Ahmad Sarwat, Lc., MA
Dalam sebuah rapat pendirian satu ormas Islam yang dihadiri oleh banyak tokoh Islam, saya diminta memperkenalkan diri dengan menyebutkan bidang keilmuan dan aktifitas sehari-hari.
Saat itu dengan polos saya bilang bahwa ilmu yang saya tekuni adalah ilmu fiqih, khususnya fiqih perbandingan mazhab. Dan aktifitas saya banyak tercurah di Rumah Fiqih Indonesia. Sehari-hari kami melakukan berbagai penelitian terkait dengan hukum-hukum syariat, termasuk juga berbagai perbedaan pendapat ulama.
Saat itu spontan ada yang nyeletuk, mungkin sambil guyon,"Wah, berarti tiap hari mengurus masalah khilafiyah, tuh". Yang lain juga ikutan nyeletuk,"Hari gini kok masih saja bicara perbedaan pendapat, ustadz?". Hadirin yang lain ikut tertawa meski agak ditahan, saya tidak tahu maksudnya mentertawakan siapa.
Saya jawab saat itu,"Kebetulan dulu saya kuliah di Fakultas Syariah Jurusan Perbandingan Mazhab. Disana kita memang bicara tentang komparasi perbedaan pendapat hukum-hukum fiqih di antara para ulama dan mujtahidin".
Dari sepenggal kisah itu, saya sedikit mendapat masukan bahwa ternyata masih banyak kalangan yang memandang ilmu fiqih, khususnya tentang ikhtilaf dan perbandingan mazhab, dengan sebelah mata. Dan kesan yang saya tangkap memang banyak kalangan yang kurang lengkap pemahamannya.
Sedihnya lagi, yang mempertanyakan hal di atas bukan dari kalangan orang awam, tetapi mereka yang dikenal sebagai da'i dan aktifis dakwah.
* * *
Pada kala yang lain, ada satu teman sesama ustadz yang penasaran bertanya kepada saya. Atau mungkin lebih tepatnya mempertanyakan. Sebut saja namanya Ustadz Abdul. Beliau bertanya begini kepada saya :
"Ustadz, bukankah kita ini butuh persatuan umat agar bisa kuat?. Namun kalau saya perhatikan, materi-materi ceramah antum masih saja berkutat dengan masalah-masalah furu'iyah yang banyak khilafiyahnya. Bukankah hal ini malah cenderung kurang produktif?. Mestinya kan kita tinggalkan saja semua masalah khilafiyah itu dan kembali ke Al-Quran. Bukankah Al-Quran itu menyatukan kita seluruh umat Islam?"
Agak bengong juga saya diberondong dengan pertanyaan seperti itu. Sudah panjang, pertanyaannya tajam dan menukik pula. Terpaksa harus saya jawab juga pertanyaannya.
"Saya amat setuju persatuan umat Islam. Dan saya 100% mendukung untuk kita berpegang teguh dengan Al-Quran. Dan saya pun juga tidak ingin umat Islam berpecah-belah dan saling caci maki, gara-gara meributkan masalah khilafiyah", jawab saya.
"Kalau memang begitu, lantas kenapa masih saja mengangkat masalah khilafiyah? Nanti umat jadi makin asyik berbeda pendapat dan semakin jauh dari Al-Quran?, tanya Ustadz Abdul lagi.
"Kalau masalah khilafiyah, rasanya tidak mungkin kita hindari. Jangankan dalam ilmu fiqih, bahkan di dalam Al-Quran sendiri pun tetap saja ada masalah khilafiyah", jawab saya.
"Ah, mana mungkin ya ustadz. Al-Quran kan kitab yang turun dari Allah SWT. Masa antum bilang di dalam Al-Quran terdapat masalah khilafiyah? Yang bener aja, ustadz", ujarnya bernada protes.
"Kalau antum tidak percaya, coba jawab pertanyaan saya ini : apakah lafadz bismillahirrahmanirrahim itu termasuk bagian dari surat Al-Fatihah atau bukan?", pancing saya.
"Hmm, sebenarnya ada yang bilang bukan bagian dari surat Al-Fatihah, sih. Tetapi menurut saya, termasuk bagian dari surat Al-Fatihah", jawabnya agak ragu.
"Jadi yang benar yang mana nih, bismillah itu bagian dari Al-Fatihah atau tidak?", begitu saya tegaskan. Dia diam agak lama sambil mikir.
"Sudah lah, jawabannya kan itu masalah khilafiyah di antara para ulama. Gampang saja jawabnya," potong saya.
"Iya juga sih kalau dipikir-pikir", jawabnya agak ragu.
"Nih, lagi jawab pertanyaan saja : berapa sebenarnya jumlah total seluruh ayat Al-Quran?", tambah saya.
"Ah, itu sih gampang, jawabnya enam ribu enam ratus enam puluh enam ayat", jawabnya mantab.
Saya balik bertanya,"Yakin nih antum jawabnya 6.666 ayat?".
"Lho memangnya bukan segitu? Kan dari kecil kita sudah dikasih tahu segitu. Lagian waktu masih duduk di Madrasah Ibtidaiyah dulu kan jadi soal ulangan. Dan kalau kita jawab segitu, pak gurunya membenarkan.
Saya bilang,"Ya, Ustadz Abdul. Untuk menetapkan berapa jumlah ayat Al-Quran, ternyata para ulama pun berbeda-beda jawabannya".
"Ah, masak sih? Yang benar nih antum?", tanya dia kurang percaya.
"Kalau kita telusuri, ternyata memang benar bahwa para ulama berbeda-benda ketika menghitung jumlah ayat Al-Quran. Menurut Nafi' yang merupakan ulama Madinah, jumlah tepatnya adalah 6.217 ayat. Sedangkan Syaibah yang juga ulama Madinah, jumlah tepatnya 6.214 ayat. Lain lagi dengan pendapat Abu Ja'far, meski juga merupakan ulama Madinah, beliau mengatakan bahwa jumlah tepatnya 6.210 ayat", sambung saya.
Ustadz Abdul masih agak bengong mendengarkan, saya sambung lagi,"Antum tahu Ibnu Katsir, kan?"
"Ya tahu, ulama ahli tafsir yang kitabnya termasyhur itu, Tafsir Ibnu Katsir", jawab Ustadz Abdul.
"Nah, kalau menurut hitungan Ibnu Katsir, jumlahnya ayat Al-Quran itu ada 6.220 ayat. Hasil hitungannya beda dengan hitungan ulama lainnya", ujar saya.
Ustadz Abdul mengangguk-anggukan kepala perlahan, tidak jelas maksudnya, apakah mengerti atau malah mungkin agak bingung.
"Lalu 'Ashim yang merupakan ulama Bashrah mengatakan bahwa jumlah ayat al-Quran ialah 6.205 ayat. Hamzah yang merupakan ulama Kufah sebagaimana yang diriwayatkan mengatakan bahwa jumlahnya 6.236 ayat. Dan pendapat ulama Syria sebagaimana yang diriwayatkan oleh Yahya Ibn al-Harits mengatakan bahwa jumlahnya 6.226 ayat", tambah saya.
"Jadi bagaimana kita bilang di dalam Al-Quran tidak ada perbedaan atau khilafiyah. Lha wong ngitung berapa jumlah ayatnya saja, para ulama sudah beda-beda", pancing saya.
Ustadz Abdul diam agak lama sambil dahinya berkerut dua belas lipatan, mungkin otaknya sedang dipaksa berpikir agak keras.
"Ini pertanyaan terakhir, silahkan jawab kalau antum bersedia dan tahu jawabannya", tiba-tiba saya berkata memecah kesunyian.
"Pertanyaannya apa? Mana soalnya?", ujar Ustadz Abdul penasaran.
"Sebutkan ayat mana yang terakhir kali diturunkan?', tanya saya.
"Wah itu sih kecil. Jawabnya ya ayat ketiga surat Al-Maidah. Al-Yauma akmaltu lakum dinakum dan seterusnya", jawab Ustadz Abdul dengan mantab.
"Jawaban antum sebenarnya tidak salah, tetapi perlu diketahui bahwa itu adalah salah satu jawaban dari sekian banyak jawaban para ulama", jawab saya.
"Maksudnya?", tanya Ustadz Abdul penasaran.
"Selain pendapat antum itu, ada beberapa pendapat yang berbeda terkait dengan ayat yang turun terakhir. Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa ayat yang terakhir turun adalah ayat riba, yaitu surat Al-Baqarah ayat 278 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Sedangkan Al-Imam An-Nasa'i meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Said bin Jubair, bahwa ayat yang terakhir kalli turun adalah surat Al-Baqarah ayat 281:
وَاتَّقُوا يَوْماً تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ
Dan versi Said bin Al-Musayyib lain lagi. Menurut beliau ayat yang terakhir turun ayat tentang hutang piutang, yaitu surat Al-Baqarah ayat 282.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ
Nah, siapa bilang dengan kembali ke Al-Quran dijamin tidak ada khilafiyah atau perbedaan pendapat?", kata saya mengakhiri percakapan dengan Ustadz Abdul.
* * *
Memang benar sekali. Baru bicara ayat pertama tentang bismillah, apakah termasuk bagian dari surat Al-Fatihah atau bukan, para ulama sudah berbeda pendapat. Terus menghitung jumlah total ayat Al-Quran, ternyata beda pendapat lagi. Dan menetapkan mana ayat yang terakhir turun, lagi-lagi beda pendapat.
Jadi kesimpulannya, yang namanya beda pendapat itu bukan monopoli ilmu fiqih saja. Bahkan ilmu Al-Quran sendiri pun penuh dengan perbedaan pendapat. Semua hal di atas belum terhitung kalau kita bicara tentang perbedaan qiraat yang ada begitu banyak jalur periwayatannya.
Dalam ilmu hadits pun kita akan menemui begitu banyak perbedaan pendapat. Ilmu Tafsir malah lebih banyak lagi perbedaan pendapatnya. Malah dalam ilmu gramatika Bahasa Arab alias ilmu Nahwu, kita pun berhadapan dengan ulama Kufiyyin dan Bashriyyin, yang selalu saja beda pendapat.
Lepas dari semua ini, yang penting untuk dicatat bahwa berbeda pendapat itu bukan dosa atau hal yang tabu. Dan mustahil kita menghilangkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Maka mari kita membiasakan diri untuk nyaman dengan adanya perbedaan pendapat itu. Toh dahulu para shahabat pun sering berbeda pendapat. Para tabi'in dan generasi salafunash-shalih pun terbiasa berbeda pendapat. Namun hebatnya, mereka tetap santun dan saling menghargai perbedaan pendapat.
Yang haram adalah berantem, saling caci, saling maki dan saling merasa paling benar sendiri karena perbedaan pendapat. Apalagi kalau sudah menulis komen di media sosial terhadap pendapat yang tidak sejalan dengan dirinya, sampai penghuni kebun binatang diabsen namanya satu per satu. Naudzubillah min tilka.
Sikap-sikap seperti inilah yang harus kita hindari. Dan untuk menghindarinya, justru wawasan kita harus terbuka luas. Kita harus pelajari adanya perbedaan pendapat para ulama itu. Baru kita bisa nantinya menghormati perbedaan pendapat.
Sedangkan kalau ilmunya cetek dan sempit, tahunya cuma apa yang diajarkan gurunya, selebihnya cuma dapat dari copy paste di internet, tidak pernah tahu adanya perbedaan pendapat para ulama, biasanya malah cenderung fanatik dan mudah menyalahkan orang lain. Semakin keras bahasa yang digunakan, semakin kelihatan bodohnya.
Itulah gunanya kita belajar ilmu fiqih yang membahas berbagai perbedaan pendapat ulama. Tujuannya, justru biar kita tidak mudah menyalahkan orang.
Wallahu 'alam bishshawab.
Sumber : https://www.rumahfiqih.com/y.php?id=11 (Mon 3 February 2014 06:03)
#Ahmad Sarwat
#Website