Ternyata, penggunaan lafadz “sayyidina” dalam bershalawat kepada nabi telah digunakan sejak zaman sahabat –radhiallahu ‘anhum-. Diantaranya, telah diriwayatkan dari sahabat Ibnu Umar –radhiallahu ‘anhu- :
إرواء الغليل في تخريج أحاديث منار السبيل (6/ 221)
(1822) - (حديث ابن عمر: " أنه كان إذا دعى ليزوج قال: الحمد لله وصلى الله على سيدنا محمد , إن فلانا يخطب إليكم فإن أنكحتموه فالحمد لله وإن رددتموه فسبحان الله " (2/145) .
* صحيح.
“Sesungguhnya Beliau (Ibnu Umar) apabila diseru untuk menikah, beliau berkata : “AL-HAMDULILLAH WA SHALLALLAHU ‘ALA SAYYIDINA MUHAMMAD (Segala puji bagi Allah dan semoga Shalawat Allah tercurah kepada SAYYIDINA (tuan kami) Muhammad). Sesungguhnya si anu meminta kalian untuk menikah. Maka jika mereka menikahkannya, Alhamdulillah (segala puji bagi Allah). Dan jika mereka menolaknya, subhanallah (Maha Suci Allah).”
Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- mengatakan : SHAHIH. [ Irwa’ul Ghalil Fi Takhriiji Ahaditsi Manaris Sabil : 6/221 no : 1822 cetakan Al-Maktab Al-Islami ]. Lihat gambar di bawah !
Oleh karena itu, pernyataan yang mengatakan bahwa bershalawat kepada Nabi tidak boleh memakai lafadz “sayyidina” karena lafadz ini termasuk bid’ah, merupakan pendapat yang tidak tepat. Karena lafadz ini telah digunakan oleh generasi terbaik umat Islam sepanjang masa, yaitu para sahabat. Bahkan, penggunaan lafadz “sayyidina” sebelum nama nabi dalam bershalawat, lebih memuliakan dan beradab kepada beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari pada langsung menyebut namanya. Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat. Barakallahu fiikum.
Abdullah Al Jirani
26 Juni pukul 06.37 ·
#Abdullah Al Jirani