallohu ‘anha- beliau berkata :

لَمَّا نَزَلَتْ: {يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ} [الأحزاب: 59]، خَرَجَ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ كَأَنَّ عَلَى رُؤوسِهِنَّ الْغِرْبَانَ مِنَ الأَكْسِيَةِ

“Tatkala turun ayat “DAN HENDAKLAH MEREKA MENJULURKAN JILBAB-JILBAB MEREKA” (QS. Al-Ahzab : 59), para wanita Anshar keluar seolah-olah di atas kepala-kepala mereka ada burung gagak dari pakaian (yang mereka pakai-Pen).” [ HR. Abu Dawud : 4101 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- ].

Ucapan Aisyah di atas, dijadikan dalil oleh sebagian orang akan wajibnya pakaian wanita atau hijab berwarna hitam. Atau paling tidak, hal ini merupakan ciri khas atau sunnah para shahabiyyat di zaman nabi. Oleh karena itu, pakaian wanita dengan warna selain hitam, merupakan warna yang tercela atau minimal telah menyelisihi akan sunnah para shahabiyyat. Benarkah pendalilan ini ?

Sebelum menjawabnya, perlu untuk kita ketahui bahwa ucapan Aisyah –radhiallohu ‘anha- : “seolah-olah di atas kepala-kepala mereka ada burung gagak”, memiliki empat kemungkinan tafsir –sejauh yang kami ketahui- :

Pertama :
Maksud hadits di atas, bahwa Ummu Salamah menyerupakan warna hitam pakaian yang dikenakan oleh para wanita Anshar dengan burung gagak. Karena burung gagak warnanya hitam. Sebagaimana telah dinyatakan oleh Al-Imam Al-Adzim Abadi –rahimahullah- (wafat : 1329 H) :

شَبَّهَتِ الْخُمُرُ فِي سَوَادِهَا بِالْغُرَابِ

“Ummu Salamah menyerupakan khumur dengan burung gagak di dalam warna hitamnya.” [ ‘Aunul Ma’bud : 11/107 ].

Kedua :
Maksudnya : Tenang. Diserupakan dengan burung gagak karena burung gagak kalau hinggap di suatu tempat, sangat tenang. Dalam tafsir Ibnu Abi Hatim –rahimahullah-, dari Ummu Salamah beliau berkata :

لمّا نزلت هذه الآية يدنين عليهن من جلابيبهن خرج نساء الأنصار كأن على رؤوسهن الغربان من السكينة وعليهن أكسية سود يلبسنها

“Tatkala turun ayat ini “AGAR MEREKA MENGULURKAN JILBABNYA KE TUBUH MEREKA”, para wanita Anshar keluar seakan-akan di atas kepala mereka ada burung gagak dari ketenangan mereka dan atas mereka pakaian berwarna hitam yang mereka kenakan.”[ Tafsir Ibnu Abi Hatim : 10/3154 ].

Ketiga :
Maksudnya : Pakaian yang dikenakan terbuat dari rambut hitam, sehingga di waktu shubuh seperti burung gagak.

Al-Imam Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri –rahimahullah- (wafat : 276 H) telah menyebutkan sebuah riwayat dari Aisyah –rahdiallohu ‘anha- beliau berkata :

لما نزلت هذه الآية: وليضربن بخمرهن على جيوبهن، انقلب رجال الأنصار الى نسائهم فتلوها عليهن، فقامت كل امرأة الى مرطها المرحل، فصدعت منه صدعة، فاختمرن بها فأصبحن في الصبح على رؤوسهن الغربان.

“Tatkala turun ayat ini : DAN HENDAKLAH MEREKA MENUTUPKAN KAIN KUDUNG KE DADANYA,kembalilah para lelaki Anshar kepada istri-istri mereka lalu membacakannya kepada mereka. maka berdirilah setiap wanita ke pakaian murthu-nya yang dihiasi. Lalu setiap wanita tadi membelah darinya (murthu) dari satu belahan. Maka mereka (para wanita tersebut) memakai khimar, maka menjadilah mereka di waku shubuh (seolah) di atas kepala-kepala mereka ada burung gagak.” [ Gharibul Hadits : 2/160 ].

Al-murthu adalah :

أكسية من صوف، وربما كانت من شعر، وربما كانت من خز

“Sejenis pakaian dari bulu domba. Terkadang dari rambut. Dan terkadang dari sutera. [ Gharibul Hadits : 2/160 ].

Ucapan Aisyah –radhiallohu ‘anha- : “maka menjadilah mereka di waku shubuh (seolah) di atas kepala-kepala mereka ada burung gagak”, dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Qutaibah –rahimahullah - :

وأما قولها: فأصبحن على رؤوسهن الغربان.تريد: أن المروط كانت من شعر أسود، فصار على الرؤوس منها مثل الغربان ومما يوضح هذا، حديث حدثنيه عبدة الصفار قال: حدثنا محمد ابن بشر العبدي عن زكريا بن أبي زائدة عن مصعب بن شيبة عن صفية بنت شيبة عن عائشة، ان رسول الله صلى الله عليه وسلم، خرج ذات غداة وعليه مرط مرحل من شعر أسود

“Adapun ucapan Aisyah “maka menjadilah mereka di waku shubuh (seolah) di atas kepala-kepala mereka ada burung gagak”,dia menginginkan : sesungguhnya murthu (jenis pakaian) waktu itu terbuat dari rambut hitam. Maka jadilah seolah di atas kepada mereka ada burung gagak. Yang menjelaskan hal ini, hadits yang telah diceritakan oleh ‘Abdah bin Ash-Shoffar dia berkata Muhammad bin Bisyr Al-‘Abdi telah menceritakan kepada kami, dari Zakariya bin Abi Zaidah, dari Mush’ab bin Syaibah, dari Shofiyyah binti Syaibah dari Aisyah : sesungguhnya Rasulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- keluar di suatu pagi (yang masih gelap), dan beliau memakai murthu yang terbuat dari rambut berwarna hitam.” [ Gharibul Hadits : 2/161 ].

Keempat :
Maksudnya : Sebagai kinayah akan ketundukan para wanita Anshar dalam menunaikan perintah Alloh untuk menutup aurat. Hal ini dinyatakan oleh Asy-Syaikh bin Baz –rahimhullah- beserta Lajnah Daimah :

وأما قول عائشة -رضي الله عنها-: (.. كأن على رؤوسهن الغربان) فهو ثناء منها على النساء المسلمات، بامتثالهن أمر الحجاب، وهو يوحي بأن ذلك اللباس أسود اللون

“Adapun ucapan Aisyah –radhiallohu ‘anha- “SEOLAH-OLAH DI ATAS KEPADA MEREKA ADA BURUNG GAGAK”, merupakan pujian darinya (Aisyah) atas para wanita muslimah dimana mereka segera menunaikan perintah untuk berhijab. Hal itu menunjukkan, sesungguhnya pakaian itu berwarna hitam.” [ Fatwa Lajah Daimah : 17/110 ].

Kesimpulannya, ucapan Aisyah di atas memiliki beberapa kemungkinan makna dan tidak ada salah satu yang lebih kuat diantara makna-makna tersebut. Ada suatu kaidah yang disebutkan oleh para ulama’ :

ما تطرق إليه الإحتمال سقط به الإستدلال

“Dalil yang masuk kepadanya kemungkinan, jatuhlah/gugur pendalilan dengannya.”

Atau dalam ungkapan Al-Imam Al-Qarafi –rahimahullah- :

حكاية الحال إذا تطرق إليها الاحتمال سقط بها الاستدلال

“Hikayat keadaan/kejadian, apabila masuk kepadanya kemungkinan, gugurlah pendalilan dengannya.”

Maksudnya, jika ucapan Aisyah di atas memiliki beberapa kemungkinan makna dan tidak ada yang lebih kuat dari makna-makna tersebut, maka gugurlah pendalilan pihak yang mengharuskan jilbab/pakaian wanita itu harus hitam dengannya, dalam rangka menghujahi pihak yang tidak mewajibkan. Walaupun hal ini masuk salah satu makna yang ada, akan tetapi bukan satu-satunya makna. Masih tersisa tiga makna sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.

Al-Imam Al-Qarafi –rahimahullah- (wafat : 684 H) :

أن الدليل من كلام صاحب الشرع إذا استوت فيه الاحتمالات ولم يترجح أحدها سقط به الاستدلال

“Sesungguhnya dalil dari ucapan pemilik syari’at (Alloh dan Rosul-Nya), apabila mengandung berbagai kemungkinan di dalamnya dan tidak ada salah satu yang lebih kuat, maka gugurlah pendalilan dengannya.”[ Anwarul Buruq : 2/159 ].

PEMAHAMAN PARA ULAMA’ TERHADAP HADITS UMMU SALAMAH

Sejauh pengetahun kami, para ulama’ tidaklah menjadikan hadits Ummu Salamah sebagai dalil akan wajibnya pakaian wanita berwarna hitam. Bahkan mereka menyatakan bahwa pakaian warna hitam untuk wanita bukan suatu keharusan. Bahkan hanya perkara yang boleh saja. Oleh karena itu, boleh bagi para wanita untuk memakai pakaian hijab dari selain warna hitam.

Asy-Syaikh Abdul Mushin Al-Abbad Al-Badr –rahimahullah- berkata :

يعني: من ناحية الخمر، والمقصود من ذلك أنهن بادرن إلى تغطية رءوسهن ووجوههن حتى صرن: [كأن على رءوسهن الغربان]، يعني: من حيث اللون، ولون الغربان أسود ولون الخمر التي كانت عليهن كذلك.ولا يلزم أن يكون الحجاب أسود.

“Maksudnya, dari sisi penutup kepala (kerudung). Yang diinginkan dari kalimat itu, seseungguhnya mereka (para wanita Anshar) bersegera untuk menutupi kepala-kepada mereka dan wajah-wajah mereka sehingga menjadi seolah-oleh di atas kepala mereka ada burung gagak. Artinya : dari sisi warna. Dan warna kerudung yang mereka pakai waktu itu juga demikian (warna hitam). Akan tetapi hal itu tidak mengharuskan warna hijab harus hitam.” [ Syarh Sunan Abu Dawud : 23/460 ].

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- berkata :

يجوز للنساء لبس السواد وغيره مما ليس فيه تشبه بالرجال، وأما قول عائشة -رضي الله عنها-: (.. كأن على رؤوسهن الغربان) فهو ثناء منها على النساء المسلمات، بامتثالهن أمر الحجاب، وهو يوحي بأن ذلك اللباس أسود اللون

“Boleh bagi para wanita untuk memakai pakaian hitam dan selainnya (yang bukan hitam) dari apa-apa yang di dalamnya tidak ada bentuk penyerupaan dengan para lelaki. Adapun ucapan Aisyah –radhiallohu ‘anha- “SEOLAH-OLAH DI ATAS KEPADA MEREKA ADA BURUNG GAGAK”, merupakan pujian darinya (Aisyah) atas para wanita muslimah dimana mereka segera menunaikan perintah untuk berhijab. Hal itu menunjukkan, sesungguhnya pakaian itu berwarna hitam.” [ Fatwa Lajah Daimah : 17/110 ].

Dalam tempat yang lain, Lajnah Daimah juga berfatwa :

لبس السواد للنساء ليس بمتعين ، فلهن لبس ألوان أخرى مما تختص به النساء ، لا تلفت النظر ، ولا تثير فتنة

“Memakai pakaian hitam bukan suatu keharusan. Boleh bagi mereka untuk memakai warna lain dari apa-apa yang khusus bagi wanita, tidak memancing orang untuk melihat, dan tidak memberikan pengaruh fitnah.” [ Fatwa Lajnah Daimah : 17/109 ].

Asy-Syaikh bin Baz –rahimahullah- juga berkata :

لباس المرأة المسلمة ليس خاصا باللون الأسود. ويجوز لها أن تلبس أي لون من الثياب إذا كان ساترا لعورتها, وليس فيه تشبه بالرجال, و ليس ضيقا يحدد أعضاءها, ولا شفافا يشف عما وراءه, ولا مثيرا للفتنة

“Pakaian wanita muslimah tidak khusus hanya warna hitam saja. Boleh baginya untuk memakai pakaian warna apa saja apabila menutup aurat, tidak ada penyerupaan dengan pakaian laki-laki, tidak sempit yang akan menampakkan lekuk tubuhnya, tidak tipis yang akan menampakan apa yang ada di belakangnya, dan tidak menimbulkan fitnah.”[ Lajnah Daimah : 17/108 ].

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalihh Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata :

بل المرأة تلبس ما شاءت من الثياب التي يباح له لبسها قبل الإحرام، فتلبس الأسود أو الأحمر، أو الأصفر، أو الأخضر وما شاءت

“Bahkan boleh bagi seorang wanita untuk memakai pakaian yang dibolehkan baginya sebelum ihram. Maka boleh baginya untuk memakai pakaian warna hitam, atau merah, atau kuning atau hijau dan warna lain yang dia kehendaki….” [ Majmu’ Fatawa Wa Rasail : 22/180 ].

PARA SAHABIYYAT JUGA MEMAKAI PAKAIAN SELAIN WARNA HITAM

Ternyata, para wanita di zaman itu juga memakai pakaian selain warna hitam. Tidak sebagaimana dipahami –dengan salah oleh sebagian pihak-, seolah-oleh mereka hanya memakai pakaian warna hitam saja.

Telah diriwayatkan oleh Aisyah –radhiallohu ‘anha- beliau berkata :

جاءتِ امرأَةُ رِفَاعَةَ القُرَظيِّ رسولَ اللهِ - صلى الله عليه وسلم -، وَأَنَا جالِسَةٌ، وَعِنْدَهُ أَبو بَكْرٍ (وفي طريق: قالت عائشة: وعليها خِمارٌ أَخْضَرُ

“Telah datang istri Rifa’ah Al-Quradzi kepada Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- dan aku waktu itu sedang duduk. Di sisinya ada Abu Bakar. Di dalam jalan periwayatan lain : dia (istri Abu Fifa’ah) memakai khimar (kerudung) berwarna hijau.” [ HR. Al-Bukhari : 2264 ].

Hadits di atas dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari –rahimahullah- dalam judul Bab :

بَابُ ثِيَابِ الخُضْرِ

“Bab Baju-Baju Hijau”. [ Shohih Al-Bukhari : 7/148 ].

Ucapan Al-Bukhari dalam judul bab tersebut dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- :

أي باب جواز لبس الثياب الخضر للرجال و النساء لإقرار النبي المرأة على لبسه

“Artinya, bolehnya memakai pakaian warna hijau bagi laki-laki dan perempuan berdasarkan persetujuan nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- terhadap wanita untuk memakaianya.” [ Fathul Bari : ].

Hadits di atas menunjukkan secara jelas, bahwa seorang shahabiyat, yaitu istri dari Rifa’ah Al-Quradzi memakai pakaian (kerudung) warna hijau dan waktu itu nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- hadir dan mengetahui hal tersebut. Namun nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- tidak melarang untuk memakainya, atau tidak menyatakan bahwa warna hitam lebih utama dari warna hijau, atau tidak mengatakan bahwa wanita itu ‘tidak kokoh’ karena pakai kerudung warna hijau, atau yang semisalnya. Taqrir (persetujuan) nabi merupakan hujjah (dalil) dalam penetapan hukum.

Telah diriwayatkan dari Aisyah binti Sa’ad –radhiallohu ‘anha- beliau berkata :

رَأَيْتُ سِتًّا مِنْ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلبَسْنَ الْمُعَصْفَرَ

“Aku melihat enam orang dari istri nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- memakai pakaian mu’ashfar (berwarna kuning kemerah-merahan).” [ Syarhus Sunnah Al-Baghawi : 12/30 No : 3094, Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf : 19966, dan sanadnya dishohihkan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam tahqiq beliau kepada Musnad Ahmad : 11/493 ].

Al-Imam Abul Fatah Al-Ba’li –rahimahullah- (wafat : 709 H) :

المعصفر: المصبوغ بالعصفر، وهو صبغ معروف

“Al-Muashfar, adalah pakaian yang dicelup dengan ushfur (sejenis tumbuhan untuk mencelup pakaian biasanya menghasilkan kuning warna merah). Ia merupakan celupan yang telah dikenal.” [ Al-Muthli’ ‘Ala Alfadzil Muqni’ : 1/213 ].

Perhatikan ! Isti-istri nabipun tidak melulu memakai pakaian hitam. Mereka juga memakai pakaian warna merah. Tidakah hal ini cukup sebagai bukti akan kekeliruan pemahaman sebagian pihak yang mengharuskan akan pakaian warna hitam bagi wanita ? atau minimal pengutamaan mereka terhadap warna hitam ?

Telah diriwayatkan dari Abu Huroiroh –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata, Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :

أَلَا وَإِنَّ طِيبَ الرِّجَالِ مَا ظَهَرَ رِيحُهُ، وَلَمْ يَظْهَرْ لَوْنُهُ أَلَا إِنَّ طِيبَ النِّسَاءِ مَا ظَهَرَ لَوْنُهُ وَلَمْ يَظْهَرْ رِيحُهُ

"Ketahuilah, minyak wangi bagi laki-laki itu beraroma tetapi tidak berwarna, sedangkan minyak wangi bagi wanita itu berwarna tetapi tidak beraroma." [ HR. Abu Dawud : 2174, At-Tirmidzi : 2787 dan selainnya. Lafadz di atas lafadz At-Tirmidzi. Hadits ini telah dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- ].

Hadits di atas diletakkan oleh Al-Imam Shidiq Hasan Khan dalam kitabnya “Husnul Uswah” halaman : 460 di bawah Bab Dalil-dalil dalam warna pakaian bagi wanita.

Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari –rahimahullah- :

وقَالَ لِي عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ: حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ قَالَ: ابْنُ جُرَيْجٍ، أَخْبَرَنَا قَالَ: أَخْبَرَنِي عَطَاءٌ: إِذْ مَنَعَ ابْنُ هِشَامٍ النِّسَاءَ الطَّوَافَ مَعَ الرِّجَالِ، قَالَ: كَيْفَ يَمْنَعُهُنَّ؟ وَقَدْ طَافَ نِسَاءُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ الرِّجَالِ؟ قُلْتُ: أَبَعْدَ الحِجَابِ أَوْ قَبْلُ؟ قَالَ: إِي لَعَمْرِي، لَقَدْ أَدْرَكْتُهُ بَعْدَ الحِجَابِ، قُلْتُ: كَيْفَ يُخَالِطْنَ الرِّجَالَ؟ قَالَ: لَمْ يَكُنَّ يُخَالِطْنَ، كَانَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَطُوفُ حَجْرَةً مِنَ الرِّجَالِ، لاَ تُخَالِطُهُمْ، فَقَالَتْ امْرَأَةٌ: انْطَلِقِي نَسْتَلِمْ يَا أُمَّ المُؤْمِنِينَ، قَالَتْ: «انْطَلِقِي عَنْكِ»، وَأَبَتْ، يَخْرُجْنَ مُتَنَكِّرَاتٍ بِاللَّيْلِ، فَيَطُفْنَ مَعَ الرِّجَالِ، وَلَكِنَّهُنَّ كُنَّ إِذَا دَخَلْنَ البَيْتَ، قُمْنَ حَتَّى يَدْخُلْنَ، وَأُخْرِجَ الرِّجَالُ، وَكُنْتُ آتِي عَائِشَةَ أَنَا وَعُبَيْدُ بْنُ عُمَيْرٍ، وَهِيَ مُجَاوِرَةٌ فِي جَوْفِ ثَبِيرٍ، قُلْتُ: وَمَا حِجَابُهَا؟ قَالَ: هِيَ فِي قُبَّةٍ تُرْكِيَّةٍ، لَهَا غِشَاءٌ، وَمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَهَا غَيْرُ ذَلِكَ، وَرَأَيْتُ عَلَيْهَا دِرْعًا مُوَرَّدًا

“Dan berkata, kepadaku 'Amru bin 'Ali telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim berkata, Ibnu Juraij telah mengabarkan kepada kami, berkata,, telah mengabarkan kepada saya 'Atho' ketika Ibnu Hisyam melarang para wanita untuk thawaf bersama kaum lelaki, ia ('Atho') berkata; "Bagaimana kalian melarang mereka sedangkan para isteri Nabi Shallallahu'alaihiwasallam melakukan tawaf bersama kaum lelaki?". Aku bertanya: "Apakah setelah turun ayat hijab atau sebelumnya?". Ia menjawab: "Benar, sungguh aku mendapatinya setelah turun ayat hijab". Aku berkata: "Bagaimana mereka berbaur dengan kaum lelaki?". Ia menjawab: "Mereka tidak berbaur dengan kaum lelaki, dan 'Aisyah radliallahu 'anha thawaf dengan menyendiri dan tidak berbaur dengan kaum lelaki". Lalu ada seorang wanita berkata, kepadanya: "Beranjaklah wahai Ummul Mukminin, mari kita mencium hajar aswad". 'Aisyah radliallahu 'anha menjawab: "Engkau saja yang pergi". Sedangkan ia enggan untuk pergi. Dahulu kaum wanita keluar pada malam hari tanpa diketahui keberadaannya, lalu mereka thawaf bersama kaum lelaki. Namun mereka jika memasuki masjid, mereka berdiri hingga mereka masuk saat para lelaki telah keluar. Dan aku bersama 'Ubaid bin 'Umair pernah menemui 'Aisyah radliallahu 'anha yang sedang berada di sisi gunung Tsabir. Aku bertanya: "Hijabnya apa? Ia menjawab: "Ia berada di dalam tenda kecil buatan Turki. Tenda itu memiliki penutup yang tipis dan tidak ada pembatas antara kami dan beliau selain tenda itu, dan aku melihat beliau mengenakan gamis bermotif mawar". [ HR. Al-Bukhari : 1618 ].

Telah diriwayatkan dari Amer bin Syu’aib dari bapaknya (Syu’aib bin Muhammad) dari kakeknya(Muhammad bin Abdullah bin Amer), beliau berkata :

هبطْنَا مع رسولِ الله - صلَّى الله عليه وسلم - من ثنيّةٍ، فالتفتَ إليَّ وعليَّ ريطةٌ مضرَّجةٌ بالعُصْفُرِ، فقال: "ما هذه الرَّيطةُ عليك؟ " فعرفتُ ما كرِهَ، فأتيتُ أهلي وهم يسجرون تنُّوراً لهم، فقذفتُها فيه، ثم أتيتُه من الغد، فقال: "يا عبدَ الله، ما فعلتِ الرَّيطةُ؟ " فأخبرتُه، فقال: "أفلا كسوتَها بعضَ أهلِكَ، فإنه لا بأسَ به للنساء"

"Kami bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam turun dari lembah Tsaniah, lalu beliau melihatku mengenakan kain tipis yang dicelup dengan warna kuning kemerahan. Maka beliau bersabda: "Kenapa kain tipis ini ada padamu!" aku paham bahwa beliau tidak menyukainya, maka aku kembali menemui keluargaku yang sedang menyalakan tungku, sehingga kain itu aku masukkan ke dalamnya. Kesokan harinya aku datang menemui Nabi, beliau bertanya: "Wahai Abdullah, apa yang engkau lakukan dengan kain tipis milikmu itu?" aku lalu mengabarkan hal yang telah aku lakukan kepada beliau. Beliau pun bersabda: "Kenapa tidak engkau berikan ke salah satu isterimu, karena itu tidak apa-apa untuk wanita."[ HR. Abu Dawud : 4066 dan dishohihkan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth –rahimahullah- ].

Dalam hadits di atas, secara jelas nabi mengijinkan kepada Abdullah bin Amer untuk memberikan pakaian yang telah dicelup dengan warna kuning kemerahan kepada istrinya. Bahkan secara tegas beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengatakan : “karena itu (pakaian warna kuning kemerahan) tidak apa-apa(boleh) bagi para wanita.” Ini langsung dari nabi pemberian ijinnya. Beliau tidak melarang sama sekali wanita untuk memakai pakaian warna kuning kemerahan. Juga tidak mengatakan, bahwa warna ini kurang afdhol, yang afdhol adalah warna hitam. Tidak ada sama sekali.

Al-Imam Adzim Abadi –rahimahullah- berkata :

وَالْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى جَوَازِ لُبْسِ الْمُعَصْفَرِ لِلنِّسَاءِ

“Hadits di atas menunjukkan akan bolehnya wanita memakai pakaian berwarna kuning kemerahan.” [ ‘Aunul Ma’bud : 11/79 ].

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar –radhiallohu ‘anhu- beliau berkata :

نَهَى النِّسَاءَ فِي إِحْرَامِهِنَّ عَنِ القُفَّازَيْنِ وَالنِّقَابِ، وَمَا مَسَّ الْوَرْسُ وَالزَّعْفَرَانُ مِنَ الثِّيَابِ، وَلْتَلْبَسْ بَعْدَ ذَلِكَ مَا أَحَبَّتْ مِنْ أَلْوَانِ الثِّيَابِ مُعَصْفَرًا أَوْ خَزًّا أَوْ حُلِيًّا أَوْ سَرَاوِيلَ أَوْ قَمِيصًا أَوْ خُفًّا

“Bahwa ia telah mendengar Rasulullah shallallahu wa'alaihi wa sallam melarang para wanita ketika melakukan ihram dari memakai kaos tangan, serta niqab (penutup wajah), serta pakaian yang terolesi daun bidara serta kunyit, dan setelah itu silahkan ia melakai apa yang ia sukai dari berbagai warna pakaian, yang diwarnai kuning kemerahan, sutera, atau perhiasan atau celana panjang, atau jubah atau sepatu.” [ HR.Abu Dawud : 1827 dan dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- ].

Dalam hadits di atas, secara tegas Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- membolehkan kepada para wanita untuk memakai pakaian warna apa saja yang mereka sukai setelah ihram. Entah kuning, merah, hijau, putih, ataupun yang lainnya.
Dari beberapa hadits di atas dapat disimpulkan bahwa para sahabiyat di zaman nabi memakai berbagai warna pakaian selain hitam, baik yang mereka kenakan atau diijinkan nabi untuk memakaianya, diantaranya :

1). Memakai pakaian warna hijau.
2). Memakai pakaian warna kuning.
3). Memakai pakaian warna merah.
4). Memakai pakaian warna putih.
5). Memakai pakaian warna bermotif bunga mawar.
6). Dibolehkan untuk memakai pakaian dengan warna apa saja.
Baik satu warna atau berbagai warna. Karena haditsnya datang secara mutlak.

Jadi, keyakian atau pemahaman sebagian orang bahwa para sahabiyyat hanya memakai pakaian warna hitam, adalah keliru. Mereka hanya mengambil satu riwayat, dan mengesampingkan riwayat-riwayat yang lain. kesalahan seperti ini, sering kali terjadi.

Ibnu Abdil Barr –rahimahullah- menukil dari Al-Imam Malik –rahimahullah- beliau berkata :

مالك –رحمه الله – أنه لم يربلبس الثياب المزعفرة بأسا للنساء

“Malik –rahimahullah- membolehkan para wanita untuk memakai pakaian warna kuning.” [ At-Tamhid : 16/258 ].

Ibnu Abdil Bar –rahimahullah- berkata :

و أما النساء فإن العلماء لا يختلفون في جواز لباسهن المعصفر المفدم و المورد و الممشق

“Adapun para wanita, maka para ulama’ tidak berselisih dalam hal bolehnya mereka memakai pakaian warna kuning kemerahan, merah mawar, merah lumpur.” [ At-Tamhid : 16/123 ].

Al-Imam Ibnu Muflih Al-Hambali –rahimahullah- berkata :

و لا بأس بلبس المزعفر و المعصفرو الأخمر للنساء

“Boleh bagi wanita untuk memakai pakaian warna kuning kemerahan dan merah.” [ Al-Adabusy Syar’iyyah : 4/70 ].

APAKAH PAKAIAN WARNA HITAM LEBIH AFDHOL BAGI WANITA DARI WARNA YANG LAIN ?

Setelah membaca artikel ini, mungkin sebagian pihak yang awalnya mewajibkan pakaian warna hitam bagi wanita, akan sedikit bergeser pendapatnya –karena sudah sadar tidak memiliki dalil-. Dari yang asalnya mewajibkan, berubah menjadi lebih afdhol. Mereka berkata : “kami memakai pakaian warna hitam, karena warna ini lebih utama dari warna yang lain !”.

Afdholiyyah (keutamaan) yang dimaksud di sini, adalah keutamaan yang dilihat dari sisi agama, bukan dari sisi yang lain. Jika demikian, untuk menentukan sesuatu itu lebih afdhol dari yang lain, perlu untuk dilihat dalilnya. Sejauh pengetahuan kami, tidak ada satupun dalil yang menunjukkan warna hitam itu lebih utama dari warna lain. Barang siapa yang menyatakan lebih afdhol, maka kami tuntut untuk mendatangkan dalil atas pendapatnya. Dan dalam prediksi besar kami, dia tidak akan mampu untuk mendatangkannya.

Kalau ada sebagian shahabiyat yang memakai pakaian hitam, itu tidaklah meniadakan pakaian selain warna hitam kurang afdhol. Karena para shahabiyat juga memakai pakaian dengan warna selain hitam. Bahkan istri-istri nabi memakai pakaian bukan warna hitam. Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- juga mengijinkan untuk memakai warna selain hitam.

Lantas dari sisi mana warna hitam lebih afdhol dari warna selainnya ? apakah kalian hanya menetapkannya hanya bermodal perasaan saja ??! atau hanya kira-kira saja ??

Kalau ada yang mengatakan, bahwa warna hitam itu warna yang paling tidak menarik lawan jenis. Ini perkara yang nisbi (tidak pasti). Bahkan bagi sebagian orang, melihat wanita dengan warna hitam justru lebih menarik dan membuat penasaran dari warna yang lain. Lantas sandaran pastinya apa untuk menetapkan warna itu menarik atau tidak menarik ?

Pernyataan bahwa warna hitam tidak menarik, itu mengandung konsekwensi bahwa warna selain hitam itu menarik lawan jenis. Jika demikian, berarti para istri nabi dan para sahabiyat di zaman itu, telah memakai pakaian yang menarik lawan jenis. Berarti nabi juga mengijinkan para wanita di zaman itu untuk memakai pakaian dengan warna yang menarik lawan jenis. Ini semua kebodohan yang sangat nyata. Maka :”Datangkanlah keterangan yang jelas jika kalaian memang orang-orang yang benar!”.

Apakah masuk akal jika para istri nabi meninggalkan pakaian yang lebih afdhol dan memilih untuk memakai pakaian yang kurang afdhol karena memakai pakaian dengan warna selaian hitam ? apakah masuk akal jika nabi memerintahkan untuk memakai pakaian yang kurang afdhol dan meninggalkan pakaian yang lebih afdhol ? Tidak sama sekali.

Bahkan jika kalian jujur, seharusnya kalian wahai para wanita untuk mencontoh para istri nabi dan para shahabiyat di zaman itu. Disamping mereka memakai pakaian warna hitam, mereka juga memakai warna yang lain, seperti kuning, merah, hijau, bermotif bunga mawar, bercorak, putih dan lain sebagainya.

APAKAH PAKAIAN SERBA HITAM TERMASUK PAKAIAN SYUHROH (KETENARAN) YANG DILARANG NABI ?

Pertanyaan ini perlu perincian. Jika seorang wanita itu hidup dan tinggal di suatu negeri atau suatu tempat dimana penduduknya atau masyarakatnya terbiasa dengan pakaian besar serba hitam kelam, mulai dari kerudung, jubah, cadar, kaos tangan dan kaos kaki serta hitam kelam, seperti di Saudi, Yaman atau yang semisalnya, maka tidak termasuk pakaian syuhroh (ketenaran/tampil beda) yang dilarang oleh Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam-. Karena saat dia memakai pakaian seperti ini di sana, maka tidak akan memancing perhatian orang-orang di sekitarnya sama sekali. Karena sudah biasa. Mayoritas penduduknya juga mengenakannya.

Tapi jika wanita itu hidup di suatu negeri atau daerah yang penduduknya atau masyarakatnya tidak biasa mengenakan pakaian serba hitam kelam dan sangat besar, dan bukan termasuk adat mereka mengenakan warna pakaian seperti itu. Bahkan mereka akan menggangap aneh dan seram serta menakutkan pakaian seperti itu, maka lebih utama untuk meninggalkan pakaian dengan warna serba hitam kelam seperti ini.

Telah datang dari nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- beliau bersabda :

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ . زَادَ عَنْ أَبِي عَوَانَةَ «ثُمَّ تُلَهَّبُ فِيهِ النَّارُ»

"Barangsiapa memakai pakaian ketenaran (tampil beda), maka pada hari kiamat Allah akan mengenakan untuknya baju semisal. Ia menambahkan dari Abu Awanah, "lalu akan dilahab oleh api neraka.” [ HR. Abu Dawud : 4029, Ibnu Majah : 3607, An-Nasa’i dalam “Al-Kubro” : 9487 dan selainnya. Hadits ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rohimahullah- ]

Makna “pakaian ketenaran” yang dilarang dalam hadits ini, telah dijelaskan oleh Al-Imam Al-‘Adzim Abadi –rohimahullah- beliau berkata :

قال بن الْأَثِيرِ الشُّهْرَةُ ظُهُورُ الشَّيْءِ وَالْمُرَادُ أَنَّ ثَوْبَهُ يَشْتَهِرُ بَيْنَ النَّاسِ لِمُخَالَفَةِ لَوْنِهِ لِأَلْوَانِ ثِيَابِهِمْ فَيَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ أَبْصَارَهَمْ وَيَخْتَالُ عَلَيْهِمْ بِالْعُجْبِ وَالتَّكَبُّرِ كَذَا فِي النَّيْلِ

“Ibnul Atsir berkata : asy-syuhrah : tampak atau menonjolnya sesuatu. Dan yang dimaksud di sini, sesungguhnya pakaiannya tenar di antara manusia karena menyelisihi (tampil beda) terhadap warna pakaian mereka, sehingga manusia mengangkat padangan mereka kepadanya dan akhirnya dia angkuh, ujub dan sombong kepada mereka. demikian disebutkan dalam “Nailul Author”. [ ‘Aunul Ma’bud : 11/58 ].

Pakaian termasuk jenis pakaian syuhroh (ketenaran/tampil beda) yang dilarang nabi, bisa terjadi dari tiga sisi : warnanya, modelnya, dan ukurannya.

Dalam kondisi masyarakat yang tidak terbiasa dengan warna hitam kelam, maka pakaian wanita muslimah dengan warna selain hitam, itu lebih utama dari warna hitam. Disamping tidak termasuk pakaian syuhroh, juga lebih bisa diterima oleh masyarakat dan tidak membuat mereka menjauh dan lari dari kita.

Memakai pakaian warna hitam bagi wanita hukumnya hanya boleh. Bukan sunnah apalagi wajib. Lantas kenapa kita memaksakan untuk memakainya dalam lingkungan dan kultur masyarakat kita yang belum siap menerima hal itu ? atau mereka merasa aneh dan seram dengan hal itu ?

Padahal sesuatu yang dianjurkan saja, atau yang sunnah saja, tidak boleh dipaksakan alias dianjurkan ditunda untuk diamalkan saat masyarakat sekitar belum siap, atau merasa aneh, atau takut dengan hal itu yang nantinya akan menyeret kepada berbagai kerusakan dan fitnah.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata :

لباس العمامة ليس بسنة، لكنه عادة، والسنة لكل إنسان أن يلبس ما يلبسه الناس ما لم يكن محرماً بذاته، وإنما قلنا هذا؛ لأنه لو لبس خلاف ما يعتاده الناس لكان ذلك شهرة، والنبي صلى الله عليه وسلم نهى عن لباس الشهرة، فإذا كنا في بلد يلبسون العمائم لبسنا العمائم، وإذا كنا في بلد لا يلبسونها لم نلبسها، وأظن أن بلاد المسلمين اليوم تختلف، ففي بعض البلاد الأكثر فيها لبس العمائم، وفي بعض البلاد بالعكس، والنبي صلى الله عليه وسلم كان يلبس العمامة؛ لأنها معتادة في عهده، ولهذا لم يأمر بها بل نهى عن لباس الشهرة مفيداً إلى أن السنة في اللباس أن يتبع الإنسان ما كان الناس يعتادونه، إلا أن يكون محرماً

“Memakai imamah (sorban) bukan sunnah. Akan tetapi ia sebuah adat (kebiasaan). Yang sunnah atas setiap insan, hendaknya dia memakai pakaian yang dipakai oleh manusia (penduduk negerinya) selama tidak termasuk perkara yang diharamkan. Kami mengatakan ini, karena seorang memakai pakaian yang menyelisihi adat manusia (penduduk negerinya), maka hal itu termasuk pakaian syuhroh (pakaian ketenara/tampil beda). Dan nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang dari memakai pakaian syuhrah (pakaian ketenaran/tampil beda dari penduduk negerinya). Jika kita tinggal di negeri yang penduduknya memakai imamah (sorban), maka kita pakai imamah. Dan jika kita tinggal di negeri yang penduduknya tidak memakainya, maka kita tidak memakainya. Dan aku menyangka, sesungguhnya negeri-negeri kaum muslimin sekarang berbeda-beda. Ada sebagian negeri yang kebanyakan penduduknya memakai imamah. Dan ada sebagian negeri yang sebaliknya. Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- memakai imamah, karena hal itu merupakan adat waktu itu. Oleh karena itu, beliau –shollallahu ‘alaihi wa sallam- tidak memerintahkan untk memakainya. Bahkan melarang dari memakai pakaian syuhrah (ketenaran/tampil beda) yang memberikan faidah, sesungguhnya yang sunnah dalam berpakaian itu, hendaknya seorang insan mengikuti apa yang telah menjadi adat penduduk negerinya dalam berpakaian, kecuali pakaian yang diharamkan.” [ Liqo’ Babil Maftuh : 24/160 ].

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata :

لبس العمامة ليس من السنن لا المؤكدة ولا غير المؤكدة لأن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم كان يلبسها اتباعا للعادة التي كان الناس عليها في ذلك الزمن ولهذا لم يأت حرف واحد من السنة يأمر بها فهي من الأمور العادية التي إن اعتادها الناس فليلبسها الإنسان لئلا يخرج عن عادة الناس فيكون لباسه شهرة وإن لم يعتدها الناس فلا يلبسها هذا هو القول الراجح في العمامة

“Memakai imamah/sorban, bukan termasuk sunah-sunah (Rosul). Tidak termasuk sunnah yang yang ditekankan dan tidak termasuk sunnah yang tidak ditekankan. Karena Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- memakainya dalam rangka mengikuti adat yang dijalani oleh manusia di zaman itu. Oleh karena itu, tidak datang satu hurufpun dari sunnah yang memerintahkan untuk mengenakannya. Ia termasuk perkara adat yang telah dijalani oleh manusia. (jika adat kaumnya memakai imamah) hendaknya dia memakainya agar tidak keluar dari adat manusia disekitarnya, sehingga (jika dia tidak memakai imamah padahal penduduk negerinya memakainya), maka pakaiannya akan menjadi pakaian syuhrah (ketenaran/tampil beda yang dilarang). Ini pendapat yang kuat dalam masalah imamah.” [ Fatawa Nuur ‘ala Darb : 22/2 ].

Semoga bermanfaat dan menambah wawasan keilmuan kita. Barakallahu fiikum.

Abdullah Al Jirani
3 jam ·

Sumber : https://www.facebook.com/abdullah.aljirani.37/posts/323082858463020?__tn__=K-R

Related Posts

Ayo Belajar Islam

"Ayo belajar ilmu fiqih, agar tidak mudah menyalahkan orang dan tidak gampang bilang bid'ah kepada sesama muslim." "Ayo belajar fiqih ihktilaf, agar tidak merasa paling benar sendiri." "Ayo belajar perbandingan mazhab, agar tidak merasa selain kami sesat." (Kajian Medina)

Kajian Medina

Blog Kajian Medina : Cerdaskan Umat Lewat Kajian Khilafiyah, Ikhtilaf dan Ukhuwah oleh Ustadz dan Tokoh Sebagai Pencerahan Menuju Persatuan Islam Ahlus Sunnah Waljamaah.