Supaya tidak gagal paham.
Syahwat itu dapat diterjemahkan sebagai "daya ofensif".
Apa itu?
Yakni sebuah daya yang terinstal dalam diri manusia untuk mencari hal-hal yang bermanfaat baginya atau dirasa bermanfaat bagi diri seseorang.
Rasa lapar merupakan bagian dari syahwat, untuk apa? Agar manusia paham bahwa makan itu bermanfaat baginya.
Rasa haus juga syahwat, agar apa? Agar ia paham bahwa minum itu bermanfaat baginya.
Rasa ingin berhubungan badan juga syahwat, apakah buruk? Tidak, ini normal. Agar apa? Agar manusia sadar bahwa sel sperma yang menumpuk di dalam tubuhnya mesti segera dikeluarkan.
Sama dengan rasa mules ingin buang air kecil atau buang air besar. Rasa-rasa itu juga syahwat, agar manusia sadar bahwa menahan semua itu akan membahayakannya, dan mengeluarkan semua itu akan bermanfaat baginya.
Jadi, persoalannya bukan hanya terbatas pada hubungan suami-istri.
Syahwat akan tetap ada pada diri manusia. Karena sifatnya ofensif, maka dia akan selalu mencari dan mencari. Sayangnya, syahwat memang tidak mengerti bahasa syar'i. Harus ditundukkan dan dikendalikan.
Sehingha yang terpenting adalah, kita mesti paham syariat agar seluruh syahwat hanya diarahkan pada tempat2 syar'i. Itu poinnya.
Misalnya, makan dan minum hanya yang halal.
Berhubungan badan, hanya dengan yang sah baginya.
Buang air kecil dan buang air besar, pada tempat dan cara yang dicontohkan Rasulnya.
Termasuk keinginan mencari harta benda, keinginan ini dan itu terhadap dunia, semuanya adalah syahwat. Apakah mesti dihilangkan? Tidak perlu, bahkan jangan pernah dihilangkan. Tapi diarahkan pada yang halal saja.
Jadi, selama disalurkan pada yang halal, jangan pernah dipermasalahkan.
Sudah paham sampai di sini?
Laili Al-Fadhli
15 September pukul 19.37 ·
Sumber : https://www.facebook.com/alfadhli87
#Laili Al-Fadhli